Ket. Wahyudi Muryadi, Kepala Protokol di Istana, pada era Gus Dur

Tebuireng.online- Acara haul Gus Dur (16/12/2018) dihadiri sejumlah orang penting, terutama di era Gus Dur saat menjadi Presiden. Salah satunya, Bapak Wahyu Muryadi berasal dari Surabaya. Dulu seorang pemimpin redaksi di majalah yang cukup terkenal, kemudian menjadi kepala protokol istana di era Gus Dur. Yang setiap hari jum’at selalu mengatur wartawan di masjid istana. Pada acara haul kali ini, beliau berkesempatan menyampaikan sedikit kisah tentang Gus Dur.

Sebagai seseorang yang kenal dekat dengan Gus Dur, pak Wahyu tidak sungkan dalam menyampaikan pengalamannya saat menjadi kepala protokol istana di jaman Gus Dur. Pak Wahyu juga menceritakan betapa beliau juga akrab dengan Gus Sholah, katanya dulu manggil Gus Solah dengan sebutan “Mas Los” dan bu nyai Farida dengan “mbak Farida”. Singkatnya Gus Sholah dan Nyai Farida merupakan saksi dalam pernikahan beliau.

Dari rangkuman yang beliau dapat dari pembicara-pembicara sebelumnya, beliau menyimpulkan ada 3 hal penting, 20 item, jumlahnya jadi 60 item yang ingin disampaikan. Mengingat durasi waktu, beliau bercanda, “bisa sampai subuh kalau benar-benar diceritakan”.

Dulu, jaman menjadi kepala protokol era Gus Dur, beliau tidak punya rumah. Rumahnya di Pasar Senen. “Para Protokol Gus Dur dulu nggak punya rumah,” katanya. Beliau juga menceritakan bahwa disana tidak memikirkan untuk masalah komisariat. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadi, dipikir sendiri.

Mengenai urgensi hadirnya Gus Dur jadi Presiden Indonesia, “Ada tiga hal penting menurut hemat saya,” katanya. Yang pertama, Gus Dur betul-betul menegakkan kemandirian jurnalisme, “Dulu profesi saya wartawan,” tambahnya. Semua wartawan yang ditugasi surat redaksi boleh meliput ke istana. Waktu itu ada 800 wartawan yang bisa masuk ke istana. Tapi semua tertata rapi, dan wartawan juga punya kode etik.

Majalah Tebuireng

Meski jaman-jaman sebelum Gus Dur istana sangat ketat sekali dalam menyeleksi siapa yang boleh meliput. Mereka mandiri, dan bebas menulis apa saja. Pernah suatu ketika wartawan yang mengikuti ke luar negeri bersama Gus Dur, diharuskan membayar sendiri. Pesawat sudah dibayari, hotel bayar sendiri. Mereka memakai paspor hijau, untuk masalah makan bisa dimana saja.

Pak Wahyu juga menceritakan perjalanan Gus Dur yang luar biasa. 16 hari melewati 17 negara. Di jaman itu, kemandirian era Gus Dur sangat luar biasa. Intinya, menyangkut independensi jurnalisme bagi wartawan.

Yang kedua, peran dan cara pandang Gus Dur dalam kekuasaan. Gus Dur pernah mengatakan, ‘tidak ada jabatan sepenting apapun yang dipertahankan mati-matian di republik ini.’ “Kalau boleh mengklaim, itu kata Gus Dur kepada saya. Lalu saya tulis di Facebook lalu jadi viral,” jelas beliau. Ketika Gus Dur  dijatuhkan dan masih berada di istana, ada kondisi fisik Gus Dur yang kurang baik, harusnya berobat ke Amerika. Lalu Gus Dur mengatakan kata itu kepada saya.

Beliau pun berangkat ke Amerika. Beberapa kisah tragis era Gus Dur. Ajudan hanya satu, dokternya hanya ini, itu pun naik kelas ekonomi. Segalanya serba dibatasi.

Gur Dur menekankan bahwa “ini istana untuk rakyat, istana tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang sangar. Rakyat juga boleh dekat dengan istana,” kata pak Wahyu. Begitu prinsip Gus Dur.

Gus Dur pesan kepada saya, “Yu, ingat presiden yang mengatur protokol, bukan protokol yang mengatur presiden” ungkap Pak Wahyu saat menirukan ucapan Gus Dur pada dirinya.

Pernah Gus Dur ingin ke Papua, namun sempat dilarang sebagian pejabat militer karena berisiko. Tapi beliau tetap berangkat dan sampailah di Papua. Benar, banyak pasukan yang membawa busur, tapi ternyata mereka adalah penari tradisional yang menyambut Gus Dur.

Prinsip KH. Abdurahman Wahid adalah dekat dengan rakyat. Tapi ada dua resiko yang dihadapi Gus Dur pada waktu itu, yang pertama (1) Masa transisi/reformasi konflik-konflik meletus di Aceh, Papua dan Ambon. Beliau turun tangan langsung. Khusus sikap terhadap Papua, “Saya ingin merasakan matahari terbit di awal tahun di Papua” kata pak Wahyu menirukan Gus Dur.

Yang kedua, soal hubungan internasional demi tegaknya Republik Indonesia. Pentingnya peranan Republik di mata dunia. Yang ketiga (3) Hadirnya Kastro (perawakan : brewokan, pakai baju hansip) datang ke kamar Gus Dur. Orang yang memiliki pengaruh.

Intinya mengapa mereka semua menerima Gus Dur meski bukan presiden lagi. Kesimpulannya karena “Pengaruh Gus Dur”. Dalam bahasa pesantren “karamahnya” karena beliau ikhlas. Presiden pun harus ikhlas.


Pewarta: Umdatul. F

Publisher: MSA