Sumber foto: islamkaffah.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Musik berasal dari bahasa Yunani yang menunjuk pada berbagai jenis nada pada alat musik. Sedangkan ilmu musik membahas tentang selaras tidaknya sumber-sumber nada, dan berbagai ritme pemisahnya, sehingga ia dapat diketahui sususan sebuah iramanya. Musikus adalah orang yang mencipta, memimpin, dan menampilkan musik. Musikal artinya sesuatu yang berkenaan dengan musik. Di dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah halaman 168 dalam bahasan Ma’azif (alat-alat musik) dijelaskan bahwa kata musik diartikan sebagai suara yang dihasilkan oleh instrumen-instrumen musik.

Pembahasan tentang mendengarkan musik dalam fikih termasuk al masail al fiqhiyyah, bukan termasuk dasar-dasar akidah atau perkara yang diketahui dari agama secara pasti. Lebih lagi, dalam syariat tidak ada nash yang sharih yang menjelaskan tentang keharaman musik sebagaimana yang diterangkan Imam al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin juz ke-2 halaman 268.

Akan tetapi, dalam masalah khilafiyyah ini, tidaklah patut menafikan sesama muslim atau mengingkarinya, selama ada ulama ahli fikih yang memperbolehkan musik, sedangkan mereka adalah ulama yang berkompeten dan  bisa dijadikan rujukan serta bisa diikuti pendapatnya. Maka tidak boleh memecah persatuan umat sebab masalah khilafiyyah.

Dalam permalasahan ini para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya, seperti Imam Syafi’i mengatakan ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”. Begitu juga dengan Imam Malik dalam kitab Mughni Muhtaj juz 3 halaman 3, ia mengatakan “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat).” Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id.

Majalah Tebuireng

Sedangkan Ulama yang memperbolehkan musik dan instrumen-instrumenya adalah al-Ghazali. Di dalam kitab Ihya Ullumuddin diterangkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum seni musik dan segala ragamnya. Nyanyian itu sendiri itu berasal dari kata al Ghina sebagaimana lafadz  kisaa berarti suara yang dilantunkan, atau berarti sesuatu yang  didengarkan. Seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran.

Di dalam kitab al-Furu’ li ibnu Muflih, halaman 236-237, dijelaskan bahwa “Musik dapat memompa semangat. Tidak ada orang yang sabar dalam perihnya hidup atau pahitnya kebenaran kecuali Nabi Muhammad SAW. Musik adalah penawar hati dikala jenuh. Maka seyogyanya musik itu diperbolehkan, tapi tidak patut untuk mengkonsumsi banyak-banyak seperti mengkonsumsi obat.

Dengan niat di atas musik pun dapat mendekatkan diri kepad Allah SWT. Ini bagi orang yang pendengaran hatinya tidak dapat menggerakkan sifat-sifat mulia yang patut digerakkan. Melainkan hatinya yang hanya dapat merasakan kenikmatan dan ketenangan. Maka musik pun dianjurkan baginya untuk mencapai tujuan yang telah kamu sebutkan.

Akan tetapi, karena orang yang sempurna tidak membutuhkan selain perkara yang haq untuk mententramkan jiwanya. Namun kebaikan orang-orang yang saleh seperti kejelekan orang-orang yang dekat dengan Allah. Orang yang mengetahui penawar hati, cara-cara mengasihi serta menuntunnya ke jalan yang benar, tentu tahu bahwa menghibur hati dengan semacam ini merupakan obat yang berguna dan tidak tehindarkan.”

Alat-alat musik jika telah menjadi semboyan para pemabuk atau penyanyi yaitu seruling, gitar, dan gendang maka ketiga alat musik ini dilarang. Adapun alat lainnya tetap diperbolehkan seperti rebana meskipun memiliki gemerincing, gendang, alat musik pukul dan lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali yang dikutip oleh Syaikh Dr. Ali Jum’ah dalam kitab al Bayan lima Yasghal al Adzhan.

Banyak dari sebagian ulama yang berpendapat bahwa di dalam musik tedapat suatu inspirasi bagi orang yang dapat memahami isyarat dan ketenangan jiwa. Di antaranya adalah Qadli iyadh- as Syibli, seorang ulama sufi Madzab Maliki yang terkemuka. Di dalam kitab Siyar A’lam al-Nubala:, juz 20 hal. 212, beliau berkata, ”Musik secara dzahir dapat menimbulkan fitnah, namun secara batin dapat memberikan ibroh (inspirasi.)”.

Juga dijelaskan di dalam tafsir al Qurtubi juz 4 halaman 54, bahwasanya gendang di dalam pernikahan hukumnya boleh seperti rebana. Sama dengan alat-alat musik lain yang digunakan untuk menyemarakkan acara resepsi pernikahan dan untuk melantunkan suara yang indah juag diperbolehkan selama tidak ada kata-kata kotor di dalamnya.”

Ibnu Hazm berkata; Rasulullah SAW bersabda:

إنما الأعمال بالنية، وإنما لامرئ ما نوى

Amal-amal perbuatan tergantung niatnya, dan kepada tiap ornag dikembalikan tiap hal yang ia niatkan.” (HR. Bukhari, no. 6689)

Maka barngsiapa yang berniat mendengarkan lagu sebagai sarana kemiskinan maka ia fasik. Begitu juga dengan sesuatu selain lagu yang digunakan untuk sekedar menghibur diri ketika jenuh atau taat kepada Allah SWT dan semangat untuk melaksanakan ibadah kepada Allah SWT dan kebaikan, maka ia termasuk orang yang baik, dan berbuat hal yang benar.

Beberapa ulama sepakat tentang keharaman lagu yang memuat kata-kata kotor, fasik dan memicu kemaksiatan. Karena lagu adalah sebuah perkataan, maka baiknya adalah kebaikan dan buruknya adalah keburukan. Lalu bagaimana jika dikolaborasikan dengan nada, simfoni, dan efek-efek musikal lainnya?

Di sini, di dalam kitab al Bayan lima Yasghal al Adzhan dijelaskan bahwasanya ulama sepakat boleh menyanyikan lagu tanpa diringi alat musik dalam momen-momen bahagia yang diperbolehkan dalam syariat, seperti pernikahan, kedatangannya orang yang berpergian, dan lain-lain, dengan syarat bukan seorang biduan yang berdendang di sekitarnya orang-orang yang bukan mahramnya atau ajnabi.

Karena ulama berselisih pendapat mengenai lagu yang diringi alat-alat musik, maka ulama memutuskan kebolehan lagu diringi dengan alat musik atau tidak, selama tidak memancing kemaksiatan atau menghilangkan esensi-esensi syariat. Hanya saja memperbanyak bernyanyi dapat mengeluarkannya dari batas hukum mubah kepada makruh, bahkan haram. Wallahu A’lam.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng


Sumber :

al-Mausu’ah al-Fiqhiyyan al-Kuwaitiyyah hlm. 168

al-Furu’ li ibnu Muflih, hlm.236-237

Tafsir al Qurtubi juz 4 hlm. 54

Siyar A’lam al-Nubala:, juz 20 hal. 212

al Bayan lima Yasghal al Adzhan