Sumber gambar: http://puzyweld.blogspot.com

Oleh: Nurma Alfinda Walidah*

“Selamat pagi!”

Itu kata yang pertama kali keluar dalam hatiku untuk menyambut dunia, mungkin secara tak sengaja aku mengucapkannya, anggap saja itu sapaan setiap hari. Entah untuk siapa sapaan itu, aku sedang tak ingin peduli, jadi jangan menyuruhku untuk menjelaskannya lebih detail. Aku segera beranjak  melangkahkan kakiku kearah kamar mandi, suara gemericik air pun memenuhi gendang kedua telingaku. Mataku memejam, mendongak ke atas sehingga air dengan cepatnya menyetuh setiap lapis wajahku. Aku diam mencoba meresapi setiap air yang jatuh keseluruh tubuhku. Tubuhku menegang, ingatanku tentang rasa sakit itu kembali. Ah! Sial, umpatku pelan dan segera menyudahi aksiku menikamati mandi kali ini.

Aku segera memenuhi kepalaku dengan agenda hari ini. Mengecek tas kerja hitamku untuk kedua kalinya. Setelah yakin aku segera turun ke lantai bawah. Aroma kopi dan nasi goreng  mbok Minah, pembantuku menyeruah dalam indra penciumanku. Aku melirik jam tangan Richard Mille yang melingkar pas dipergelangan tangan kiriku. Mbok Minah mendekat, wajahnya yang tua dengan guratan di sekitar pipi dan dahinya menyadarkanku bahwa dia sudah terlalu tua untuk menjadi pembantuku selama ini dan wajah itu tak menampakkan lelah sedikitpun. Huft! Sepertinya aku harus menolak kembali makan pagi ini, jarum jamku menunjukan angka yang membuatku harus segera beranjak meninggalkan rumah.

Mobil BMW M4 GTS terbaru berwarna hitam keluar dari pagar rumah mewahku. Aku melirik sekilas kearah kursi sampingku, tas hitamku duduk manis dengan bekal makan di atasnya. Kali ini aku meminta mbok Minah untuk membekalkan nasi goreng yang dibuatnya sejak matahari belum menyabutnya, aku tak tega untuk tak memakannya. Wajahnya sumringah mungkin mbok Minah heran mengapa aku peduli terhadap masakannya yang biasanya aku acuhkan. Mengingat jam yang telah menunjukkan angka yang rawan, mbok Minah seolah akan kembali menghela nafas panjangnya seperti biasa namun kali ini mbok Minah tersenyum sumringah. Aku tau khawatirnya mbok Minah melebihi siapapun yang mengenalku kecuali yang berada disebrang pulau. Mbok Minah seperti ibu buatku yang menemaniku dari aku membeli rumah yang tak terlalu besar hingga sampai saat ini. Terima kasih untuk tak pernah meninggalkanku mbok Minah. 

Majalah Tebuireng

Aku masuk dan banyak orang yang menatapku aneh. Pasalnya aku yang biasanya tak pernah membawa bekal nasi pun kini datang dengan tangan kanan membawa bekal. Mugkin mereka fikir aku anak SD namun aku tak peduli. Mata tajamku segera menghunus ke setiap penjuru yang melihatku dengan tatap anehnya. Mereka langsung kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Aku mendorong pintu ruanganku dan langsung duduk di kursi kerjaku. Tanganku segera membuka bekal dan mulai memakannya. Baru tiga sendok yang masuk ke mulutku deringan telepon memenuhi ruang kerjaku. Aku segera mengangkat telepon dan  dahiku mengkerut, biasanya amak tak pernah meneleponku terlebih dulu, selalu aku yang memulainya. Tapi kali ini amak lebih dulu meneleponku, pasti ada hal penting yang perlu dibicarakan.

“Ada ape amak, jarang-jaranglah amak telepon duluan?” ujarku lembut setelah mengucapkan salam dengan logat melayuku yang kental meski lima tahun aku tak pulang.

“Abang ini Ian, kapan abang balik? Lah rindu Ian dengan abang. Besok Jumat Ian ikut lomba di surau yang biasenye tempat abang ngaji, kate amak suarenye abang bagus. Ian nak belajar bareng abang, cepatlah abang balik. Lah rindu Ian dengan abang,” aku diam membiarkan Ian bercerita masalahnya terlebih dulu. Biasanya Ian tak pernah mau berbicara denganku saat aku telepon dengan amak. Dan kali ini aku berbicara dengan Ian setelah lima tahun lamanya. Suaranya sama tak berubah sedikit pun.

“Ian, abang waktu itu pernah janji dengan Ian kalau abang balik, abang nak bawa calon, tapi sekarang abang tak ade calon,” ungkapku pelan. Mataku menerawang ke arah lima tahun lalu. Saat kepergianku diiringi air mata amak dan Ian, saat janji bodohku terukir dari bibir untuk Ian.

“Abang, amak sering nangis. Kate amak, rindu amak dengan abang. Balik jelah bang, cari calon disini je,” jantungku seperti berhenti berdetak, amak nangis. Ini sama halnya aku menyakiti amak, tapi aku masih takut untuk pulang. Bayangan yang lalu seakan menghantuiku. Ah! sial, umpatku meredakan emosi yang tiba-tiba ingin meledak.

“Ian abang masih kerja, lain kali lah kite sambung pule” suaraku serak aku segera menutup telfon sepihak dan mematikan ponselku. Masa bodoh dengan pekerjaan aku langsung menyambar kunci mobil dan keluar secepat mungkin.

♤♤♤

Aku langsung megemudikan mobilku ke arah warung kopi dipinggir jalan yang biasa aku datangi. Aku masuk saat tetesan hujan pertama jatuh, pemilik warung tersebut tersenyum melihat bahwa aku datang lebih pagi dari biasanya. Biasanya aku datang saat malam atau sore sekadar melepas penat setelah seharian bekerja.

“Buk kopi biasa satu,” ungkapku dengan sedikit tersenyum.

“Buk teh na hiji jiga dawam (buk tehnya satu kayak biasa),” ujar suara lembut di sampingku dengan aksen sundanya yang kental dan halus. Mataku mengarah ke suara lembut tersebut, begitu juga dengan pemiliknya. Kami berdua secara tak  sadar tersenyum bersama. Tanganku terulur, sebelum aku menyebutkan namaku tangannya terlebih dulu ditangkupkan di depan dada. Aku tercekat kemudian tersadar saat dia menundukkan kepalanya ke bawah.

“Maaf! Aku gak tau,” ungkapku dengan menggaruk-garukan kepalaku yang tidak gatal.

“Gak papa,” ungkapnya lembut sambil memandang ke arahku.

“Aku Bakti, kamu?” aku grogi, jantungku berdegup kencang dan apa-apan ini aku baru bertemu dengannya dalam beberapa detik  dan kenapa aku seperti ini.

“Andani, salam kenal Bakti,” ujarnya dengan senyum yang aduhai aku meleleh dibuatnya, jantungku serasa mau meledak. Dasar jantung gak tau sikon kalau dia dengar bagaimana? Kan malu.

“Sambil nunggu pesanan gimana kalau duduk dulu. Kamu sibuk kah?” ujarku dengan menaikkan alis kananku. Kebiasaanku sejak kecil pasti dia mikir aku aneh, duh malunye aku nak letak dimane mukeku. Batinku menjerit kesal dengan  logat melayuku.

“Tentu saja, lagi pula di luar sedang hujan,” ucapnya dan begonya aku gak sadar kalau hujan. Aku dan dia pun langsung duduk di tikar yang telah disediakan pemilik warung tenda ini. Pesananku dan dia datang, kami menikmati dengan diam sambil memandang hujan yang turun secara lebat. Hatiku nyaman berada di sampingnya, entah kenapa mungkin karena wajahnya yang meneduhkan dengan hijab pinknya.

“Dulu aku selalu menikmati kopi dengan gadis maniak teh. Teh apapun itu dia selalu menikmatinya. Setiap sore aku dan dia selalu meminum kesukaan kami masing-masing sambil bercerita banyak hal. Kadang di teras depan rumahku kadang juga di teras depan rumahnya. Bagiku saat paling istimewa dalam hidupku saat aku bisa melihatnya tersenyum bahagia di sampingku. Aku terlalu mencintai dia dari kecil sampai detik sebelum aku mengenalmu barusan. Mungkin kamu kaget kenapa aku menceritakan masalahku, padahal aku baru mengenalmu. Aku nyaman berada di dekatmu, dan saat-saat menyakitkan itu ketika aku mengingatnya dengan jelas setiap kenangan yang aku sendiri tak bisa mendekapnya setiap malam,” tak sadar aku bercerita panjang lebar padanya.

“Aku hancur seketika itu saat tau dia pacaran dengan orang  yang bahkan aku sendiri tak mengenalnya sebaik aku mengenal dirinya. Kamu bisa bayangkan dia lebih mengenalku bertahun-tahun tapi dia lebih milih orang yang baru dia kenal belum ada 24 jam, itu tak masuk akal dalam otakku. Entah lah Andani, aku jatuh sejatuhnya, dan saat itu juga aku memutuskan untuk pergi dari kotaku, mengambil beasiswa di kota orang. Mengobati sepotong hatiku yang sudah rusak total, amak menangis saat aku izin pergi, adikku pun menangis tak mengizinkan abang satu-satunya pergi. Amak tau itu pilihanku untuk mengobati rasa sakitku sekaligus menuntut ilmu, meskipun amak ragu tapi amak tetap mengizinkanku. Itulah bagian terbesar amak, tetap mendukungku meskipun amak membutuhkanku untuk menjaganya dengan adikku, ayahku sudah lama tak ada. Amak tau aku selalu rindu setengah mati tapi aku biasa apa,aku tak seberani itu untuk pulang, dan lagi pula aku hanya anak dari keluarga sederhana yang tak memiliki biaya untuk pulang, uang beasiswaku selalu aku tabung sedikit dan sisanya aku berikan ke amak.” Aku menunduk lesu. Andani masih dengan diamnya, mendengar dengan seksama ceritaku.

“Aku ingin pulang tapi aku tak berani sampai detik aku sukses seperti ini. Amak lelah menyuruhku pulang dan kata adikku amak sering menangis karena merindukanku. Aku belum siap Andani, aku masih takut dengan rasa sakit itu. Takut aku jatuh seperti dulu, aku sudah berdiri seperti ini dengan susah payah dan aku tak siap untuk jatuh kembali. Ini bagian yang terlalu menyakitkan saat amak menangis karena merindukan anaknya yang tak pulang selama lima tahun. Ini menyakitkan Andani, aku harus apa?” tanyaku memandang Andani, sorot mataku menunjukan bagian terapuh yang kumiliki. Bagian di mana aku tak pernah menunjukan kepada orang lain.

“Kamu harus pulang Bakti menjemput rasa sakit itu, mengatakan kepada dunia bahwa kamu pernah terlalu sakit karena wanita. Katakan kepada seluruh anak adam untuk menghargai sebuah perasaan yang Allah titipkan disetiap hati ciptaanNya. Pulanglah! Terlalu lama kamu menyembuhkan luka itu, tunjukkan kepada gadis itu bahwa kamu telah sukses dengan segala rasa sakit yang dia berikan. Saat ini lah kamu harus membalas segala apa yang amak berikan kepadamu, meskipun kamu takut. Kamu harus melawan rasa takut kamu itu Bakti dan aku percaya kamu bisa.” Ungkap Andani dengan penuh perhatian.

“Amak tak memintamu aneh-aneh, hanya pulang yang amak butuhkah, melihat anak  sulungnya yang pergi dari kampung halaman. Saranku pulanglah, luapkan rasa rindu itu dan tahlukkan rasa takutmu pada luka lama. Sejauh apapun kamu pergi kamu tetap harus pulang, dan aku akan menemanimu menjemput luka lama itu.” ungkap Andani dengan tersenyum, sedangkan aku hanya terdiam memandangnya. Mataku tak bisa menjelaskan bahwa aku tak percaya dia mau menemaniku untuk pulang. Dia tak mengenalku tapi dia percaya padaku. Tak ada yang lebih indah selain kepercayaan seseorang. Dan aku mendapatkan itu dari seorang gadis bernama Andani.

