KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

Para pemimpin hebat abad ini, seringkali harus menyerah dengan segenap ketaatannya ketika berhadapan dengan perempuan yang berposisi sebagai ibu.

Gus Dur, panggilan masyhur sosok presiden ke-4 yang bernama KH. Abdurrahman Wahid. Dibalik sosoknya yang hebat dengan segala pencapaian, pengakuan, pemikiran, dan prestasi beliau, ada sosok perempuan yang paling diakui kekuatan dan kehebatannya oleh Gus Dur, dialah Nyai Solihah Wahid, ibunya. Perempuan yang harus mengasuhnya seorang diri sejak ia kecil, dan juga adik-adiknya, dan sosok perempuan yang mampu menundukkan tokoh-tokoh besar demi membela dirinya.

Majalah Tebuireng

Gus Dur  mengakui bahwa kekuatan terbesar yang dimiliki oleh seorang perempuan adalah ketika perempuan berada dalam posisi sebagai ibu. Dalam posisi ini, perempuan tidak mampu dibendung dan tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan apapun. Saat perempuan berposisi sebagai seorang ibu, ia adalah orang yang paling menentukan sifat dan perilaku seorang anak. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh seorang laki-laki. Banyak kasus terjadi bahwa perempuan dengan beberapa anak masih sanggup bertahan hidup untuk membesarkan anak-anaknya sendirian. Namun, tidak banyak lelaki yang mampu membesarkan anak-anaknya seorang diri tanpa kehadiran seorang perempuan di sampingnya.

Para pemimpin hebat, baik dari kalangan perempuan maupun laki-laki, yang biasa tegar berhadapan dengan musuhnya, akan selalu kalah bila harus berhadapan dengan perempuan dalam posisinya sebagai seorang ibu. Dalam wilayah rumah tangga, boleh jadi laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan (terutama terkait nafkah). Namun dalam masalah perkembangan anak, ibu tidak bisa tergantikan.

Bahkan bisa jadi sikap-sikap Gus Dur dalam membela perempuan dan mendidik keempat putrinya adalah bentuk refleksi dan aplikasi dari nilai-nilai pendidikan yang diterapkan ibunya. Sebagai sosok perempuan single parent, ibunya memiliki perpaduan sempurna antara kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang perempuan. Ketegaran, ketabahan, semangat, dan keberanian beliau menghadapi tantangan kehidupan selalu menjadi inspirasi putra-putrinya.

Nilai-nilai pendidikan yang ia terima dari ibunya adalah nilai kejujuran. Baik jujur terhadap diri sendiri, orang lain, atau jujur terhadap Allah. Juga nilai keberanian, yaitu keberanian untuk menyampaikan pendapat dan keberanian untuk mengatakan kebenaran walaupun harus menghadapi resiko, juga keberanian dalam memikul tanggung jawab. Nilai-nilai ini benar-benar melekat pada diri beliau saat menjadi pemimpin dan membela orang yang lemah.

Nilai lain yang ditanamkan oleh ibunya adalah nilai egaliter, yakni kesadaran tentang kesamaan dan kesetaraan di antara sesama manusia. Ibunya mengajarkan putra-putrinya untuk bergaul dengan siapa saja tanpa memandang status sosial, suku, dan agamanya. Peran ibunya sebagai kepala keluarga membuat putra-putrinya sadar bahwa laki-laki dan perempuan memang mempunyai perbedaan secara kodrati, tetapi agama Islam tidak membatasi perempuan untuk bisa mencapai prestasi sama dengan laki-laki. Keduanya harus diberikan prestasi dan penghargaan yang sama.

Nilai ini juga benar-benar ia terapkan kepada semua putrinya. Nilai egaliter inilah yang membuat Gus Dur tidak mendikte anaknya untuk menuruti kemauannya. Ia membebaskan anaknya untuk memilih jalan kehidupan mereka masing-masing meskipun semua anaknya adalah perempuan. Begitupun dengan sikap kesalingan, beliau terapkan dalam berbagi peran dengan istrinya.

Pada masa awal perjuangannya dalam NU, Gus Dur mendapat dukungan luar biasa dari ibu yang memiliki kewibawaan cukup tinggi di mata para tokoh. Gus Dur bahkan berani mengabaikan perintah Kiai Bisri Sansuri meskipun telah diulang tiga kali dalam tiga kali kesempatan. Tetapi sekali Nyai Solihah memerintahkan Gus Dur untuk mengikutinya, tak ada yang bisa dilakukan Gus Dur kecuali menurutinya.   

Dalam ‘Seribu Jilid Makna Jejak Ibu” pada buku Ibuku Insiprasiku, Gus Dur mengatakan bahwa ibunya bagaikan “Ayam Induk” bagi pimpinan NU. Ibunya tidak banyak bicara tentang kesetaraan gender, tetapi beliau melaksanakannya jauh sebelum masyarakat membahasnya.

Begitupun dengan pandangan kesetaraan gender Gus Dur, menurutnya perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama dalam kehidupan. Perbedaannya hanya faktor biologis dan psikologis saja. Mungkin perempuan adalah makhluk yang luar biasa rumitnya, jauh lebih rumit dari pria, karena faktor emosinya lebih banyak, lebih bervariasi. Tapi, justru disitu lah letak potensi wanita lebih besar untuk membuat capaian-capaian daripada pria.


*Penulis adalah alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, saat ini menempuh studi Pascasarjana di IAIN Syehk Nurjati Cirebon.