BEGITU MENCINTAI TEBUIRENG

Saat diizinkan oleh keluarganya kembali ke Tebuireng, raut wajah Yai Ka’ berubah sumringah dan senyumnya kembali merekah. Simbolisme kecintaan beliau yang luar biasa kepada Pesantren Tebuireng, bahkan tiada tanding. Santri Tebuireng sepanjang hayat. Kiai Tebuireng yang begitu total mengabdi kepada almamaternya. Itulah sebabnya, spontan bersyukur saat beliau peroleh penghargaan dimakamkan di pemakaman keluarga Tebuireng. Layak, pantas dan memang seharusnya. “Aku iki, yo kiai, tapi santri abadi dek Tebuireng, Di”, tutur Yai Ka’ saat diajak ngobrol di kamar beliau.

 Kontras dengan santri sekarang, nyantri 3 tahun sudah berani mengklaim lama. Walau kemudian serba tanggung secara keilmuan dan apalagi kuasa beragu argumen dengan kalangan yang tengah habis habis-an melekukan de-ahlussunnah-isasi dan de-NU-sasi. Gagap, kepontal pontal dan tersisa amarah lantaran tak piawai merespon.

Begitu dikritik habis hadits yang dikutipnya dan dituding dhaif, keringat dingin menbasahi sekujur tubuh dan lagi lagi emosi menggelegak. Lha, cuma tiga tahun mondok. Tentunya, tak banyak ilmu yang ada dalam saku sang santri. Nah, Yai Ka’ sepanjang hayat nyantrinya. Berpuluh puluh tahun bergumul dengan al-kutub al-shafra’.

 Merasa begitu besar yang Tebuireng berikan kepada beliau dan merasakan kenikmatan yang tiada tara mencerdaskan para santrinya, sehingga Tebuireng dan Yai Ka’ tak ubahnya “kal jasad al-wahid”. Santri Tebiureng saat ini dan alumninya mesti belajar kepada Yai Ka’ bagaimana mencinta almamaternya.

Majalah Tebuireng