Mantan Ketua MK, Mahfudz MD, didampingi KH. Salahuddin Wahid, Rektor UMS, Sofyan Anif, dan Kombs Pol. Pudjo, menyampaikan keterangan dalam jumpa pers di sela-sela acara seminar “Perspektif Hadrastussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan terhadap Politisasi Agama” di aula Gedung Siti Walidah lantai 7 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Sabtu (31/03/2018). (Foto: Abror)

Tebuireng.online— Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfudh MD, menyebutkan, ada upaya yang dilakukan oleh sebagian orang untuk menafsirkan secara negatif politisasi agama seakan-akan sepenuhnya salah. Menurutnya, tanpa proses politisasi agama, bisa saja Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak berdiri.

“Apa yang dikatakan Gus Sholah (KH. Salahuddin Wahid) benar bahwa ada penafsiran negatif atau penjualan yang ditampilkan dalam pemberitaan sekarang ini bahwa seakan-akan politisasi salah,” ungkapnya dalam jumpa pers sebelum sesi ke-2 seminar “Perspektif Hadrastussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan terhadap Politisasi Agama” di aula Gedung Siti Walidah lantai 7 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Sabtu (31/03/2018).

Padahal, menurutnya, KH. Ahmad Dahlan dan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asyari itu justru mempolitisasi agama untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Seandainya mereka tidak mengambil ijtihad bagaimana kita harus punya negara, kira-kira kan Indonesia tidak ada,” tambah guru besar ilmu hukum tata negara itu.

Ia juga menegaskan bahwa Indonesia dibangun atas nilai-nilai agama, dalam artian, tidak mungkin agama bisa dilepas dari pembangunan negara ini, sehingga memunculkan salah satu sila yang mendasar, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”. Baginya perumusan sila pertama Pancasila itu, telah diperjuangkan di negeri ini berdasarkan prinsip toleransi yang sudah ada.

“Itulah yang disebut dengan pluralisme, tapi nilai-nilai agama masuk, misalnya pada zaman Kiai Ahmad Dahlan memperjuangkan bagaimana pelayanan  haji yang baik dan ordenansi tentang guru yang tidak adil terhadap kehidupan guru. Itu semua kan politisasi dengan menggunakan organisasi keagamaan untuk membangun kebaikan bagi negeri ini,” tegasnya.

Majalah Tebuireng

Kemudian ia menuturkan bahwa politisasi agama sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, ia menggarisbawahinya dengan tidak akan merusak ideologi. Yang demikian ini, lanjut Mahfudh, cotoh politisasi agama yang negatif seperti berkeinginan mendirikan khilafah yang sekarang ini banyak ditonjolkan. Ia juga menyebutkan bahwa politisasi agama dalam rangka power struggle (perebutan kekuasaan) lah yang dilarang, karena nilai-nilai simbolik  agama dipertarungkan untuk mendapatkan kekuasaan.

Ia mengatakan bahwa tujuan dari bernegera itu untuk memperjuangkan nilai-nilai agama.  “Dan dalil-dalilnya pun sudah jelas seperti yang dikatakan Imam Ghazali, beragama dengan baik dan punya kekuasaan politik adalah saudara kembar.,” lanjutnya.

Menurutnya, untuk membentuk kesinambungan antara beragama dan kekuasaan politik dalam bernegara, penting untuk berpegang pada prinsip toleransi, pluralisme, dan pensejahteraan masyarakat. “Artinya negara Indonesia itu adalah produk ijtihad sebuah negara yang islami, bukan negara Islam. Keduanya berbeda, islami itu nisbatnya punya sifat-sifat yang baik dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Sedangkan negara Islam, simbol formal itu dipakai,” pungkasnya.


Pewarta:            Zaenal Karomi

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin