Sumber: googleimage

Oleh: Silmi Adawiya*

Kondisi seseorang yang rela beramal dengan mentaati Allah diatas cahaya-Nya, dan tidak bermaksiat kepada-Nya disebut dengan takwa. Tetap konsisten di atas jalan takwa memang tidaklah mudah, namun itulah yang menyebabkan buah takwa nyaris sempurna dibandingkan  buah yang lain. Sebagaimana firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Dia akan memberikan kepadamu Furqaan dan akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”

Buah takwa yang disebutkan ayat tersebut adalah hanya satu dari sekian banyak yang dianugerahkan Allah kepada setiap hamba yang takwa. Furqan tersebut adalah pembeda antara yang haq dan batil, Furqan menjadi kunci selamat di dunia, apalagi zaman sekarang dimana kebenaran dan kesalahan sudah tidak begitu kentara. Banyak manusia yang terperosok ke dalam perilaku maksiat karena pada awalnya dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah salah, apalagi  kemasannya  begitu indah mempesona.

Majalah Tebuireng

Dengan begitu bijak, Ibn Atha’illah menuliskan dalam karyanya Al-Hikam sebagai berikut:

اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْحُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ 

“Kuburlah wujudmu (eksistensimu) di dalam bumi kerendahan (ketiadaan); maka segala yang tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya.”

Secara bahasa, al-humuul artinya adalah kosong, lemah, bodoh, tidak aktif, tidak dikenal; yang dalam konteks ini bermakna “kerendahan” atau “ketiadaan”. Sementara wujud atau eksistensi manusia pada dasarnya ingin diakui, dikenal, mahsyur, terpandang, paling hebat, dan semacamnya. Dalam istilah psikologi, manusia diatur oleh ego yang ada dalam dirinya.

Dalam Al-Hikam ini, Ibn Atha’illah mengungkap cara jitu untuk mendapatkan buah takwa yang sempurna adalah dengan mengubur eksistensi dan ego kita dalam bumi ketiadaaan. Kita tidak akan mampu mengenal siapa diri kita, buah takwa apa yang harus kita hasilkan, kecuali Allah memberi petunjuk dan perlindungan. Selama ini ego diri kita yang mengatur siapa diri kita dan apa yang kita inginkan padahal Allah lah yang lebih mengetahui diri kita yang sesungguhnya.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta, alumni Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang dan Unhasy Tebuireng.