Katedral Palermo, bangunan bekas basilica ini sempat digunakan sebagai Masjid pada masa kekuasaan Islam di Sisilia. Sekarang menjadi katedral. (Foto: en.wikipedia.org)

Pada periode klasik perjalanan sejarah umat Islam, muslim mulai melakukan upaya untuk memperluas pengaruh Islam hingga ke daratan Eropa. Salah satu daerah yang menjadi tujuan dari perluasan pengaruh tersebut adalah pulau Sisilia. Pulau Sisilia yang letak geografisnya strategis ini dipandang sebagai batu loncatan awal jika ingin memperluas pengaruh di benua Eropa. Pada perkembangannya pulau Sisilia sempat dikuasai oleh beberapa dinasti Islam periode klasik, dan puncaknya peradaban Islam di Sisilia memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan keilmuwan Barat.

Upaya Ekspansi Awal di Eropa

Ekspedisi muslim pertama di daratan Eropa dimulai pada masa pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan. Pada tahun 649, Khalifah Utsman memberikan izin kepada Muawiyyah untuk memimpin serangan pertama ke kepulauan Cyprus. Serangan ini diikuti dengan penaklukkan singkat pulau Rodes, dan Crete. Pulau Cyprus, Crete, dan Rhodes merupakan markas utama dari angkatan laut Byzantium di timur laut Mediterania.  Penaklukkan pulau-pulau bagian timur ini hanya berlangsung singkat, penaklukkan yang berdampak jauh lebih sigsnifikan terjadi nanti di pulau Sisilia.

Pada tahun 652 M angkatan laut Bizantium di Aleksandria mendapat serangan dan kekuatan maritim beralih ke tangan orang Arab, pada saat yang sama terjadi serangan atas kekuatan Bizantium di Sisilia yang dilakukan oleh panglima perang Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Akibat dari serangan ini Kejayaan Siracuse (Saraqusah, Saraqushshah) runtuh. Rampasan perang yang didapatkan muslim, mengundang para pengembara muslim untuk kembali ke daerah itu pada paruh kedua abad ketujuh.

Pada abad kedelapan, kaum Berber dan para pejuang Arab dari Afrika bagian utara dan timur melakukan ekspansi ke daerah Sisilia, Corsica, dan Sardinia, ekspansi ini menimbulkan keresahan di daerah-daerah tersebut. Perlu diketahui, bahwa pada masa itu, perompakan dan penjarahan dianggap sebagai alat-alat yang sah untuk hidup, baik oleh penduduk muslim maupun Kristen. Tidak ada kebijakan politis yang terencana dalam gerakan-gerakan ekspansi pertama ini.

Majalah Tebuireng

Penaklukan Dinasti Aghlabiyah atas Sisilia

Penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia (bahasa: Siqilliyah) merupakan gelombang serbuan terakhir yang dibawa bangsa Arab ke Afrika Utara dan Spanyol. Para pemimpin ekspansi ke Sisillia, dan ke daratan Eropa Tengah adalah para panglima perang dinasti Aghlabiyah dari Kairawan (Tunisia) yang menyerang wilayah itu pada abad ke-9 M. Berkembanganya kekuatan Dinasti Aghlabiyah di Kairawan, pada paruh pertama abad ke-9, telah menjadikan Aglabiyah sebagai ancaman bagi Byzantium.

Kronologi penaklukan yang sesungguhnya dimulai pada tahun 825. Euphemius, seorang laksamana Byzantium, mendapati dirinya terancam oleh hukuman kekaisaran untuk beberapa kasus pelanggaran, penyebabnya tidak begitu jelas. Akhirnya, dia memulai pemberontakan melawan kekaisaran, dan mencoba merampas kepulauan. Selanjutnya, ketika dikalahkan oleh pasukan kekaisaran, dia lari ke Tunisia dengan kapalnya, dan meminta bantuan pada Ziyadatullah I (817-838), penguasa dinasti Aghlabiyah di Tunisia. Euphemius memberinya dukungan untuk menaklukkan pulau Sisilia.

Pada tahun 827, pemberontak Siracuse mencoba melakukan perlawanan terhadap gubernur Bizantium, momentum ini memberikan peluang kepada Dinasti Aghlabiyah untuk melakukan penaklukan. Ziyadatullah I, Khalifah Aghlabiyah ketiga, yang sebelumnya sempat ragu-ragu untuk menaklukkan Sisilia, langung mengirim tujuh puluh armada yang membawa sekitar 10.000 tetara, dan 7000 ekor kuda di bawah pimpinan Qadhi-Wazir, Asad ibn al-Furath, yang pada saat itu berusia 70 tahun.

