(Alm) Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub saat memberikan kuliah umum di depan Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng akhir 2012 silam. Beliau meninggal dunia di Rumah sakit Hermina Jakarta 06.00 Kamis (28/4/2016).

Oleh: Cholidy Ibhar*

Pernah menyimak taushiyah Gus Mus saat hiruk pikuknya diskusi soal Hari Santri? Tentu. Menjadi santri atau yang disebut santri itu tidak mesti nyantri dan tidak melulu mondok. Boleh juga disebut santri, karena berlaku sebagaimnya laiknya santri. Dengan kata lain, memiliki marwah santri.

Menunjuk di antara warwah itu adalah ghirahnya yang tidak kenal lelah dalam thalab al-‘ilm, sepanjang hayat memburu ilmu untuk meluluh lantakkan kebodohan. Spirit mencari ilmu yang tidak kenal jeda, “min al-mahdh ila al-lahdh”. Terminal pemberhentian santri menimba ilmu saat ajal menjemputnya.

Memanglah, konsep “life long education” milik Islam. Apa yang pernah dipertontonkan dalam era keemasan Islam yang kemudian diabadikan dengan jejuluk “the glory of the past” merupakan torehan historis yang tidak terbantahkan.

Sebagaimana narasi Marvin Perry dalam karyanya “Western Civilization, A Brief History”, Barat dan Eropa menjadi maju, tidak lain lantaran pernah belajar kepada kebudayaan dan peradaban Islam. Mereka mengenal filsafat Yunani dengan baik lewat komentator muslim yang menerjemahkan karya karya Soecrates, Plato dan Aristoteles. Ketika “dunia Islam” mengalami kemajuan, justru secara bersamaan Barat dan Eropa tengah berselimut kegelapan, the dark age.

Majalah Tebuireng

Nah, marwah santri dalam hal ghirah keilmuan itulah yang ditunjukkan dengan sempurna oleh Ustadz Ali Musthofa Ya’kub. Usai melanglang buana dan meneguk manisnya dunia ilmu, barulah mesti memilih spesialisasinya: hadits. Karena tidak mungkin menjadi generalis ilmu, kalau tidak ingin menjadi ilmuwan tanggung. Maka mesti ada pilihan hendak menekuni secara mendalam di bidang ilmu apa.

Ketinggian marwah Ustadz Ali Musthofa selaku santri yang tekun, “jadda”, disiplin dan fokus dibidang ilmu sejak mula sudah ditunjukkan di Pesantren Tebuireng. Bahkan tidak cukup sekedar di Timur Tengah, India dan lainnya, namun sepulang di tanah air kendati sudah mengajar masih belajar kepada Gus Dur di Ciganjur.

Menjadi keniscayaan bila berbincang tentang apa yang mesti dijunjung sebagai harga diri atau marwah santri, ya perkara semangat keilmuan itu. Tidak usah “ngoyo woro” dan berbusa-busa bertaruh soal predikat kesantrian sekiranya fokus, parameter dan timbangannya bukan berdasar ghirah dan semangat keilmuan.

Pada gilirannya, cahaya keilmuan santri itu menyinari cara berfikir, sikap, dan akhlak kesantrian. Maka, tipologi santri seperti itu jauh dari yang dimaksudkan santri dalam konsep dan terminologinya Clifford Geertz.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen