Oleh: KH. A. Musta’in Syafi’i

إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ، نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ، وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّابَعْدُ

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْ اللهَ، اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، أَعُوْذُبِالله مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ

Khutbah masih membicarakan tentang apa yang harus diperbuat oleh seorang mukmin setelah berusia 40 tahun. Yang oleh orang-orang Barat disebut bahwa kehidupan itu justru berawal sesungguhnya mulai usia 40 tahun, life begin at forty. Kali ini masuk seri yang ketiga belas dari enam item panduan al-Quran. Yang ketiga adalah wa an a’mala shalihan tardhahu, yang kita sebut dengan hidup berstandar pada Tuhan. Oleh karenanya kepatuhan terhadap Allah, persembahan amal-amal kita kepada Allah itu menjadi mutlak. Bukan berstandar nafsunya sendiri, keinginan sendiri, melainkan Allah menjadi senang dengan amal perbuatan kita.

Kalau itu yang kita gagas, maka semakin tidak masuk akal, semakin berlawanan dengan kehendak nafsu. Tapi itu perintah Allah, lalu kita jalani. Maka semakin tinggi nilai ridha Allah yang akan kita peroleh. Hari ini ada contoh yang hebat yaitu peristiwa Idul Adha yang diperankan oleh nabiyullah Ibrahim ‘alahi sholatu wa salam. Oleh al-Quran hingga diberi gelar bapak umat Islam, bapak kaum mukminin, millata abikum Ibrahim. Karena Ibrahim ini tidak pernah cerewet, wa Ibrahima alladzi waffa. Selalu waffa (memenuhi) apa yang diperintahkan Tuhan, tidak pernah cerewet. Tidak pernah rewel, dipenuhi terus. Masuk akal atau tidak, membahayakan atau tidak, merugikan atau tidak, ‘hitungan rasional’ itu tidak ada bagi Ibrahim. Selagi itu kehendak Allah, maka di-waffa, dipenuhi totalitas.

Majalah Tebuireng

Ya, siapapun tidak akan bisa menalar kalau ada seseorang itu disuruh menyembelih anaknya sendiri, itu tidak mungkin lah. Tetapi Ibrahim tahu kalau itu tardhahu, menyenangkan Allah, tetap ditunaikan.

Bisa dibayangkan, sebagai manusia yang tidak luput dari keinginan. Sudah berkeluarga lama, tidak dikaruniai anak. Lalu dikaruniai anak laki-laki yang ganteng. Subhanallah, masih kecil bayi. (Ibrahim) disuruh meninggalkan tempat itu. Ya, tidak masuk akal lah. Bagaimana mungkin, seorang istri yang sedang menyusui, punya anak kecil. Ditaruh begitu saja di samping Ka’bah.

Lalu Allah memerintahkan, tinggalkan. ‘Anakmu, istrimu, tinggalkan’. Ya pasti tidak masuk akal, mana ada suami yang tega meninggalkan istri tercinta, anak satu yang tercinta. Ditinggal pergi untuk memenuhi panggilan Allah yang lain. Sampai-sampai istrinya, Hajar itu, kagum. Istrinya sama tawakalnya dengan suaminya. Tapi masih bertanya, ‘Anda itu meninggalkan kami dan anak-anak disini tidak ada apa-apa. Jangankan makanan dan tempat berteduh, air saja tidak ada. Benarkah ini kemauanmu sendiri atau perintah dari Allah. Âllahu amaraka bi hadza, apakah memang Allah menyuruh kamu demikian, Kakanda?’.

Sekedar bertanya, dan nabi Ibrahim menjawab, ‘Iya, bukan kemauanku sendiri. Allah yang menyuruh meninggalkanmu sendiri di sini, entah hidup atau mati’. ‘Oh’, jawab istri yang hidup berstandar Tuhan, bukan berstandar suaminya. ‘Idzan, lan yudhayyi’ana Allah, kalau begitu, kalau itu betul-betul perintah Tuhan, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan hidup kami’. Ya kalau mencari perempuan seperti ini, ya susah. Ini sebagai uswah saja.

Silahkan ditinggal. Ini menurut akal, pasti mati itu. ismail pasti mati, karena ibunya tidak punya makanan air susu pun tidak keluar. Tidak mungkin, mau kemana. Bi wâdin ghaira dzi zar’i. Iya, tapi kan Allah ada. Ya sudah ikhtiar saja, mondar-mandir Shofa Marwah mencari air dan Ismail ditinggal begitu saja. Hasilnya apa, justru Ismail yang bayi tidak bisa apa-apa, hanya kakinya ini bergerak-gerak menendang tanah. Justru air itu keluar dari kaki Ismail tadi.

Kesimpulannya seperti ini, seorang yang berusaha sangat serius. Keseriusan usaha itu tidak menentukan keseriusan rizki. Sama sekali tidak. Yang menentukan adalah Allah, mutlak Allah.

Bukan main usaha Siti Hajar yang mondar-mandir tapi tidak menemukan air. Tapi Ismail yang usahanya sedikit, bayi yang kakinya bergerak-gerak menyentuh tanah justru seperti itu ada air. Nah, cukupkah seorang ibu yang menyusui itu hanya minum air saja? Tidak, nanti akan ada trik-trik berikutnya yang mengagumkan. Ya ini karena ‘dasarnya Allah’ tadi, maka ada atraksi-atraksi lain yang sangat monumental dan tak pernah terbayangkan.

Justru air yang mengalir yang disebut zam-zam itu mengundang ciuman para burung padang pasir. Dari kejauhan tahu, ada air disana dan burung-burung itu terbang memutar di atas zam-zam ini. Ya sekedar terbang berputar saja, sesekali turun minum balik lagi memutar. Sehingga mengajak temannya dan akhirnya banyak burung berputar di atas zam-zam itu. Dengan isyarat burung yang berputar itu sehingga para kafilah, pedagang yang melintas disitu menjadi tahu. 

Dari kejauhan terlihat ada burung berputar-putar, itu berarti pasti di bawah itu ada air. Itu indikator multak. Di padang pasir ada burung berputar-putar pasti dibawahnya ada sumur. Allah menggiring para pedagang yang kaya-kaya dengan berbagai bekal datang ke zam-zam itu untuk mengambil air. Barter dengan makanan, buah, dan dengan lainnya. Jadilah Ismail kecil dan ibunya tinggal menunggu saja, dilengkapi semua disitu. Sehingga tanpa kerja apapun, mau buah-buahan model apa nanti Allah yang mengatur sendiri. Tapi ingat, syaratnya cuma satu, wa an a’mala shalihan tardhahu. Itu perspektif teologis.

Adakah amal-amal yang berstandar Tuhan itu perspektif sosial? Ada, silahkan dalam mashlahah ‘ammah, perspektif sosial, saya menghadirkan contoh yang bagus. Yang diambil oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada sekitar tahun 47. Ketika itu Belanda sudah melakukan perjanjian Linggarjati dan rupanya kaum muslimin keberatan. Perjanjian yang sepihak. Usaha Belanda untuk merayu-rayu umat Islam atau bangsa ini agar mematuhi perjanjian yang sudah dibuat Gubernur Belanda waktu itu, Ch. O. van der Plas dan asistennya, yang dituju waktu itu adalah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari disini. Karena pusat ulama disini (Tebuireng).

Dua orang ini sowan di Tebuireng, biasa tradisi Belanda membawa herder (anjing yang besar galak). Tahu bahwa tradisi pesantren tidak menyukai anjing maka anjing diparkir di luar gerbang. Dua orang ini masuk. Hadratussyaikh didampingi oleh santri seniornya. (Mereka berdua) bertujuan agar umat Islam atau bangsa Indonesia ini mematuhi perjanjian Linggarjati yang sudah ditandatangani. Tapi Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari itu tahu bahwa perjanjian Linggarjati itu merugikan bangsa ini. Maka beliau menjawab diplomatis sekali. ‘Saya tidak bisa memutuskan sendirian, masih banyak ulama dan tokoh-tokoh negeri ini yang saya ajak musyawarah’.

‘Oh iya, lalu kapan kami bisa menemui pak Kiai untuk menerima jawaban itu’, kata van Der Plas. Oleh Hadratussyaikh tidak dijawab dan diam. Tapi tiba-tiba Hadratussyaikh mengatakan begini, ‘Sepertinya anjing tuan itu di luar ya, kepanasan itu, kasihan. Masukkan saja, bawa kesini’. Tetapi van Der Plas tidak mau, ‘Bukankah pesantren itu membenci anjing?’.

Hadratussyaikh memberi penjelasan umat Islam tidak pernah membenci anjing. Tapi pada batas-batas tertentu kita ini perlu menghindari. Yasudah, anjing dituntun masuk, di ndalem situ. Sementara dua santri yang mendampingi Hadratussyaikh ini bingung. Seperti protes secara diam. Dan rupanya si Belanda tadi itu tersinggung. Minta tanggapan perjanjian Linggarjati tidak dijawab, malah anjingnya yang dihormati seperti itu. Selesai.

Sebelum dua santri ini mengajukan pertanyaan kepada Hadratussyaikh lebih memuliakan anjing kemudian mengabaikan kemauan van Der Plas. Dijawab dahulu oleh Hadratussyaikh, ‘Begini ya, kalau hanya sekedar najisnya anjing seperti anjing ini di pintu, lantai, atau kursi, itu mudah tinggal disiram sudah hilang, selesai. Tapi kalau masalah umat, kalau kami menyetujui mau menuruti kemauan Belanda seperti itu dengan Linggarjati, maka yang terkena madharat bahaya itu semua bangsa Indonesia semua umat Islam terkena, itu lebih bahaya. Lebih tidak disukai oleh Allah karena memberikan kesengsaraan kepada bangsa ini. Maka lebih baik, tidak apa najis sedikit tinggal nyiram saja’.

Hebat. Sebuah pandangan yang sangat ‘irfaniyyah, yang berstandar Tuhan. Dengan demikian Hadratussyaikh betul-betul seorang ulama yang pejuang dan benar-benar mencintai Republik ini, umat Islam semuanya.

Mudah-mudahan bermanfaat.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم، وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأٓيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم، فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ. البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ، و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ


Pentraskip: MSA