♤♤♤

Aku berdiri di depan gapura desaku, memandang dengan meneliti setiap perubahannya. Andani sudah lebih dulu berjalan, matanya tak lelah melihat ke sana ke mari dan bibirnya selalu tersenyum. Aku tau dia menyukai setiap langkah yang kami lewati tadi karena di Bandung tak ada hal yang seperti ini. Bahkan dia tak mengeluh karena berjalan 2 km dari jalan raya. Aku bersyukur mengenal dia, setelah perjumpaan kita di warung langganan kami. Dua hari setelah itu aku pun memutuskan pulang dan dia tersenyum terlalu lebar. Orang tuanya mengizinkan aku pergi bersama anak gadisnya dengan syarat aku menjaganya. Semudah itu mereka percaya terhadapku, aku tak percaya itu.

Aku bergegas menyamai langkahku dengan dia. Kami berjalan beriringan dan tepat di rumah beraksen panggung dengan cat hijau yang mulai pudar aku berhenti. Mataku menatap wanita paruh baya yang sedang duduk diberanda sambil menangis, matanya kosong dan itu mengiris hatiku. Aku segera menghampirinnya dan duduk bersimpah dikakinya. Mataku tak berkhianat, aku pun ikut menangis melepaskan beban selama ini. Wanita ini terkejut saat menyadari ada banyak tetesan air mata di kakinya.

Amak ikut menangis lebih keras sambil memelukku, mungkin orang yang melihatnya akan ikut menangis juga. Ada banyak hal yang tersempaikan lewat tangisan ini, rasa sakit, rindu, senang dan entahlah. Tak ada yang berbicara selama hampir 7 menit dan bahkan aku lupa bahwa aku membawa seorang gadis untuk ikut bersamaku. Amak belum mengeluarkan sepatah katapun, tangannya masih sibuk menelusuri setiap inci wajahku dan saat matanya menagkap gadis yang terisak di depan pagar rumah, amak tersenyum kala gadis itu menatap amak.

Aku tersadar dan segera menghampiri dia, mengajak ke gubuk kecil keluargaku. Dia bersalaman dengan amak, wajahnya lama berada di tangan amak dan amak mengelus kepalanya yang terbalut hijab crem. Dia bangkit namun berganti memeluk amak menyalurkan rasa bahagiku kala melihat dia sedekat itu dengan amak. Mungkin setelah pulang dari sini aku akan menjadikan dia istri, pikirku dengan tersenyum saat amak mengelus-elus punggungnya. Setelah itu aku merasa lega seleganya, amak tak berhenti tersenyum begitu juga dengan Ian yang semenjak kemarin tak berhenti bermain dengan dia bahkan dia mengajari Ian yang akan lomba besok, bahasa tak membuat mereka canggu sedikit pun. Sangking sayangnya Ian dan amak tak terlalu memperdulikan aku, hanya dia yang semenjak kemarin ditanya ini itu. Aku hanya tersenyum melihat tingkah keluargaku yang menerima dia dengan tangan terbuka.

Malam itu amak berkata, ‘’Amak suke dengan pilihanmu.” Aku hanya tersenyum mendengar itu, bahkan aku sudah berjanji pada diriku untuk melamarnya ke orang tuanya setelah pulang dari sini. Aku berterima kasih kepada dia saat menunggu senja di depan teras rumahku. Dia hanya tertawa dan bahkan dia yang malah berterima kasih karena mengenalkannya dengan keluargaku.

Sore ini dengan senja yang hampir menghilang aku melamarnya dengan disaksikan amak dan Ian di depan terasku berteman dengan secangkir kopi dan teh. Dia tersenyum menerimanya dengan pipi yang bersemu merah, amak dan Ian tertawa sambil memeluk dia. Andani artinya berani seperti pemilik namanya. Berani menyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja, berani untuk ikut pergi meski tak mengenalnya. Terima kasih Andani semoga takdirku bersamamu, aku tak sanggup bila harus jatuh untuk yang kedua kalinya.


*Penulis adalah Mahasiswa PBSI Unhasy Tebuireng Jombang.