YAI KA’ ITU PENANDA WAKTU

Tentu banyak yang sudah membaca buku Mochtar Lubis, “Manusia Indonesia” yang berasal dari pidato kebudayaannya di TIM 6 April 1977. Geger dan menggelegak suasana polemis, karena Mochtar Lubis tanpa tedeng aling aling mengatakan bahwa Manusia Indonesia itu memiliki ciri ciri antara lain : munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya dan karakternya kurang kuat. Tak pelak, respon bermunculan dan berbagai tulisan menyambar tudingan provokatif dari Michtar Lubis. Sebutlah misalnya dari Sarlito Wirawan Sarwono, Margono Djojohadikusumo, Wildan Yatim, Abu Hanifah. Meski, tak sedikit pula yang mengamini pendapat Mochtar Lubis.

Tak kalah seru, mrnggelitik dan “ngenyek”. Ini muncul dalam forum “Strengthening Indonesian Political Parties Conference”, seorang peserta yang diminta komentarnya mengenai profil manusia Indonesia. Pembeda manusia Indonesia-Jepang, yang pertama jika makan beringat, sedangkan kala bekerja gak menetes sedikitpun. Sebaliknya, orang Jepang tak berkeringat kalau makan dan saat bekerja bercucuran dan berbalut peluh.

Ya Ka’ pernah menunjukkan keunggulan Islam soal perlakuan terhadap waktu. Bila manusia Barat membanggakan keunggulannya soal mengelola dan pandangannya memaknai waktu, “time is money”. Menurut Yai Ka’ bertebaran diktum al-Quran dan Hadits yang mengajarkan penghormatan kepada waktu dan menenej-nya secara efektif. Bukan menggunakan padanan emas, waktu itu ibarat pedang yang sekiranya tak pandai memanfaatkannya pedang bakal menebas kehidupan.

Majalah Tebuireng

Sangat menarik, meneladani Yai Ka’ lewat potret kedisiplinannya mengatur waktu. Bahkan, Yai Ka’ di pesantren Tebuireng tak ubahnya penanda waktu itu sendiri. Ketika memasuki malam hari. Bila selepas isya’ dan jam belajar, kamar Yai Ka’ senyap, penanda jam beliau mengisi pengajian reguler. Saat musik dangdut mulai terdengar dari Kawah Condrodimuko, penanda pengajian telah purna dan malam kian menyergap Tebuireng. Sekiranya alunan musih telah jeda dan mulai berganti siararan wayang kulit yang secara istiqamah diikuti Yai Ka’ radio Panasonic atau National-nya, penanda waktu bergulir memasuki diri. Ketika wayangan tak lagi terdengar, penanda subuh menjelang. Pastilah, menyelahi aktivitas mutha’laah kitab, qiyam al-lail dan munajat kepada Allah yang dilakukan secara disiplin dan menjadi rutinisme Yai Ka’ hingga jelang wafatnya.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)