BERUMAH KAWAH CONDRODIMUKO

Kamar Yai Ka’ dinamai Kawah Condrodimuko. Rupanya, beliau terpengaruh cerita Gatutkoco yang digembleng “habis-habis-an” hingga peroleh kekuatan-kedigdayaan yang digambarkan dengan berotot kawat dan balung wesi. Bahkan hebatnya, justru Yai Ka’ sepanjang hayat “menggembleng dirinya” di kamar Condrodinuko.Tekat yang kuat, kesungguhan dan kesabaran yang luar biasa bergumul dengan khazanah keilmuan klasik Islam dan kegandrungan pada kitab kuning yang bertema aqidah dan etika, jadilah sosok seperti Yai Ka’ yang kita kenal. Yai Ka’ yang penyuka menonton wayang kulit yang tiada tandingnya di lingkungan pesantren Tebuireng dan menuliskan nama Condrodimuko di depan kamarnya, berpesan kepada kalangan santri agar menyukai tradisi lama yang dikembangkan pula oleh Walisongo, wayang kulit [ المحافظة علی القديم الصالح ]. Sayangnya, meski Yai Kai telah memberikan teladan menyukai menonton atau mengikuti siaran dari radio, entoh sangat jarang sekali santi yang mengikuti jejak berhobi nonton atau menyukai wayang kulit. Termasuk, yang sulit ditiru dari Yai Ka’ oleh santri santrinya : kesungguhannya. Agaknya, Yai Ka’ juga mengikuti jejak ulama ulama besar yang terekam kisahnya dalam khazanah sejarah Islam. Mulai dari para imam empat madzhab berikut muridnya hingga ulama Indonesia seperti Syekh Nawawi, Mahfudz al-Ternasi, Syekh Cholil, Syekh Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syamsuri. Tak satupun ulama yang hebat itu melewati proses yang biasa biasa saja, minus tantangan yang besar. Mereka menempuh thalab al-ilm yang panjang, kepada begitu banyak guru dan riyadlah yang tak ringan. Bahkan, para imam madzhab masing masing ratusan gurunya. Beda dengan kita, ingin meraih predikat alim dalam rentang waktu yang pendek dan instan lagi. Padahal, satu persatu ulama kenamaan menghadap ke pangkuanNya. Begitu jauh kualitas penggntinya, tetapi di sisi lain demikian murahnya dan berhambura predikat ulama dan kiai disematkan kepada seseorang.

Majalah Tebuireng