Oleh: Almara Sukma*

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Agama Islam sangat memperhatikan semua aspek kehidupan manusia, di antaranya ialah aspek kebersihan, baik kebersihan pada diri manusia atau kebersihan lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari, telinga kita tidak asing dengan kalimat an-nadzhofatu minal iman “Kebersihan merupakan sebagian dari iman”. Namun, realitanya sampai sekarang masih banyak orang yang kurang mencerminkan hal tersebut, seperti masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan.

Salah satu bentuk perhatian Islam terhadap kebersihan diri manusia adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air kecil atau air besar. Istinja’ mempunyai hubungan erat dengan ibadah, karena sucinya tubuh dari hadas kecil dan hadas besar merupakan syarat sahnya shalat.

Istinja’ diambil dari kata “najautus syai’a ai qatha’ tuhu” (aku memutus sesuatu), karena seolah-olah orang yang melakukan istinja’ telah memutus kotoran dari dirinya dengan istinja’ tersebut. Pada hakikatnya istinja’ bertujuan untuk menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus.

Dalam literatur fiqih dijelaskan bahwa istinja’ lebih utama apabila dilakukan dengan batu kemudian disusul dengan air, dan diperbolehkan meringkas istinja’ dengan menggunakan tiga buah batu saja atau dengan air saja apabila dengannya sudah bisa membersihkan. Akan tetapi, bersuci menggunakan air lebih diutamakan dari pada menggunakan tiga buah batu.

Majalah Tebuireng

Seiring berjalannya waktu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia selalu menciptakan alat praktis yang bisa dengan mudah mencukupi kebutuhan mereka, salah satunya adalah tisu. Manusia menganggap bahwa tisu adalah hal yang praktis dan mudah dibawa ke mana-mana. Tidak jarang kita jumpai bahwasannya tisu juga sudah digunakan di hotel, pesawat, dan lain sebagainya. Lantas, bagaimana hukum beristinja’ dengan tisu?

Dalam kitab Bughyat al- Mustarsyid, Sayyid Ba’alawi al-Hadromi memperbolehkan beristinja’ menggunakan tisu:

يجوز الإستنجاء بأوراق البياض الخالي عن ذكر الله تعالى كما في الإيعاب[1]

Diperbolehkan beristinja’ memakai kertas putih (tisu) yang tidak terdapat tulisan dzikrullah, sebagaimana keterangan kitab Al-Irab. Dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzab juga dijelaskan bahwasannya bersuci menggunakan tisu itu boleh.

Hal tersebut diperbolehkan karena tisu merupakan benda yang tidak mengandung najis, berbentuk padat seperti batu, dan tisu bukan benda yang dianggap mulia. Adapun apabila di dalam tisu tersebut terdapat tulisannya, maka tisu tersebut tidak boleh digubakan untuk bersuci. Hal ini bertujuan untuk memuliakan tulisan yang terdapat pada tisu tersebut, terutama apabila tulisannnya berupa dzikrullah.

Dari uraian di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwasannya apabila kita berada di tempat yang hanya menyediakan tisu, kita tidak perlu ragu karena dengan tisu tersebut kita boleh beristinja’.


[1] Sayyid Ba’alawi al-Hadromi, Bughyat al- Mustarsyid (Maktabah Dar Al-fikr) hal  44


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari