(Ilustrasi: M. Najib)

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan di baliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya. Selain sebagai sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. ar-Ruum: 21), nikah juga sebagai sarana untuk menggapai kesinambungan peradaban manusia seperti yang tercantum dalam al-Qur’an (QS. an-Nisaa’: 1, an-Nahl: 72).

Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, Islam juga menganjurkan kafa’ah yang sebaiknya dapat dipertimbangkan sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Akan tetapi, syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga tidak memperngaruhi keabsahan nikah. Kafa’ah bertujuan di antaranya agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan, dan kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.

Pengertian kafa’ah seperti yang telah dijelaskan dalam kitab al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam karangan Lois Ma’luf, secara bahasa berasal dari kata yang berarti al-musaawah (sama) atau al-mumatsalah (seimbang). Sedangkan  secara terminologi, kafa’ah selalu dikaitkan dengan masalah perkawinan. Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur mendefinisikan kafa’ah sebagai suatu keadaan keseimbangan kesesuaian atau keserasian. Ketika dihubungkan dengan pernikahan, kafa’ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara calon suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan sebagainya.

Menurut madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama, kafa’ah atau kesetaraan derajat antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang akan menikah hukumnya wajib. Dalil disyari’atkannya kafa’ah dalam pernikahan adalah hadis;

Majalah Tebuireng

تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ 

“Pilihlah (tempat) untuk mani kalian, dan nikahilah orang-orang yang sepadan, dan nikahkanlah (wanita) dengan orang-orang yang sepadan.” (Sunan Ibnu Majah, no. 1968, Mustadrok Lil-hakim, no. 2687, Sunan Daruqutni, no.3788 dan Sunan Kubro Lil-Baihaqi, no. 13758)

Adapun tujuan disyari’atkannya kafa’ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan. Sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga.

Namun kafa’ah bukanlah termasuk syarat sahnya suatu pernikahan, dalam arti akad nikah tetap sah meskipun kedua mempelai tidak sekufu apabila memang ridho. Sebab kafa’ah adalah hak yang diberikan kepada seorang wanita dan walinya, dan mereka diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melangsungkan suatu pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu.

Dalil sahnya suatu pernikahan yang tidak sekufu adalah hadis yang mengisahkan tentang pernikahan antara Fatimah binti Qois dan Usamah, padahal Fatimah binti Qois adalah wanita merdeka dan keturunan dari suku Quraisy sedangkan Usamah adalah seorang budak. Imam Muslim ra meriwayatkan;

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ، فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ»، فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي»، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ»، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ

“Dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa Abu Amru bin Hafsh telah menceraikannya dengan talak tiga, sedangkan dia jauh darinya, lantas dia mengutus seorang wakil kepadanya (Fathimah) dengan membawa gandum, (Fathimah) pun menolaknya. Maka (Wakil ‘Amru) berkata; Demi Allah, kami tidak punya kewajiban apa-apa lagi terhadapmu. Karena itu, Fathimah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan hal itu kepada beliau, beliau bersabda: “Memang, dia tidak wajib lagi memberikan nafkah.” Sesudah itu, beliau menyuruhnya untuk menghabiskan masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Tetapi kemudian beliau bersabda: “Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para sahabatku, oleh karena itu, tunggulah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, sebab dia adalah laki-laki yang buta, kamu bebas menaruh pakaianmu di sana, jika kamu telah halal (selesai masa iddah), beritahukanlah kepadaku.” Dia (Fathimah) berkata; Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul -pent), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya hingga bahagia.” (Shohih Muslim, no. 1480).

Pertimbangan kafa’ah yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pihak laki-laki, dan bukan dari pihak perempuan, maksudnya wanita yang mempertimbangkan apakah lelaki yang akan menikah dengannya sekufu atau tidak, sedangkan apabila derajat seorang wanita di bawah seorang lelaki itu tidaklah menjadi masalah. Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki dan sebagaimana diketahui semua wanita yang dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam derajatnya dibawah beliau, karena tak ada yang sederajat dengan beliau. Hal ini bisa dilihat dari beragam latar belakang istri-istri Nabi. Selain itu, kemuliaan seorang anak itu pada umumnya dinisbatkan pada ayahnya, jadi jika seorang lelaki yang berkedudukan tinggi menikah dengan wanita biasa itu bukanlah suatu aib.

Rasulullah SAW bersabda:

ثَلاَثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: الرَّجُلُ تَكُونُ لَهُ الأَمَةُ، فَيُعَلِّمُهَا فَيُحْسِنُ تَعْلِيمَهَا، وَيُؤَدِّبُهَا فَيُحْسِنُ أَدَبَهَا، ثُمَّ يُعْتِقُهَا فَيَتَزَوَّجُهَا فَلَهُ أَجْرَانِ

“Ada tiga macam orang yang akan memperoleh pahala 2 kali; seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, kemudian ia mengajarinya dengan baik dan mendidik akhlaknya dengan baik lalu ia memerdekakannya dan menikahinya, maka ia mendapat 2 pahala.” (Shahih Bukhari, no. 3011 dan Shahih Muslim, no. 154).

Bersambung………


*Mahasantri Putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng