sumber gambar: istimewa

Oleh: Yuniar Indra*

Beberapa waktu lalu virus merebak di berbagai belahan dunia, termasuk Mesir. Hingga saat ini ada 126 laporan mengenai warga terjangkit Covid-19. Dua di antaranya meninggal dunia. Dan 27 lainnya berhasil disembuhkan[1].

Menanggapi hal tersebut, Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi melalui pemerintah melakukan berbagai protokol sebagai upaya pencegahan. Di antaranya, mulai tanggal 15/3/20 sekolah dan universitas di Mesir diliburkan sementara[2]. Selain itu Dewan Ulama Universitas Al-Azhar Al-Syarif juga menangguhkan salat jamaah di masjid. Baik itu salat maktubah atau pun salat Jumat.

Lalu, bagaimanakah pandangan Fikih perihal tersebut?

Sebenarnya pengambilan hukum telah dilatar belakangi oleh peristiwa di zaman Nabi. Waktu itu terdapat hujan lebat dan angin ribut. Rasul memerintahkan agar salat di rumah masing-masing, sebab udzur jamaah yang terjadi. Sekaligus memerintah muazin agar mengganti sighat azan.

Majalah Tebuireng

عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ، فَقَالَ «أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ»، ثُمَّ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ، يَقُولُ: «أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ»[3]

Dari Nafi’, Ibnu Umar azan pada saat malam dingin dan angin ribut. Lalu ia berucap “salatlah di tempat kalian berada”. Selanjutnya, nabi memerintah muazin agar melafalkan azan saat malam yang dingin dan angin ribut dengan sighat “salatlah di tempat kalian berada”.

Nah, menengok peristiwa di atas apakah dibolehkan mengganti azan selain waktu malam yang dingin dan angin ribut?

و)يسن (قول: ألا صلوا في الرحال) أو في رحالكم أو بيوتكم مرتين كما في “سنن أبي داوود” (في الليلة الممطرة) واليوم المطير وإن يكن ريح (أو ذات الريح) أو ذي الريح (أو) ذات (الظلمة) وفي كل ما هو من أعذار الجماعة؛ للأمر به، ويقول ذلك (بعد الأذان أو) بعد (الحيعلتين

Disunahkan agar mengucap: “salatlah di tempat kalian berada, atau di rumah kalian” dua kali setelah azan atau lafal hayya ‘ala al-falah- seperti dalam kitab Sunan Abi Dawud-ketika hari hujan meskipun tidak ada angit ribut. Juga ketika ada uzur jamaah.

Keberadaan uzur memunculkan kebolehan untuk tidak salat jamaah di masjid,

وهذا كما قال: ترك الجماعة يجوز لعذر سواء قلنا أنها من فرائض الكفايات أو سنة مؤكدة[4]

Meninggalkan jamaah, baik fardu-fardunya ataupun sunah muakkadnya itu boleh ketika ada uzur.

Uzur pun masih dibagi lagi,

والعذر ضربان: عام وخاص. فالعام ضربان عذر يجوز ترك الجماعة وعذر يجوز التأخير، فالذي يجوز التأخير مثل شدة الحر وقت الظهر على ما بيناه. وأما الذي يجوز الترك، فمثل المطر والوحل في الليل والنهار أو الريح الشديدة في الليلة المظلمة دون النهار وأما العذر الخاص، فهو: الذي يختص به الواحد من بين الجماعة

Uzur ada dua: 1. Uzur ‘am, 2. Uzur khas. Uzur ‘am ada dua kebolehan: 1. Kebolehan meninggalkan jamaah, 2. Kebolehan terlambat jamaah. Yang kedua, disebabkan oleh hawa yang sangat panas di waktu zuhur. Yang pertama, disebabkan oleh hujan dan lumpur di malam atau siang hari. Juga angin ribut di malam yang mencekam, mengecualikan siang hari. Uzur khas ialah uzur yang terkhusus pada individu saja.

Jika diamati lebih dalam, maka akan timbul pertanyaan apakah Covid-19 masuk kategori uzur ‘am atau khas?

Jawabannya tidak, masih uzur khas. Namun persatuan ulama Al-Ahzar Al-Syarif mempunyai alasan tersendiri mengomentari peristiwa merebaknya Covid-19,

والدليل علي مشروعية تعطيل صلاة الجمعة والجماعات تلافيا لانتشار الوباء ما في الصحيحين: قَالَ: ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَلاَ تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، قُلْ: «صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ»، فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا، قَالَ: فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ

Dalil dalam permasalahan ini adalah sebagaimana Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata kepada Mu’adzinnya di hari yang hujan, “Apabila engkau mengucapkan Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah (dalam adzan), jangan engkau ucapkan Hayya ‘Alash Shalah (Mari melaksanakan shalat), tapi ucapkanlah Shalluu fi Buyuutikum (shalatlah di rumah-rumah kalian). Maka seolah-olah manusia mengingkarinnya. Beliau (Ibnu Abbas) berkata: “Hal itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), sesungguhnya shalat Jum’at itu ‘azimah (kewajiban yang harus ditunaikan) dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar, sehingga kalian berjalan menuju masjid dengan kondisi jalan yang berlumpur dan licin.”

Hadits tersebut menjelaskan tentang bolehnya seorang tidak melaksanakan salat berjamaah di masjid disebabkan oleh hujan deras. Maka tidak diragukan lagi bahwa bahaya virus (memastikan) lebih besar dari sebab kesulitan melaksanakan salat di masjid dikarenakan hujan. Oleh karena itu keringanan tidak melaksanakan salat Jumat di masjid ketika ada bahaya virus dan penularannya adalah hal yang dibenarkan oleh agama. Lalu sebagai gantinya setiap muslim bisa melaksanakan salat empat rakaat di rumah atau di tempat yang tidak ada kerumunan orang.

Sebagaimana ulama telah bersepakat bahwa jika ada rasa takut atas jiwa, harta atau keluarga maka dibolehkan tidak melaksanakan salat Jumat dan salat jamaah di masjid. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْمَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mendengar azan dan tidak punya alasan sehingga tidak mejawabnya (mendatanginya) para sahabat bertanya: Apakah alasan (udzhur) itu?” Beliau menjawab: “Takut atau sakit, maka tidak diterima salat yang dia kerjakan.”

Rasulullah SAW melarang orang yang mempunyai bau yang tidak sedap dan dikhawatirkan mengganggu orang lain untuk mendatangi masjid, hal ini termuat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori dari Jabir bin Abdillah,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ في بَيْتِهِ

“Barang siapa memakan bawang putih atau bawang merah, maka jangan ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia salat di rumahnya.”

Gangguan sebagaimana tertera di hadis yang disebabkan memakan bawang adalah sifatnya sementara dan akan hilang dengan selesainya salat tetapi Rasulullah SAW meminta untuk menjauhinya. Lalu bagaimana dengan gangguan/bahaya penyakit yang sangat mudah menyebar dan menyebabkan malapetaka. Maka ketakutan yang dihasilkan oleh penyebaran virus yang mematikan dan belum diketahui cara penanganannya yang cepat sampai sekarang menjadikan sebab bagi seorang muslim mendapatkan keringanan untuk tidak melaksanakan salat Jumat dan jamaah di masjid.

Oleh karena itu Persatuan Ulama Al-Azhar sampai pada kesimpulan bahwa dibolehkan bagi negara untuk mengambil kebijakan meniadakan salat Jumat dan jamaah sementara waktu, ketika melihat bahwa berkumpulnya orang-orang untuk melaksanakan kegiatan salat tersebut menyebabkan risiko penularan dan penyebaran virus Covid-19 yang mematikan.[5]

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

[1] https://www.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6, diakses pada 16 Maret 2020.

[2] https://arabic.cnn.com/health/article/2020/03/14/egyptian-president-sisi-egypt-suspends-studying-schools-universities-coronavirus?hpt=amp-related-article, diakses pada 16 Maret 2020.

[3] Muslim, al-Jami’ al-Sahih Muslim, no. 1491.

[4] Al-Rawani, Bahr al-Madhab.

[5] https://www.facebook.com/978594902154603/posts/3325171640830239/,  diakses pada 17 Maret 2020.