Oleh: Devi Yuliana*

Sebagai umat Islam, berdzikir merupakan kegiatan yang biasa dilakukan sepanjang hari, terutama seusai melaksanakan shalat fardhu. Dalam berzikir, terdapat banyak variasi bacaan mulai dari tahmid, tahlil, istighfar dan lain-lain. Berzikir merupakan ibadah yang paling sederhana karena dapat dilakukan di manapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Namun dampak atau manfaat dari bedzikir itu sendiri sudah sangat luar biasa. Jika seorang berzikir dengan sungguh-sungguh, dengan benar-benar mengingat Allah dan bertawakal kepadaNya, maka akan ada banyak manfaat yang dapat diperoleh, salah satunya ialah hati menjadi tentram.

Namun di samping manfaatnya yang sungguh luar biasa, masih banyak orang yang mempertanyakan tentang keutamaan antara seorang yang berzikir secara sirri dengan berzikir secara jahr yang biasa kita temui dalam kegiatan yasinan, tahlilan, ataupun manaqiban. Sebagian orang berpendapat bahwa berzikir secara sirri itu lebih utama kerena terdapat ayat yang menjelaskan bahwa bezikir itu secara diam-diam dan tidak mengeraskan suara. Adapun sumber dari argument tersebut ialah Surat Al-A’raf ayat 205 yang berbunyi:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

Artinya “ Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut serta tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Majalah Tebuireng

Dalam buku karya al Habib Novel bin Muhammad Alaydrus yang berjudul Ahlul Bid’ah Hasanah dijelaskan bahwa ayat tersebut bukanlah dalil untuk melarang seseorang berzikir secara jahr. Terdapat tiga penjelasan yang berkaitan dengan ayat tersebut.

Yang pertama ialah ayat tersebut merupakan ayat Makkiyah yakni ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Sebagaimana ayat berikut:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

Artinya : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah pula merendahkannya” (Q.S. Al-Isra’:110).

Dalam Tafsir Al Qurtubi terdapat lima qoul atau pendapat yang menjelaskan ayat tersebut. Salah satunya ialah ayat ini turun ketika Rasulullah SAW membaca Al Quran dalam keadaan shalat dengan suara keras dan didengar oleh kaum musyrik sehingga mereka mencela Al Quran dan Allah. Maka turunlah ayat ini sebagai perintah kepada Rasul untuk memelankan bacaan Al Quran agar tidak dicela oleh kaum musyrik. Namun hal ini sudah tidak terjadi di masa Islam sudah tersebar luas seperti sekarang.

Yang kedua beberapa ahli tafsir seperti Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir menafsirkan bahwa ayat ini berlaku bagi seorang yang berzikir di dekat orang yang membaca Al Quran. Maka untuk memuliakan bacaan Al Quran orang yang berzikir diperintah untuk memelankan bacaannya. Pendapat ini dikuatkan dengan wahyu Allah di ayat sebelumnya:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik” (Q.S. Al A’raf : 204)

Yang ketiga sebagaimana disebutkan oleh para sufi, ayat ini dikhususkan bagi Nabi Muhammad, manusia yang sempurna dan disempurnakan. Adapun manusia selain Nabi, hatinya masih dipenuhi was-was sehingga mudah terpengarus dengan bisikan iblis.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa baik berzikir secara sirri ataupun jahri terdapat keutamannya masing-masing dan menyesuaikan kebutuhan. Apabila kita sedang berada di dalam majlis zikir, maka mengeraskan zikir yang lebih utama. Namun apabila kita berzikir di sepertiga malam, maka memelankannya adalah yang utama karena dikhawatirkan dapat mengganggu orang lain.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari