ORATOR DAN NARATOR ULUNG,
NAMUN PENDIAM YANG BIJAK

Tentu tak ada yang meragukan kepiawaian Yai Ka’ mengolah kata dan mengartikulasikannya ke khalayak. Ada yang unjuk jari hendak membantahnya ? Justru, pastilah yang sebaliknya. Singa podium, macan panggung, jagoan berpidato, orator dan entah apa lagi predikat yang layak disebutkan kepada beliau. Pendek kata, Yai ka’ figur komunikator yang jempolan yang di atas podium. Profil naratornya ? Wah, yang satu ini, paling banyak disebut sebut dan sekaligus sebagai kapasitas tanpa tanding. Narasi pemaknaan kitab yang beliau baca begitu cermat, dibarengi volume suara yang berkarakter plus ditingkahi joke joke yang mengena, jadilah semunya itu mengukuhkan kualitas dan kekhasan Yai Ka’. Namun menjadi sisi menarik–orator dan narator yang identik dengan sosok “banyak bicara”–justru keseharian Yai Ka’ cenderung pendiam. Yai Ka’ pribadi yang hemat kata dan lebih mengandalkan bahasa senyum. Sepintas terkesan paradok, “berprofesi” sebagai orator dan narator, tetapi berperilaku pendiam. Jelas berbeda, Yai Ka’ dengan begitu indah mengemas perilakunya : kapan mesti berbicara dan bila saatnya diam. Berbeda dengan kita, cenderung lebih banyak berbicara dan tak kuasa menempatkan diri kapan mesti berbicara dan bila waktunya diam. Yai Ka’ pengamal yang baik sabda Nabi, “al-shumt zainum li al-‘alim wa sitrun li al-jahil”. Diam itu hiasan bagi orang alim dan satir bagi orang bodoh. Atau sabda Nabi lainnya, “al-shumt hikamun wa qalilun fa’iluhu”. Diam itu pembawa banyak hikmah, sayangnya tidak banyak pelakunya. Bertabur hadits mendorong laku diam dan itu terserak dalam narasi Yai Ka’ lewat kitab Nashaih al-‘Ibad-nya Imam Nawawi al-Bantani. Meski, sekali lagi, Yai Ka’ memahami betul tak selamanya ” silent is gold”, diam itu emas.

Majalah Tebuireng