Sumber: Facebook Kabare Wong Jombang

Oleh: Rafiqatul Anisah*

Berbicara tentang kopi, tentu saja hampir setiap orang menjadi penikmatnya. Dari sabang sampai merauke bahkan di seluruh penjuru dunia sudah berdiri kedai-kedai kopi untuk menyajikan racikan terbaiknya dengan ciri khas yang berbeda-beda. Warkop KPK (Komunitas Pecinta Kopi) yang berada di pertigaan lampu merah Cukir Jombang salah satunya.

Bapak Chaqul Yakin dan ibu Maryati pemilik warkop KPK, setiap hari menjaga dan melayani para pengunjung yang datang dari berbagai kalangan secara bergantian. Berdirinya warkop ini bermula dari ide putranya bernama Muhammad Usman yang terinspirasi dari berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002. “Di situ saya mencoba menggunakan imajinasi liar saya dengan memplesetkan KPK tersebut menjadi Komunitas Pecinta Kopi,” terangnya.

Saat itu, Usman masih menimba ilmu di Madrasatul Qur’an Tebuireng. Pada awal tahun 2004, Usman lulus MQ, dan tahun 2005 barulah ia merintis nama KPK menjadi nama resmi warkopnya, yang semula bernama warung partelon.

Di warkop KPK ini selain menyediakan kopi juga menyediakan makanan; ketan di pagi hari (setelah subuh- 08.00) sajian bibinya, nasi lodeh (08.00-12.00) masakan ibunya, dan pada pukul 12.00-16.50 menyajikan kopi jahe temulawak, sengaja tidak menyediakan rokok supaya bisa berbagi rezeki dengan warung sekitarnya.

Majalah Tebuireng

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa warkop KPK ini menjadi sarana bisnis keluarga, tentu menarik bukan? Jadi KPK (Komunitas Pecinta Kopi) jika di pagi hari bisa berubah menjadi Komunitas Pecinta Ketan.

Menurut beberapa pengunjung, selain kopinya yang mantap dan harganya terjangkau, warkop KPK ini tempatnya juga  nyaman untuk nongkrong, netral, bebas mau membicarakan apa saja asalkan positif, komunikasi antar sesama pengunjung juga enak, sekalipun baru kenal, karena yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari tamatan SD sampai Doktor.

Selain itu, uniknya lagi di warkop KPK ialah tradisi salaman meskipun baru kenal sebagai bentuk keakraban terhadap teman baru, dan ketika hendak membayar terkadang tanpa sepengetahuan sudah ada yang membayarkan. Jadi, tidak adanya free wifi seperti di kebanyakan warkop, tidak menjadi penghalang para pengunjung untuk sekedar mampir di warkop KPK.

“Kalau ada yang bawa hp, mending kantongin masukan kresek,” kata salah satu pengunjung. Tidak terlepas dari kisah warung ini, sejak tahun 70-an memang pengunjung yang datang dari berbagai kalangan, dulu kebanyakan dari santri lalu berkembang ke khalayak masyarakat. “Saya tidak ingin warkop ini mengikuti zaman, karena ketika ada wifi maka akan merusak komunikasi”, ungkap Usman.

Pandangan setiap orang berbeda-beda akan sebuah warkop. Ada yang berkonotasi baik, ada juga yang jelek. Dari sudut pandang yang berbeda-beda tersebut, mendorong para pengunjung, para komunitas pecinta kopi ini bukan sekedar nama, akan tetapi terwujud dengan dibuatnya strukur kepengurusan secara nyata yang disepakati bersama. Hal tersebut bertujuan untuk menolak pandangan masyarakat yang berkonotasi miring tentang warkop. Komunitas tersebut akan menyajikan kegiatan-kegiatan yang positif, seperti mengadakan pengajian dan sebagainya.

*wawancara tim tebuireng.online di warung KPK