manusia beradab. (ilustrasi: amir/to)

Oleh: Al Fahrizal*

Ada satu ungkapan yang paling terkenal dari bapak pluralisme Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tentang tuntunan senantiasa berlaku baik. Sampai-sampai tidak peduli dengan keyakinan atau agama yang dianut, yang terpenting adalah menjadi manusia beretika atau beradab yang baik. 

“Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” 

Ungkapan Gus Dur tersebut memang sangat relevan kiranya dengan kondisi masyarakat saat ini. Ada banyak sekali pemandangan di sekitar, di mana untuk menolong saja masih pandang bulu, berlaku baik demi mengharap percikan imbalan, dan masih banyak lagi perilaku tidak bermoral yang tidak semestinya terjadi. Jika dipetik hikmah dari ucapan Presiden ke-4 RI tersebut, tekanan utamanya adalah pentingnya akhlak, adab, etika, dalam kehidupan sosial. Sehingga, tak heran jika disebutkan bahwa adab itu berada di atas ilmu. Al-Adab fauqa al’-ilmi.

Namun, catatan penting yang harus dipahami adalah, apa pondasi dasar adab tersebut? Apakah adab yang baik itu nuraniah atau fitrah manusia, ataukah disumberkan pada syariat agama? Bagaimana sampai dikatakan bahwa adab lebih tinggi daripada ilmu? Inilah yang kemudian akan perlahan kita protoli satu persatu.

Majalah Tebuireng

Mengutip salah satu tulisan Imam al-Mawardi yang berbicara perihal adab, bahwa setiap budi pekerti atau etika adab itu berdasar, dan dasar dari keduanya itu adalah akal yang telah Allah Swt. jadikan sebagai pondasi utama dan penyempurna agama, serta tiang untuk mengatur segala hukum di dunia.

Dalam kitab tersebut Imam al-Mawardi juga mengutip sabda Rasulullah saw.:

وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «لِكُلِّ شَيْءٍ عُمِلَ دِعَامَةٌ وَدِعَامَةُ عَمَلِ الْمَرْءِ عَقْلُهُ فَبِقَدْرِ عَقْلِهِ تَكُونُ عِبَادَتُهُ لِرَبِّهِ أَمَا سَمِعْتُمْ قَوْلَ الْفُجَّارِ {لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ} [الملك: 10] » 

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa Nabi bersabda: Setiap segala sesuatu yang dikerjakan memiliki dasar, dan dasar perbuatan seseorang adalah akalnya. Maka, sebagaimana ukuran akalnyalah ukuran ibadahnya kepada Rabbnya. Apakah tidak kamu dengar perkataan orang-orang yang fasik, “sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10)

Dari pernyataan tersebut maka dapat dipahami bahwa adab atau budi pekerti luhur bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni akal pikiran. Akal merupakan anugerah terbesar bagi manusia. Hal yang membedakan antara manusia dan binatang adalah anugerah akal. Tanpa akal tidak ada bedanya antara manusia dan hewan. 

Selain sebagai anugerah, akal manusia juga merupakan fitrah. Artinya, watak asli manusia yang selalu menerima kebenaran. Karena pada dasarnya manusia adalah suci, terlahir tanpa dosa. Seiring perjalanan hidupnya sajalah manusia kemudian terkontaminasi dan berubah menjadi hitam. Seorang maling tetap tahu, bahwa merampas bahwa mengambil hak milik orang lain adalah perbuatan yang tidak benar. Atau wanita pelacur tetap sadar, bahwa pekerjaannya salah. Kesadaran seperti ini yang disebut nurani. Maka benarlah sudah apa yang dituliskan oleh ulama di atas, bahwa adab bersumber dari akal, dan akal adalah fitrah, di mana fitrahnya manusia adalah condong kepada kebenaran, kebaikan, atau nuraniah.

Kemudian yang menjadi persoalan, jika manusia pada dasarnya adalah nuraniah, atau sadar akan kebenaran atau kebaikan, lantas ajaran agama mengenai perilaku berbuat baik untuk apa?

Benar kiranya, bahwa jika manusia disimpulkan sebagai makhluk yang dengan akalnya saja dapat menentukan kebajikan dan kejelekan. Karena manusia dalam penciptaannya merupakan makhluk yang menduduki derajat dan tingkatan lebih mulia dibanding segenap ciptaan Tuhan lainnya. Sebagaimana difirmankan Tuhan dalam kitab sucinya.

Tetapi dalam rangkaian firman itu pula disebutkan bahwa manusia bisa menurun derajatnya menjadi serendah-rendahnya makhluk. Karena jika perhatikan kembali, dapat disimpulkan kembali bahwa manusia, menurut asalnya (fitrahnya), adalah makhluk mulia. Tetapi karena berbagai hal yang muncul akibat kelemahannya sendiri, manusia bisa menjadi makhluk yang paling hina. Dan bersama itu ia kehilangan fitrahnya dan kebahagiaannya.

Meskipun manusia terlahir sebagai fitrah dan memiliki akal, manusia dengan segala kelemahannya sering kali keluar dari garis-garis kebenaran dan kebaikan. Maka, di sinilah posisi agama, Allah Swi melalui utusanNya, mengingatkan bahwa fitrah manusia adalah sebagai makhluk yang mulia, manusia sebagai khalifah di atas muka bumi. Yang peringatan tersebut dikumpulkan dalam kitab suciNya, Al-Quran. Selayaknya pemimpin, jika berlaku tidak baik, maka perlu diluruskan لَقَدْ  اَنْزَلْنَاۤ  اِلَيْكُمْ  كِتٰبًا  فِيْهِ  ذِكْرُكُمْ   ۗ اَفَلَا  تَعْقِلُوْنَ

Sungguh, telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab (Al-Qur’an) yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak mengerti? (QS. Al-Anbiya: 10)

Terakhir, akibat dari semua pembicaraan kita mengenai adab, muncul satu quote yang sangat-sangat familiar di kepala kita, bahwa adab lebih tinggi dari ilmu.

Benarlah demikian. Bahwa etika merupakan puncak dari pada ilmu. Ada satu kisah menarik tentang Imam Syafi’i yang pulang mondok, lalu bertemu dengan ibunda.

Ada sebuah kisah yang menceritakan kepada kita tentang adab dulu ataukah ilmu dulu yang harus kita utamakan;

Suatu hari Imam Syafi’i telah selesai dari belajarnya, yang mana Imam Syafi’i saat itu baru saja menuntut ilmu dari Imam Malik bin Anas. Ketika pulang dari belajarnya, beliau menuju rumah karena rindu dengan ibunya.

Sampai di depan rumah, Imam Syafi’i mengetuk pintu rumah dan mengucap salam, “Assalamu’alaikum…”
Dijawab oleh Ibunya : “Wa’alaikumussalam. Siapa diluar sana?”
Dijawab oleh beliau :  “Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.”

Lalu ibunda belum membukakan pintu untuknya. Maka, ditanya lagi olehnya. Apa yang engkau bawa?
Maka dijawab oleh Imam Syafi’i: “Aku pulang membawa ilmu dan adab.”

Lalu ibunda berkata; “Pergilah kamu ke gurumu lagi dan jangan pulang dulu.”
Maka Imam Syafi’i kembali lagi kepada gurunya yaitu Imam Malik bin Anas, lalu menceritakan kejadian tersebut.
Imam Malik bin Anas mendengar itu lalu berkata; “Seharusnya engkau menjawab, Aku pulang membawa adab dan ilmu, sebab yang harus kamu dului adalah adab baru ilmu.”

Namun, yang perlu diluruskan adalah adab memang menjadi puncak dari pada ilmu. Akan tetapi, seseorang tidak akan mengerti tentang adab yang baik jika tidak dipelajari terlebih dahulu. Adab yang baik merupakan buah dari pada ilmu yang manfaat. Karena perintahnya jelas, belajar dahulu.

Akhir dari tulisan ini adalah, kebaikan dan kebenaran adalah pangkal dan ujung tombak. Ia bisa saja berlumuran darah, tapi darahnya adalah darah kotor, bukan darah suci tanpa salah. 

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari.