Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=UrigtxUMs-w

Oleh: Silmi Adawiya*

Penjelajah bernama asli Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al-Tanji ini lahir di kota Tangiers, Maroko pada 24 Februari 1304 H. Dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi Islam, Ibnu Batutah justru membenamkan diri pada ilmu-ilmu fikih dan sastra Arab. Keilmuan yang mendukungnya untuk sebuah penjelajahan seperti astronomi ataupun kelautan lainnya bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Ibnu Batutah melakukan penjelajahan di dunia ini sejauh 72.000 mil melalui lautan dan daratan. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marcopolo dan penjelajah manapun sebelum datangnya teknologi mesin uap. Ahli sejarah lainnya seperti Brockellman menyejajarkan namanya dengan Marcopolo, Hsien Tsieng, Drake dan Magellan. Seluruh kisah perjalanannya dikisahkan dan ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah al Nuzzar fi Ghara’ib al Amsar wa Ajaib al Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan Mengagumkan)

Perjalanan Ibn Batuta merupakan perjalanan penjelajah yang luar biasa. Perjalanan yang ditempuhnya meliputi Spanyol, Rusia, Turki, Persia, India, Cina dan negara muslim lainnya. Ia selalu mendeskripsikan kondisi spiritual, politik dan sosial dari setiap negeri yang disinggahinya. Ia berhasil merekam seperti apa wajah peradaban Timur Tengah pada abad pertengahan.

Perjalanan perdana Ibnu Batutah dimulai ketika menunaikan ibadah hajinya yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni 1325 H. Ia bersama jamaah Tangiers lainnya menempuh keringnya hawa laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Kota Alexandria menjadi kota pertama yang disinggahinya. Tak lama ia mampir ke Kairo untuk memulai perjalanan menuju Mekkah. Dari Kairo, Ibnu Battuta melewati rute yang melalui kota Yerusalem, Aleppo dan Damaskus, bersama karavan rombongan haji menuju Mekkah.

Majalah Tebuireng

Perlayaran pertamanya baru ia lakukan pada tahun 1330 H, disaat beliau berusia 27 Tahun. Laut Merah yang dilaluinya menghubungkan ia kembali ke Jeddah menuju Yaman, Somalia dan pelabuhan Gujarat di India. Hingga akhirnya pada tahun 1333 Ibnu Batutah menjelajah dunia lewat jalur darat. Ia jelajahi stepa-stepa di Rusia Selatan hingga sampai ke istana Sultan Muhammad Uzbegh Khan di tepi sungai Wolga. Ia melanjutkan penjelajahannya hingga ke Siberia. Bahkan, ia sempat berniat menuju Kutub Utara, namun batal karena dinginnya cuaca daerah itu.

Sebelum ia melakukan pernjelajahan lagi ke China pada tahun 1341, ia sempat mengunjungi wilayah Samudera Pasai atau Aceh. Dalam catatannya, ia menulis Samudera Pasai sebagai negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya sebagai kota besar yang indah. Dalam versi lainnya, ia menyebut pulau Sumatera sebagai “pulau Jawa yang menghijau”. Ia disambut oleh pemimpin Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan ahli fikih kesultanan.

Menurut Ibnu Batutah, saat itu Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara. Sultan Mahmud Mallik Zahir, penguasa Samudera Pasai dimata Ibnu Battuta sebagai seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya pun sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai sholat, kata Ibnu Battuta, sang sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya.

Ia sang penjelajah legendaris asal Maroko rupanya sudah memanjakan matanya dengan keindahan nusantara jauh sebelum kita melihat keindahan Tugu Monas di siang hari. Ibnu Batutah benar mengamalkan siratan ayat dari QS Al-Hajj ayat 46:

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”

Ayat tersebut memang berupa pertanyaan, namun tersirat di dalamnya sebuah anjuran untuk melakukan perjalanan, mengembara, dan melawat banyak di muka buni. Dengan nungkanbekal hati dan telinga dalam menjelajah bumi, kita bisa melihat dan mendengar apa saja yang telah terjadi atas segala kuasa Tuhan. Lalu renungkan dalam hati dan ingat selalu kekuasaan Tuhan. Bukan sekedar mata nyala yang bisa melihat alam sekitarnya namun tidak melihat kebesaran Tuhan.

Setiap penjelajah pasti memiliki alasan untuk berkelana menembus samudera dan daratan luas. Marcopolo adalah seorang pedagang dan Columbus sejatinya seorang petualang. Ibnu Battuta justru seorang teologis, sastrawan puisi dan cendekiawan, serta humanis. Perjalanan haji pertamanya justru mendorongnya untuk memahami begitu luasnya dunia ciptaan-Nya. Hatinya tergerak untuk memulai sebuah penjelajahan terbesar yang ada saat itu.


*Alumnus Unhasy dan PPP Walisongo, kini belajar di Pascasarjana UIN Syahid Jakarta