Menurut para ulama ahli tahqiq, orang yang tidak memiliki keahlian (kapasitas) untuk melakukan ijtihad secara mutlak, meskipun dia memiliki sebagian ilmu yang diperlukan dalam ijtihad, wajib bertaklid kepada pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa mereka. Hal itu bertujuan agar ia keluar dari beban kewajiban bertaklid kepada salah satu dari mereka yang dikehendakinya. Allah SWT berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an Nahl: 43).

Jadi, Allah SWT mewajibkan “bertanya” bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan itu. Hal itu berarti taklid kepada orang yang mempunyai pengetahuan. Ayat ini berlaku umum bagi siapa saja dan harus berlaku umum dalam menanyakan segala sesuatu yang tidak diketahui. Karena ada ijma’ yang menyatakan bahwa orang-orang awam pada zaman sahabat, tabi’in dan setiap kemunculan orang-orang yang berseberangan senantiasa meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti mereka dalam memahami hukum-hukum syara’.

Mereka juga mengikuti para ulama, karena para ulama itu langsung menjawab pertanyaan mereka tanpa merujuk kepada dalil, dan mereka juga tidak melarang hal itu tanpa ada yang menentangnya. Dengan demikian terjadilah ijma’ yang mengharuskan orang awam mengikuti mujtahid. Hal itu juga karena apa yang dipahami oleh orang awam dari Al Kitab (Al Quran) dan as Sunnah tidak dapat dijadikan sebagai pegangan apabila tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para ulama besar pengusung kebenaran. Sebab, semua pelaku bid’ah dan orang sesat memahami hukum-hukum yang batil dari Al Kitab dan as Sunnah. Mereka mengambilnya dari Al Kitab dan as Sunnah, tetapi pada kenyataannya pemahaman itu tidak mengandung kebenaran sedikitpun.

Majalah Tebuireng

Orang awam tidak wajib mengikuti madzhab tertentu dalam semua masalah secara konsisten. Jika ia mengikuti madzhab tertentu, seperti Madzhab Syafi’i, ia tidak wajib melakukannya secara terus-menerus. Ia boleh  pindah ke madzhab lainnya. Orang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan semacam pengkajian atau penelitian dalil, dan tidak pernah membaca kitab tentang furu’ madzhab. Apabila orang itu berkata: “Aku adalah penganut Madzhab Syafi’i”, maka hal itu tidak bisa dijadikan sebagai pegangan hanya dengan ucapan saja.

Ada yang berpendapat bahwa apabila orang awam mengikuti madzhab tertentu ia harus mengikuti madzhab tersebut secara terus-menerus. Sebab, ia menyakini bahwa madzhab yang diikutinya itu adalah madzhab yang benar. Maka ia harus setia dengan madzhab itu sebagai konsekuensi dari keyakinannya tersebut.

Seorang muqallid (orang yang bertaklid) boleh bertaklid kepada imam lain selain imam madzhabnya dalam masalah tertentu. Jadi, ia boleh mengikuti imam tertentu dalam Shalat Dzuhur misalnya dan mengikuti imam lainnya dalam Shalat Ashar. Taklid sesudah amal boleh dilakukan. Jika seorang penganut Madzhab Syafi’i melaksanakan shalat yang dia kira shalatnya itu sah menurut Madzhab Syafi’i, kemudian dia tahu bahwa shalat itu tidak sah menurut Madzhab Syafi’i, tetapi sah menurut madzhab yang lain, maka dia boleh bertaklid kepada madzhab tersebut dan cukup dengan shalatnya tersebut (tidak perlu mengulang).


*Disarikan dari Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari