Sumber gambar: https://mojok.co

Oleh: Silmi Adawiya*

Belajar Bersyukur dari Puisi Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi adalah salah satu dari sekian penyair yang mampu menciptakan gelombang kata-katanya menjadi sunami kehidupan, ia mampu menghanyutkan jutaan manusia dari masa ke masa untuk menuju sebuah hakikat ketuhanan, kebebasan, kemuliaan, dan tujuan hidup yang hakiki. Puisi-puisi Jalaluddin Rumi dipenuhi dengan mistik, yang tidak semua orang mampu mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam puisi-puisinya, serta karakteristik kemistikan yang masih dipenuhi misteri. Rajutan puisinya berbunyi:

....hidup ini seperti tinggal di losmen, 
tiap hari ganti tamu, 
siapapun tamunya (senang-sedih, suka-duka),
jangan lupa tersenyum

Jalaluddin Rumi menggambarkan bahwa kehidupan hanya losmen (funduk saghir) yaitu tempat tinggal sementara, dan orang silih berganti beristirahat di dalamnya. Kenapa mempertahankan yang tiada abadi, kalau hanya membawa ketiadaan, kegaduhan, keluhan, sakit, dan penyakit hati? Beliau juga menggambarkan bahwa tamu yang berteduh di dalamnya tidaklah lama, mereka berganti orang dan berganti peran, tiada yang sampai berlama-lama di dalamnya, karena losmennya akan digantikan oleh orang setelahnya.

Selanjutnya Jalaluddin Rumi menceritakan tamu-tamu yang silih berganti dalam kehidupan. Ketika tamu bertandang dengan segala sifat yang dibawanya, dengan segala karakter yang melekat, dan segala rupa-rupa tamu yang datang, maka “jangan lupa tersenyum” padanya, karena hidup hanya goresan kata di padang pasir. Ia sedikit demi sedikit menghilang dan benar-benar tiada.

Majalah Tebuireng

Tersenyum adalah syukur. Ia menerima yang merasa senang dengan apapun yang terjadi pada dirinya dan apapun yang menimpa dirinya. Ia berterima kasih pada Allah terhadap apa yang telah dialaminya. Maka “Siapa pun tamunya” yang membawa kesenangan atau kesedihan,  kabar suka atau duka,  pantas disyukuri  dengan “jangan lupa tersenyum”.

Tumbuhnya senyum dikarenakan ada kelapangan hati, keluasan dada, dan kesadaran diri. Maka di sanalah letak rasa syukur kepada Allah, karena orang yang bersyukur ada kelapangan hati untuk menerima apa pun warna-warni kehidupan.

Dan firman-Nya:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat. [Ibrâhîm/14:7]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas, telah menunjukkan obat dan faktor yang sangat kuat agar seseorang bisa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu hendaknya setiap hamba memperhatikan orang yang lebih rendah darinya dalam hal akal, nasab, harta, dan nikmat-nikmat lainnya.

Jika seorang terus-menerus melakukan ini, maka ini akan menuntunnya untuk banyak bersyukur kepada Rabb-nya serta menyanjung-Nya. Karena dia selalu melihat orang-orang yang keadaannya jauh berada di bawahnya dalam hal-hal tersebut. Banyak di antara mereka itu berharap bisa sampai –atau minimal mendekati- apa yang telah diberikan padanya dari nikmat kesehatan, harta, rezeki, fisik, maupun akhlak. Kemudian dia akan banyak memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya banyak karunia.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

“Lihatlah kepada orang-orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah kalian melihat kepada orang-orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih patut bagi kalian, supaya kalian tidak meremehkan nikmat Allâh yang telah dianugerahkan kepada kalian.”

Bila awan tidak menangis,
mana mungkin taman akan tersenyum
Sampai anda telah menemukan rasa sakit, 
anda  tidak akam mendapati obatnya
Sampai anda sudah menyerah, 
anda tidak kan bersatu dengan Jiwa tertinggi
Sampai anda telah menemukan api dalam diri anda,
seperti Teman, anda tidak akan mencapai semi kehidupan.

Tawakkal itu tidak hanya pasrah begitu saja menunggu jatuhnya takdir dari Allah, tetapi harus disertai dengan mengambil sebab yang telah disyariatkan. Dan mengambil suatu sebab tersebut bukan berarti menafikan tawakkal. Kita bisa belajar tawakkal dari seekor burung yang bebas berterbangan di bumi Allah.

Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR. Imam Ahmad)


*Penulis adalah alumnus Unhasy dan Pesantren Putri Walisongo Jombang.