Budayawan Senior Jombang Nasrul Ilahi (Cak Nasrul) dan Ahmad Shodiq Batavia (Cak Shodiq) bersama narahubung Cak Fanani dalam acara Ngaji Budaya # di SMK Investama Jombang pada Sabtu (23/09/2017). (Foto: Rara)

Tebuireng.online– Puluhan Seniman dan Budayawan Jombang yang berasal dari Lesbumi NU Jombang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Serba-Serbi Jombang, Boenga Ketjil, Teater Ringin Contong, Java Management, Bakti untuk Negeri dan SMK Investama menggelar Ngaji Budaya, Sabtu (23/9/2017) malam di Aula SMK Investama Jombang.

Hadir dalam kesempatan tersebut Budayawan Senior Jombang Nasrul Ilahi (Cak Nasrul) dan Ahmad Shodiq Batavia (Cak Shodiq) yang memberikan pandangan umum terkait perkembangan seni dan budaya di Indonesia khususnya di Jombang. Acara tersebut dipandu oleh Cak Fanani sebagai narahubung forum yang dikemas secara lugas nan santai.

Dalam pemaparannya, Budayawan Jombang Nasrul llahi (Cak Nasrul) mengatakan bahwa Jombang selain dikenal dengan sebutan Kota Santri juga dikenal dengan Kota Budaya. Hal itu tidak berlebihan, pasalnya Jombang memang mempunyai banyak budaya yang hingga saat ini masih digemari di masyarakat.

“Kekayaan budaya Jombang terutama seni, seperti Besutan, ludruk, Wayang Topeng Jati Luhur, Kentrung Jati Menok, itu adalah kekayaan Jombang,” terang Cak Nasrul yang juga adik dari Budayawan Emha Ainun Najib ini.

Seni di Jombang, terang Cak Nasrul lebih lanjut, salah satunya merpakan sarana untuk menyampaikan kritik terhadap penguasa pada masa itu (Belanda). Bedanya dengan daerah lainnya, Seni di Jombang sangat bersifat rakyat sentris atau memihak kepada rakyat. “Jombang itu bedanya dengan kulonan (daerah barat Jombang) adalah Jombang Ludrukan, kono ketoprakan (istana sentris) Kalau ludruk rakyat sentris,” paparnya.

Majalah Tebuireng

Lanjut Cak Nasrul, bahwa Ludruk itu berasal dari spontanitas, karena Ludruk berasal dari Besutan, Besutan berasal dari Lerok. “Identik dengan tari-tarian karena melambangkan kebebasan atau kemerdekaan,” imbuh pria 63 tahun ini.

Kelestarian Seni Budaya tersebut menurutnya juga tidak bisa dilepaskan dari sokongan pemerintah. “Kediri menganggarkan untuk pekan budaya ratusan bahkan milyaran. Sementara Jombang sak kuku ireng, sedikit sekali,” terangnya lebih lanjut.

Jombang kekayaan yang sudah ada, tidak hanya mempunyai tokoh-tokoh besar seperti Mbah Hasyim dan Gus Dur, bahkan sejak dulu menurutnya ada sesuatu di Jombang. “Kata Gus Mus, jajalen banyune Jombang onok apane, kok iso munculno wong gendeng2 gak karuan. Jombang itu memang perlu diselidiki banyune banyu opo,” tegasnya.

Itu juga menurutnya, proses saling berkelindan budaya dan nilai-nilai agama merupakan strategi mengungkapkan kritik. “Makanya aneh, kalau ada kiai yang melarang orang-orang pondok pesantren tidak boleh melihat ludrukan. Ini juga salah satu metamorfosa,” tandasnya.

Selain itu, Ahmad Shodiq Batavia (Cak Shodiq) menambahkan bahwa potensi ekonomi kreatif dalam bidang seni budaya sangat tinggi. “Di era internet informasi bebas, dari informasi penting dan tidak penting. Selera pasar berubah cepat. Salah satunya, tuntutan penikmat seni itu sendiri. Bagaimana pasar kesenian tradisional? Asal tahu saja, orang berani bayar lima ratus ribu untuk melihat wayang orang,” ujarnya.

Menurutnya Ludruk Besutan asli Jombang mempunyai potensi yang sangat besar. “Besutan adalah wadah, isinya bisa diisi sesuai kebutuhan,” pungkasnya.

Acara tersebut juga diselingi dengan panggung kreasi seperti pembacaan puisi dan stand up comedy dan performance dari musisi Fai Law asal Jombang.


Pewarta:            Rif’atuz Zuhro

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin