Oleh: Anisa Faiqotul Jannah*

11 Juni 2017. Ayah dan ibunda mengantarku dengan mobil pribadi sampai ke sebrang di pulau Jawa. Dua hari tiga malam pada saat itu jarak menempuhnya, karena jalan tol masih dalam proses pembangunan. Sesampainya di sana, kami menuju rumah kakek yang merupakan kakaknya nenek dari bunda. Hampir seminggu kami berada di rumah kakek dan menyempatkan diri untuk berkeliling wisata sebelum akhirnya kami harus berpisah untuk sementara waktu.

Bangunan yang cukup padat dan sangat ramai, tempat pendidikan? Ya, itulah lebih pantasnya disebut. Di sana gedung-gedung menjulang tinggi berderetan, di mana ribuan santri belajar mengaji mencari ridho Ilahi. Saat kami melewati gerbang besar terdapat tulisan yang membuatku tertegun sejenak. “Selamat datang di Pondok Pesanten Darussalam Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi, Jawa Timur. Yang didirikan oleh KH. Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur, pada 15 Januari 1951.

Hembusan angin sejuk dari arah selatan pegunungan sana terasa hambar. Derap langkah kaki-kaki jenjang nampak terseok berjalan ke arah masjid di halaman utama santri putri, terlihat seakan tak bernyawa. Begitu pun suara adzan berkumandang dari arah speaker masjid, melengking merdu menyambut bola raksasa kemerahan di ufuk timur yang juga terdengar hampa dan kosong. Seperti tak tampak denyar-denyar nafas kehidupan.

Majalah Tebuireng

Seusai aku melaksanakan aduan yang begitu mesra bersama Tuhan, tak lama kemudian, terdengar suara yang masih asing bagiku. “Tek… tek… tek…”, gema suara dari senjata petugas keamanan yang mulai berkeliling membangunkan ribuan santri di waktu Subuh yang masih saja sunyi. Santriwati harus bangun untuk segera bersiap melaksanakan kewajiban seorang muslim. Perlahan kini mimbar shaf barisan mulai terpadati makhluk pencari nur ilmi.  Berlarian kecil di atas teras yang suci dengan membawa sajadah, tasbih, al-Quran dan mukenah putih seperti yang kami kenakan.

Ba’da Subuh kemarin aktivitas sakral para santri berjalan normal. Mengaji dengan halaqohnya masing-masing di setiap sudut-sudut pondok. Riuhan mereka, menusuk. Tiap jengkalnya terasa sejuk dan damai, tak tergoyahkan walau angin pegunungan membisikkan dingin.

Tak terasa satu minggu sudah, aku menjalankan aktivitas di pesantren salaf modern ini.  Dengan suasana baru, teman baru, dan jadwal aktivitas baru. Bagiku, menjadi santri adalah lambang keromantisan. Antara sedih dan resah, kita tidak boleh mengalah pada masalah. Antara cinta dan rindu pada ibu, kita harus tetap belajar ilmu. Antara kenang dan kangen, di sana kita menemukan teman baru.

Menjadi santri adalah tantangan, karena mereka harus menciptakan hal baru, dan tidak ikut arus zaman ke barat-baratan. Apalagi ikut trending yang sudah jelas berbeda arah. Santri, simpelnya dalam pikiranku adalah mereka yang menjadikan Ilah sebagai Tuhannya, Muhammad sebagai Nabinya, al-Quran sebagai kitabnya. Yang terus berbenah untuk mengkokohkan iman, mendalami Islam, dan memperbaiki ihsan.

Santri bukan hanya mereka yang bertungkus lumus di pesantren, tetapi mereka yang laku dan amalnya, ilmu dan adabnya seperti Nabi; itulah hakikat santri. Seperti pepatah lama mengatakan “Tak kenal maka tak sayang”. Itulah maqolah pentingnya ta’aruf atau pengenalan. Tepat pada masa ta’aruf tersbut aku melihat sosok gadis sebayaku nampak sedang merenung di balkon pesantren induk seorang diri. Hatiku terkoyak untuk menghampirinya.

“Assalamualaikum Mbak,” sapaku sembari mengamatinya dari dekat namun gadis tersebut hanya menoleh sekejap lalu kembali menunduk. (Apakah suaraku kurang keras gumamku)

“Assalamualaikum Mbak!” (Kembali ku menyapa dengan suara yang agak keras.)

“Waalaikumussalam,” jawabnya sambil menatapku.

“Apakah sedang baik-baik saja?”. Sedari tadi aku melihat gadis itu merenung seorang diri di tengah keramaian. Tanyaku memastikan.

