Sumber foto: nu.or.id

Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

Tanggal 30 Desember 2009 yang lalu, Gus Dur panggilan akrab dari presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid meninggalkan kita semua. Sembilan tahun telah berlalu, namun pemikiran dan gagasan-gagasannya masih terasa sampai sekarang. Salah satu diantara banyak kontribusi nyata Gus Dur ialah perjuangannya dalam melawan budaya patriarki di Indonesia.

Banyak kebijakan-kebijakan ramah perempuan saat beliau menjabat presiden. Pada masanya beliau merubah istilah Menteri Urusan Peranan Wanita menjadi Menteri Urusan Pemberdayaan Wanita. Gus Dur juga mempelopori terbitnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender (PUG).

Aksi-aksi Gus Dur tersebut sesuai dengan ideologi Pancasila tentang kemanusiaan dan keadilan untuk semua bangsa, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain itu Gus Dur pun melakukan penafsiran ulang atas ayat dan hadis yang menjelaskan tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Dan inilah pandangan dan pemikirannya tentang perempuan yang dirangkum dari berbagai sumber:

Tentang Kecerdasan Perempuan

Majalah Tebuireng

Pandangan-pandangan patriarki kerap kita jumpai pada kitab yang diajarkan di dalam tradisi pesantren, contohnya kitab Uqudulijain yang dikaji baik pada santriwan maupun santriwati. Namun tidak dengan Gus Dur, dengan keluasan pergaulannya, beliau menemukan bahkan mengakui tingkat kecerdasan dari kaum wanita yang seringkali melebihi kaum lelaki.

Banyak perempuan yang diakui dan berpengaruh untuk Gus Dur, selain ibunya salah satunya adalah Rubi’ah, guru bahasa Inggris yang memaksa Gus Dur untuk membaca banyak buku. Begitupun saat di Baghdad, Gus Dur menyempatkan diri untuk belajar bahasa Perancis secara intensif pada seorang perempuan Perancis yang ia temui di pesta. Begitu juga dengan Khofifah, salah satu kader perempuan PKB yang paling potensial dan dipercaya Gus Dur untuk menduduki posisi menteri, dan salah satu orang kepercayaan Gus Dur. Dan masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa Gus Dur memang mengakui kecerdasan perempuan.

Dalam segi penciptaan, bagi Gus Dur, akal perempuan tidak separuh dari akal laki-laki, tidak seperti yang dipahami umat Islam pada umumnya yang diungkapkan dalam tradisi teks.     

Tentang Kekuatan Perempuan

Dalam al-Quran ada ungkapan “Lelaki lebih kuat atas wanita” (An-Nisa : 34). Menurut Gus Dur, ayat ini sebetulnya dapat diartikan dua macam, pertama lelaki bertanggung jawab secara fisik atas keselamatan wanita. Kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Namun kenyataannya pendapat yang kedua lebih banyak digunakan di muka umum.

Gus Dur mengakui bila secara fisik kaum adam lebih kuat (tegak) daripada kaum hawa, karena itu laki-laki bertanggung jawab secara fisik atas keselamatan perempuan. Karenanya, perbedaan kekuatan ini hanya bersifat biologis. Sedangkan secara psikologis, tidak ada perbedaan antara laki-laki ataupun perempuan, dan ini bergantung pada masing-masing individu.

Tentang Kehambaan Perempuan

Gus Dur ingin menyatakan bahwa ia ingin meluruskan pandangan tentang posisi perempuan agar hak lelaki dan hak perempuan menjadi semakin berimbang. Ia memetik firman Allah dalam al-Quran “Sesungguhnya aku ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan” (Al-Hujurat : 13). Menurutnya, ayat ini mengisyaratkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, adapun perbedaan keduanya hanya bersifat biologis. Oleh karena itu, menurut Gus Dur, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah nilai Islam.

Gus Dur lebih menekankan unsur ‘kemanusiaan’ daripada mempermasalahkan jenis kelamin. Perempuan sebagai ‘manusia’ memiliki hak yang sama secara berimbang dengan laki-laki sebagai manusia. Ketika masing-masing manusia, baik lelaki maupun perempuan, adalah sama di mata Allah Swt, serta memiliki potensi yang sama untuk mendapatkan apa yang mereka usahakan di mata Allah Swt, Gus Dur lebih memandang perempuan sebagai wanita yang utuh.  

Tentang Kepemimpinan Perempuan

Gus Dur, dalam tulisannya, pernah menceritakan bahwa sewaktu menjadi ketua PBNU pernah didatangi seorang ulama Pakistan yang meminta agar Gus Dur mau membacakan al-Fatihah demi keselamatan rakyat Pakistan yang saat itu dipimpin seorang perempuan; Benazir Bhuto. Ulama tersebut mengatakan, “Bukankah Rasulullah Saw bersabda tidak akan pernah sukses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada wanita?” Gus Dur kemudian menekankan bahwa untuk mengkaji dan memahami sebuah hadist, mutlak diperlukan informasi yang memadai mengenai latar belakang kejadian yang melingkupi teks hadist tersebut.

Dalam hal ini Gus Dur ingin mengungkapkan bahwa gagal atau tidaknya benazir Bhuto dalam memimpin Pakistan menuju perkembangan yang lebih baik, juga tergantung dari penerimaan para mayoritas laki-laki yang berada di bawah kepemimpinannya.  Tentang ayat “Lelaki lebih kuat atas perempuan (An-Nisa : 34), Gus Dur lebih memilih penafsiran bahwa lelaki bertanggungjawab fisik atas keselamatan wanita. Hal ini berbeda dengan penafsiran yang umum dipakai ulama tradisi kitab bahwa lelaki lebih pantas menjadi pemimpin.

Inilah pandangan beliau tentang perempuan. Hal tersebut bukan sebatas pemikiran dan wacana, namun benar-benar adanya dipraktikkan di dalam kehidupan dan kebijakan beliau, yang menjadi alasan mengapa kontribusi Gus Dur masih ada sampai sekarang, dan dirindukan banyak orang. Wallahu a‘lam bisshawab.   

*Penulis adalah alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, saatini menempuh studi Pascasarjana di IAIN Syehk Nurjati Cirebon.