Judul Buku       : Saring Sebelum Sharing

Penulis             : Nadirsyah Hosen

Penerbit           : Bentang, Yogyakarta

Tahun Tebit     : Cet. 1, Februari 2019

Halaman          : xvi + 328 hlm

Majalah Tebuireng

ISBN               : 978-602-291-562-1

Peresensi         : Lutfi Nur Fadhilah*

Beredar di media sosial penggalan terjemah hadis atau cuplikan kisah Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam yang acap kali digunakan untuk menghakimi praktik ibadah atau pilihan hidup orang lain, bahkan pilihan masing-masing ketika di tempat pemungutan suara (TPS) saat pilpres. Indonesia adalah negara demokratis berdasarkan asas Pancasila. Pancasila sebagai ideologi bangsa harus kita amalkan nilai-nilainya.

Adanya perbedaan di tengah-tengah kita, salah satunya karena interpretasi al-Quran dan hadis yang berbeda antara satu ulama dengan ulama yang lain. Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam berlaku untuk semua zaman. Bagaimana memahami hadis Nabi sesuai konteks kehidupan Nabi, dan menjadikannya aplikatif untuk zaman now?

Melalui bukunya yang berjudul “Saring Sebelum Sharing”, Nadirsyah Hosen mengurai problematika dan konstektualisasi berbagai kisah Nabi dan riwayat hadis dengan cara yang unik. Ia mengajak kita memahami teks melalui konteks, meninggalkan kebiasaan belajar instan, dan tidak mudah menghakimi yang lain hanya dari sepenggal ayat atau hadis.

“Keteladanan Rasulullah Saw. dituturkan Gus Nadir dengan sangat fasih. Padat laksana buku teks, tapi ringan seperti novel,” komentar yang ditulis Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., pendiri dan Ketua Mahkamah Konstitisu (2003-2008), Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI).

Buku Saring Sebelum Sharing dibagi penulis menjadi delapan bab yang berbeda. Pembaca bisa memulai membaca dari bab mana saja, tak harus berurutan. Ada sekitar 70 artikel yang bisa dibaca sesuai dengan “kata hati”, “pandangan mata” maupun “sentuhan jari” ketika membuka halaman dalam buku itu.

Gus Nadir menjelaskan dalam salah satu babnya bahwa bermazhab itu juga berdasarkan al-Quran dan hadis. Buat ahli fikih, mereka tidak perlu kembali kepada al-Quran dan hadis karena mereka memang tidak pernah meninggalkan keduanya. Belajar fikih tidak hanya menghafal halal-haram berdasarkan opini mazhab, tetapi juga belajar bagaimana menggali hukum dari dua kitab suci itu. Dengan demikian, para ulama mengeluarkan seperangkat kaidah sebagai alat bantu untuk beristinbath (menggali hukum). (hlm. 29)

Belajar kehidupan Nabi Saw. dan berusaha mencontohnya tidak melulu tentang perang dan perjuangan Nabi. Kita perlu tahu juga bahwa Nabi Saw. pun bercanda. Dalam salah satu kisahnya, salah satu sahabat Nabi yang terkenal gemar bercanda, Nu’aiman bin Rufaah pernah suatu kesempatan Nabi Saw. dikerjai olehnya. Suatu saat, Nu’aiman mendatangi Nabi sambil menghadiahi beliau buah-buahan. Tak lama kemudian, datanglah penjual buah-buahan yang menagih harga tersebut pada Nabi. Nabi kaget dan berkata pada Nu’aiman “Bukankah telah engkau hadiahkan buah-buahan ini padaku?”. Ternyata Nu’aiman berhutang dulu pada penjual buah dan mengatakan bahwa Nabi yang akan membayarnya. Nu’aiman menjawab, “Benar wahai Nabi, aku sungguh ingin bisa makan buah bersamamu, tetapi aku sedang tidak punya uang.” Nabi tertawa lalu membayar harga buah pada penjual buah. Inilah keakraban Nabi, dan terlihat bagaimana beliau tidak marah “dikerjai” sahabatnya. (hlm. 77) Inilah Islam, agama yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan cocok untuk semua situasi dan kondisi.

Terhadap non muslim pun Nabi Saw. menjalin hubungan baik. Dalam perang Uhud yang terjadi pada Sabtu, dan sebagian Yahudi seharusnya diam di rumah. Walaupun begitu Mukhayriq seorang rabi Yahudi memutuskan tetap pergi membantu Nabi. Dalam keadaan terluka parah di perang Uhud, Nabi diberitahu bahwa Mukhayriq telah gugur dan memberikan kekayaannya untuk Nabi. Nabi Saw. berkomentar, “Dia Yahudi terbaik”.

Sejarah menyisakan cerita manis bagaimana Nabi Saw. menjalin hubungan baik dengan non-muslim. Membaca kembali sejarah ini sudah sepatutnya kita malu jika di tangan kita Islam berubah dari agama yang menebar rahmat menjadi agama yang gampang melaknat, dari agama yang begitu ramah menjadi agama yang penuh api amarah, dari agama yang penuh kasih sayang menjadi agama yang pemeluknya sedikit-sedikit merasa tersinggung dan berteriak “ini penistaan agama”. (hlm. 224)

Ada warna-warni keindahan Islam. Misi utama Nabi Saw adalah menyempurnakan akhlak. Misi ini melintasi batas wilayah, zaman, dan generasi. Muhammad Iqbal cendekiawan besar dari Pakistan menulis bahwa “Muhammad adalah mukaddimah bagi alam semesta”. Lewat apresiasi terhadap ilmu pengetahuan yang etis dan mengandung rahmat Ilahi, Nabi Saw telah menginspirasi jejak peradaban manusia. Dalam tulisannya, Iqbal memberikan pujian bagaimana manusia mampu mengkreasi dari apa yang sudah Tuhan ciptakan sebelumnya. “Kau mencipta malam, aku mencipta lampu untuk meneranginya. Kau membuat lempung, darinya aku buat cawan minuman.” (hlm. 257) Inilah keistimewaan seorang manusia bernama Muhammad Saw. Ajaran yang dibawa dan keteladanan etis yang diwariskan merupakan kontribusi penting bagi peradaban semesta.

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Agama yang penuh cinta kasih. Kita pun bisa belajar hadis via cinta. Cinta itu sejatinya ada pada satu titik. Titik antara iyyaka na’budu dan iyyaka nasta’in, titik antara anta maqshudi dan ridlaka mathlubi. Cinta itu sungguh ada pada satu titik. Titik antara hati ini menjadi tenteram saat mengingat-Mu dan hati bergetar saat menyebut nama-Mu. Mari mengarungi samudera cinta Islam melalui buku Saring Sebelum Sharing. Buku yang layak untuk semua kalangan.


*Alumni Ponpes Attanwir Talun Bojonegoro, Mahasiswi Pasca Sarjana UIN Walisongo Semarang