“Iya aku baik-baik saja, tidak usah pedulikan aku,” jawabnya ketus

“Ya sudah, maaf mengganggu,” jawabku. Kemudian beranjak meninggalkannya untuk segera menunaikan ibadah shalat Ashar berjamaah.

Seusai shalat aku kembali di asrama kemudian langsung menaiki anak tangga untuk mengambil beberapa pakaian yang kujemur tadi pagi. Tiap aku melangkah entah mengapa rasanya ada sesuatu yang mengganjal di selubung benak, akan tetapi aku sendiri juga tidak mengetahuinya mungkin hanya rasa rindu yang telah mengusik pikiran. Di atap asrama ini adalah tempat yang begitu nyaman bagiku, saat itu kurebahkan badan mungilku di lantai tak beralas. Kutatap langit indah dengan senja yang tampak sayu di balik lipatan kabut.

Suasana pesantren tampak remang dan lengang, meski matahari belum sepenuhnya tenggelam, tapi rona indahnya mencengkram tiap pasang mata yang menyaksikan.

“Mahya, ayo turun sudah mau Magrib ini, nggak baik loh,” tegur Lia sambil mengangkat pakaiannya yang sudah kering.

Lia Delfina adalah teman pertama yang dikenal oleh Mahya di pesantren. Selain karena kami berasal dari kampung halaman yang sama, kebetulan kakak laki-laki Lia juga akrab dengan Mahya.

“Iya-iya bentar, Mahya mau ngangkatin pakaian Mahya yang sudah kering dulu.”

“Ya sudah cepat turun ya… kita makan dulu setelah ini.”

“Hooogheee,” jawabku cepat.

Di asrama kami, saat itu jatah makan hanya dua kali sehari. Jatah makan sering kita sebut sebagai pajekan yang aku sendiri asing dengan bahasa itu. Seusai makan sore, Lia mengajak Mahya untuk mandi terlebih dahulu.

“Mahya, mandilah dulu aku tadi sudah ngantrikan kamu di jeding nomor 5,” ucap Lia bergegas menunjukkan kamar mandi kepadaku.

Malam ini adalah ma’assalam terakhir yang kegiatannya bakal diisi renungan malam di halaman makam Syaikhona Mukhtar Syafaat Abdul Ghofur. Pengurus memutar nada yang begitu syahdu, membuat para santri baru khidmat mengikuti dan terenyuh hatinya saat mendengarkan alunan nada yang mengena. Hingga ada beberapa santri yang meneteskan air mata karena tidak bisa membendung lagi kumpulan air mata ini. Sedih begitu mendalam harus jauh dari orang tua, namun demikian yang dilakukan ini adalah salah satu perjuangan kami untuk mereka yang di rumah.

Harapan dan keinginannya patut untuk diperjuangkan dan diwujudkan. Ya, inilah saatnya aku memulainya. Dan di tempat inilah aku memilih untuk menciptakan serta mewujudkan keinginan ayah dan ibunda. Never say never, tidak ada kata tidak mungkin selagi Mahya mampu mencobanya. Entah nanti kerasan tidak di pondok pesantren, Mahya harus tetap mencobanya.

Sudah beberapa hari jauh dari orang tua, rasa rindu terus menyayat, tapi harus tetap bertahan untuk tinggal. Di sini Mahya sadar, betapa banyak ilmu dan pengalaman yang belum pernah Mahya dapatkan sejak lahir, untuk itu kini tibalah saatnya untuk belajar, mencari, menuntut ilmu, dan menggali sedalam-dalamnya. Karena ilmu tidak akan ada habisnya, apalagi ilmu agama yang begitu penting untuk kita pelajari. Ilmu agama sebagai pedoman hidup dan juga bekal di akhirat nanti. Inilah pilihan terbaik dari orang tua, dan mungkin ini salah satu alasan mengapa Mahya harus tetap disini, mengemban ilmu di sini, dan mengabdi di tempat ini. Semoga Mahya bisa betah, cepat menyesuaikan diri, beradaptasi, dan me-ngalap berkah dari kiai Pondok Pesantren Darussalam ini.

“Bunda, Ayah… baik-baik ya di rumah! Di sini Mahya juga baik-baik saja,” lirihku sembari menyeka air mata yang mulai menetes.

“Mahya berdoa semoga Ayah dan Bunda selalu dalam lindungan Allah SWT, dan semoga selalu diberikan Kesehatan,” gumamku berdoa kepada Tuhan.

Nada yang disetelkan oleh pengurus benar-benar bisa menyatu di dalam heningnya malam, tak bisa dipungkiri kalau beberapa santri tidak bisa membendung air matanya. Jauh orang tua demi mencari dan menggali ilmu, seperti kata pepatah “Carilah ilmu sampai Ke Negeri Cina”.


*Mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari