Tebuireng.Online

Tebuireng.online- Innalillahi wainnailaihi raiji’un, kabar duka datang dari Tanah Suci. Ulama kharismatik yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) meninggal dunia.

Banyak kesaksian tentang perjalanan hidup Mbah Moen, salah satunya datang dari Pengasuh Pesantren Al Masruriyyah Tebuireng, KH. Agus M. Zaki Hadzik (Gus Zaki) Cucu Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Gus Zaki yang kebetulan juga sedang berada di Mekah untuk menjalankan ibadah haji mengaku berkesempatan sowan kepada KH Maimoen Zubair pada hari Senin 5 Agustus 2019 pukul 22.00 waktu Mekah atau hanya beberapa jam sebelum Mbah Moen meninggal dunia.

Kabar meninggalnya Mbah Moen juga langsung viral, salah satunya dibahas di grup WhatsApp Asparagus, atau group yang diisi para Gus atau putra Kiai Nusantara. Salah seorang Gus bahkan menceritakan betapa dinginnya udara di Arab Saudi menyambut meninggalnya Mbah Moen. “Bersama Hujan, dan saat inipun tampak kabut putih suci menyelimuti seakan mengiringi meninggalnya Mbah Moen,” tulis seorang Gus yang memiliki pesantren besar di Jawa Tengah.

Niki di luar hotel kiswah melihat ke langit begitu sejuk, merinding. Seperti malaikat sami mandap (turun),” ujar Gus asal Sragen yang mendampingi Mbah Moen di Mekah.

Seorang Gus juga bersaksi bahwa semasa hidupnya Mbah Moen pernah minta didoakan meninggal di hari Selasa saat menunaikan ibadah haji. Karena para ahli ilmu itu biasanya meninggal di hari selasa. “MasyaAllah semuanya diijabahi Allah,” ujar Gus dari Jawa Timur ini.

Majalah Tebuireng

Sementara itu, mengutip NU online, Ulama yang akrab disapa Mbah Moen ini merupakan salah satu dari anggota Ahlul Hall wal Aqdi (Ahwa) pada Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015 lalu. Kiai Haji Maimoen Zubair merupakan seorang alim, faqih sekaligus muharrik(penggerak). Selama ini, Kiai Maimoen merupakan rujukan ulama Indonesia, dalam bidang fikih. Hal ini, karena Kiai Maimoen menguasai secara mendalam ilmu fikih dan ushul fikih. Ia merupakan kawan dekat dari Kiai Sahal Mahfudh, yang sama-sama santri kelana di pesantren-pesantren Jawa, sekaligus mendalami ilmu di tanah Hijaz.

Kiai Maimoen lahir di Sarang, Rembang, pada 28 Oktober 1928. Kiai sepuh ini, mengasuh Pesantren al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Maimoun merupakan putra dari Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Kiai Zubair merupakan murid dari Syekh Saíd al-Yamani serta Syekh Hasan al-Yamani al-Makky.

Kedalaman ilmu dari orang tuanya, menjadi basis pendidikan agama Kiai Maimoen Zubair sangat kuat. Kemudian, ia meneruskan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, ia juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.

Pada umur 21 tahun, Maimoen Zubair melanjutkan belajar ke Makkah Mukarromah. Perjalanan ini, didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuáib. Di Makkah, Kiai Maimun Zubair mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.

Kiai Maimoen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain. Kiai Maimun juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-ulama al-mujaddidun.

Selepas kembali dari tanah Hijaz dan mengaji dengan beberapa kiai, Kiai Maimoen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Kiai Maimoen kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.

Selama hidupnya, Kiai Maimoen memiliki kiprah sebagai penggerak. Ia pernah menjadi anggota DPRD Rembang selama 7 tahun. Selain itu, beliau juga pernah menjadi anggota MPR RI utusan Jawa Tengah. Kini, karena kedalaman ilmu dan kharismanya, Kiai Maimoen Zubair diangkat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Politik dalam diri Kiai Maimoen bukan tentang kepentingan sesaat, akan tetapi sebagai kontribusi untuk mendialogkan Islam dan kebangsaan. Demikianlah, Kiai Maimun merupakan seorang faqih sekaligus muharrik, pakar fiqh sekaligus penggerak.

Tulis Gus Zaki di media WhatsApp, “Hari Senin, Saya dan Gus Afif sepakat sowan kepada Mbah Moen. Kami segera mengontak khadam beliau dan meminta waktu. Alhamdulillah, Kami diberi waktu. Sekitar pukul 21.00 waktu KSA, Saya beserta rombongan 7 orang sampai dikamar hotel yang menurut Saya, cukup sederhana utk ukuran Mbah Moen. Beliau masih sare (tidur). Agak lama Kami menunggu karena tidak ingin mengganggu istirahat Beliau. Disela menunggu, Saya sempatkan kirim fatihah kepada Beliau dan tak lama kemudian Beliau terbangun. Segera Kami sowan. Beliau dawuh, “Umur diatas 80 tahun, wes susah, opo maneh Aku, 91 tahun.” Lalu beliau cerita bahwa menjelang kelahirannya, sempat ditunggui oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kami sempatkan mohon doa barakah. Di tengah-tengah doa yang dipanjatkan, terdengar isak-isak tangis kecil. Beliau sempat minta maaf atas tidak adanya suguhan.”

“Barangkali, Kami adalah orang terakhir yang mendapat doa barakah dari Beliau. Bahkan ketika Saya pamit dan akan memberikan titipan dari kawan-kawan, Beliau dawuh “Pun tho, mboten usah ngeten Kiai”. Cleguk ! Beliau menyebut Saya “kiai” yang jauh dari standar seorang *kiai”. Selamat Jalan Mbah Moen. Allah mencintai Panjenengan.”


Disadur dari :www.ngopibareng.id