Pasukan Afrika yang berlabuh di Masara kemudian bergerak ke Siracuse. Suatu wabah yang menyebar di perkemahan pasukan muslim membunuh Asad dan banyak prajuritnya. Sisa-sisa prajurit tersebut akhirnya  mendapat suntikan kekuatan baru dari Spanyol, sehingga mereka berhasil menguasai kota Palermo pada tahun 831. Penaklukkan Palermo merupakan titik tolak untuk penaklukkan berikutnya serta menempatkan gubernur baru di sana.

Pertempuran antara pasukan Byzantium, Siracuse dan Dinasti Aghlabiyah terus bergejolak baik di laut maupun daratan pulau Sisilia. Sekitar tahun 843 kota Messina jatuh ke tangan muslim, yang diikuti kota Castrogiovanni pada tahun 859. Pada tahun 878, benteng Siracuse yang menjadi pertahanan terakhir pemberontak Siracuse menyerah setelah sembilan bulan dikepung. Benteng itu dihancurkan pada masa kekuasaan Ibrahim II (874-902).

Sementara itu pasukan muslim telah berhasil mendarat di daratan utama Italia, dan menempatkan pasukan di kota Bari dan Taranto. Pada tahun 846-849, dengan mulai masuknya pasukan muslim di daratan Italia dan mengancam Roma, membuat Paus Yohanes VIII (872-882) dengan hati-hati mempertimbangkan untuk membayar pajak selama dua tahun. Namun penempatan pasukan di dataran utama Italia tersebut berlangsung antiklimaks, karena pada 871 kota Bari dan tahun 880 Taranto, berhasil direbut kembali oleh Kaisar Byzantium hingga akhirnya mengusir pasukan muslim keluar dari dataran utama Italia.

Antara tahun 895-896 Byzantium menyetujui perdamaian dengan muslim, yang mana mereka harus meninggalkan Sisilia. Akhirnya, pada tahun 902 pulau Sisilia jatuh sepenuhnya pada kekuasaan penguasa muslim. Untuk masa selanjutnya, Sisilia menjadi titik tolak penyebaran pengaruh peradaban Islam di Eropa.

Perkembangan Peradaban di Sisilia

Ketika Sisilia berhasil ditaklukkan, pulau Sisilia menjadi wilayah ekspansi pertama Dinasti Aghlabiyah. Amir penguasa pada awalnya mengendalikan kekuasaan mengikuti kekuasaan Dinasti Aghlabiyah di Kairawan. Namun, dengan runtuhnya dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 akibat serangan dari Dinasti Fatimiyah, wilayah Sisilia menjadi bagian dari dinasti baru tersebut.

Empat tahun setelah wilayah Sisilia jatuh kepada kekuasaan Dinasti Fatimiyah, muncul perlawanan terhadap Dinasti Fatimiyah. Beberapa muslim Sisilia di bawah pimpinan Ahmad ibn Qurhub menyatakatan kemerdekaan mereka, dan menyebut mereka dengan nama khalifah Abbasiyah al-Muqtadir dalam khutbah-khutbah Jumat mereka. Pada tahun 917, Amir Ahmad yang mulai ditinggalkan pasukan Berbernya, dieksekusi atas perintah al Madi, kemudian Sisilia kembali pada kekuasaan Dinasti Fatimiyah.

Pada masa transisi ini, situasi dalam negeri Sisilia tidak sepenuhnya harmonis. Elemen masyarakat Spanyol, dan Afrika di tengah masyarakat muslim terus berada dalam pertikaian, yang kemudian makin rumit karena munculnya pertikaian kuno antara bangsa Yaman dan bangsa Arab Utara. Pada tahun 948 Khalifah ketiga Fatimiyah, al Manshur menunjuk al Hasan ibn Ali ibn Abi al Husain al Kalbi sebagai gubernur Sisilia. Sebagai gubernur, Hasan mampu membangun Sisilia menjadi lebih mandiri dan kokoh.

Pindahnya pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah pindah ke Cairo, Mesir pada tahun 972, menyebabkan kontrol dari pemerintah pusat melemah, dan jabatan gubernur menjadi turun temurun berdasarkan keturunan Hasan ibn al Kalbi. Di bawah kekuasaan Dinasti Kalbiyah, benih-benih kebudayaan Arab mendapatkan kesempatan untuk berkembang di kepulauan multi-etnis ini.

Dinasti Kalbiyah yang menjadi penguasa Pulau Sisilia, memerintah dengan toleransi tinggi sehingga kondisi Sisilia yang sempat memanas karena konflik etnis dapat kembali stabil. Beragam suku, dan etnis, seperti orang Sisilia, Arab, Yahudi, Barbar, Persia, Tartar, dan Negro dapat berbaur dalam toleransi dan keharmonisan. Tidak ada pembantain terhadap salah satu etnis atau agama. Penduduk yang berbeda agama dilindungi, dan dihormati kebebasannya dalam menjalankan aktivitas peribadatan.

Sejak berada dalam kekuasaan Islam, Sisilia menjelma menjadi salah satu magnet peradaban Eropa, setelah Cordova. Seorang ahli geografi, dan pengembara dari Timur, Ibnu Hawqal (943-977) menjelaskan di Palermo terdapat sekitar 300 masjid yang megah. Di masjid-masjid Jami ini terdapat sekitar 60 baris jamaah, yang masing-masing baris disi sekitar 200 orang, sehingga jumlahnya mencapai 7000 jamaah. Dia juga menghitung terdapat sekitar 300 guru sekolah umum.

Dinasti Kalbiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Abu al-Futuh Yusuf ibn Abdullah (989-998). Para amir Kalbiyah hidup dalam istana-istana yang megah, dan membangun kastil-kastil yang indah di kota-kota yang sedang berkembang. Pada puncak kejayaan ini, kegiatan intelektual mengalami perkembangan pesat bersamaan dengan kemajuan intelektual dinasti Fatimiyah.

Terdapat beberapa lembaga pendidikan Islam terkemuka pada masa itu, salah satunya Universitas Balerm, sebuah perguruan tinggi Islam terkemuka di kota Palermo. Sekolah-sekolah di wilayah Sisilia dilengkapi dengan asrama  siswa, dan mahasiswa. Sehingga tidak mengherankan banyak pemuda dari berbagai penjuru dunia menimba ilmu di sekolah, dan Universitas Sisilia.

Ibnu Jubair yang dalam perjalanannya ke Sisilia, memberikan gambaran bagaimana kemajuan peradaban Islam di Sisilia. Dalam buku perjalanannya, Ibnu Jubair menggambarkan kemajuan pesat Palermo, ibu kota Sisilia, “Palermo adalah sebuah kepulauan metropolis yang mengkombinasikan kekayaan dan kemuliaan. Sebuah kota kuno yang elegan.”

Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar masyarakat Sisilia. Ibnu Jubair menyaksikan orang-orang di sana berbicara menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Selain memajukan kegiatan intelektual, Dinasti Kalbiyah juga memajukan sistem pertanian, dan industri masyarakat Sisilia. Di sektor pertanian buah jeruk merupakan komoditas utama pertanian Sisilia, dan ketika Islam menguasai Sisilia dikembangkanlah sistem saluran irigasi.

Kemajuan di sektor pertanian diikuti oleh sektor industri. Industri tektsil mengalami pertumbuhan yang luar biasa ketika masa Dinasti Kalbiyah. Kemajuan di kedua sektor tersebut membuat masyarakat Sisilia merasakan kemakmuran yang luar biasa. Udovitch menjelaskan bahwa Sisilia pada akhir abad ke-10 telah menjadi pusat perdagangan di dunia Mediterania.

Berakhirnya Kekuasaan Umat Islam di Sisilia

Setelah mengalami masa kemakmuran yang luar biasa, rezim pemerintahan muslim di Sisilia harus berhenti. Runtuhnya rezim Kalbiyah yang disebabkan oleh perang sipil dan campur tangan kekaisaran Bizantium, membantu penaklukan bangsa Norman atas kepulauan Sisilia. Penaklukkan ini dimulai dengan serangan atas kota Messina pada tahun 1060 oleh pangeran Roger, anak Tancred de Hauteville, dan diikuti dengan penaklukan kota Palermo tahun 1071, dan Siracuse tahun 1085. Pada tahun 1091, pasukan Norman telah berhasil menguasai wilyah-wilayah pulau Sisilia.

Walaupun Sisilia sudah jatuh ke tangan penguasa yang baru, peradaban kaum muslimin ternyata masih mampu bertahan di pulau tersebut selama lebih dari dua abad berikutnya. Raja-raja Kristen dari Norman yang menaklukkan pulau tersebut, Roger I, Roger II (1111-1154), William I (1154-1166), dan William II (1166-1189), pada gilirannya justru takluk pada keindahan peradaban kaum muslimin.

Toleransi beragama yang sebelumnya telah menjadi ciri khas peradaban Islam kini diteruskan tradisinya oleh raja-raja tersebut. Mereka menolak tekanan gereja untuk mengkristenkan kaum muslimin. Hanya saja pada akhirnya kaum muslimin mendapat tekanan juga dari komunitas Kristen di pulau itu. Dalam proses yang cukup lama, jumlah kaum muslimin di pulau itu menyusut sedikit demi sedikit. Beberapa dari mereka dikonversikan secara paksa ke dalam agama Kristen sementara sebagian besar yang lain melakukan migrasi ke Afrika Utara. Namun selama dua abad lebih itu, Raja-Raja Sisilia Kristen terus saja terpukau dengan ketinggian budaya kaum muslimin serta menggunakan atribut-atribut Islam untuk diri mereka sendiri.

Selama masa ini, sistem politik serta kebiasaan para penguasa muslim sebelumnya tetap dipelihara. Bahasa Arab dipertahankan sebagai salah satu bahasa resmi kerajaan dan para rajanya sendiri mampu berbahasa Arab dengan baik. Para ilmuwan muslim selalu mendapat tempat terhormat di Kerajaan Norman-Sisilia. Al-Idrisi bahkan mempersembahkan karya terbaiknya, Kitab Ar-Rujari, pada raja Roger II. Raja-Raja Kristen ini bahkan menggunakan gelar-gelar berbahasa Arab seperti yang digunakan para penguasa muslim. Roger II al Mu’tazz billah, William I al Hadi bi Amrillah, dan William II al Musta’izz billah. Itulah sebabnya mengapa terkadang mereka disebut oleh pihak muslim ataupun kristen sebagai ’kripto-muslim’ atau ’sultan-sultan yang dibaptis’ (the babtized sultan).

Seorang pengembara muslim dari Andalusia, Ibn Jubair, mampir ke pulau ini pada tahun 1185 setelah perjalanannya dari Timur. Ia mencatat berbagai hal tentang kehidupan kaum muslimin dan kristen di pulau tersebut. Berdasarkan pengamatannya, sikap penduduk kristen sangat toleran terhadap tetangga-tetangga muslimnya. Walaupun demikian, menurut Donald Matthew, itu tidak memadai untuk mencegah terjadinya pembantaian yang buruk di kemudian hari.

Pengaruh kebudayaan kaum muslimin ternyata tidak hanya mempengaruhi raja-raja Sisilia saja, melainkan juga penduduknya. Ibn Jubair mencatat betapa cara hidup muslim ditiru oleh penduduk kristen. Kaum perempuan kristen di pada umumnya mengenakan busana seperti kaum muslimah, termasuk penggunaan kerudung. Penduduk Kristen di pulau tersebut juga tidak makan daging babi dan lafaz syahadat merupakan hal yang umum di tengah-tengah mereka. Pada saat Ibn Jubair berkunjung, kota Palermo masih memiliki 300 buah masjid.

Dinasti Norman kemudian digantikan oleh kaisar dari Jerman, Henry VI, pada tahun 1194. Anaknya yang kemudian menggantikannya, Frederick II (1208-1250), ternyata juga sangat terpengaruh dengan budaya kaum muslimin. Saat meninggal ia bahkan dikuburkan dengan menggunakan kain kafan. Bila populasi muslim mengalami penderitaan dan mendapat tekanan yang serius selama masa pemerintahan Frederick II, kebudayaan mereka justru mencapai puncaknya pada masa ini. Universitas Naples, universitas pertama di Eropa, didirikan pada tahun 1224, diikuti oleh universitas di Messina dan Padua serta renovasi sebuah sekolah kedokteran lama di Palermo. Sisilia, dan juga Andalusia, merupakan jembatan langsung yang menjadi penghantar peradaban kaum muslimin yang tinggi mengalir secara deras ke Eropa yang masih barbar.

Keadaan setelah itu semakin memburuk bagi kaum muslimin. Jumlah mereka sudah semakin berkurang dibandingkan masa-masa sebelumnya. Terjadinya pemberontakan demi pemberontakan mendorong Frederick memindahkan kaum muslimin di Sisilia secara bertahap ke sebuah koloni di daratan Italia Selatan, tepatnya di Lucera. Anak haram Frederick, Manfred, merupakan penguasa Kristen terakhir yang masih bersikap toleran terhadap kaum muslimin. Pihak gereja serta para paus di Roma tentu saja tidak menyukai raja-raja Kristen yang berperilaku kearab-araban tersebut. Manfred sendiri disindir oleh paus sebagai ’Sultan Lucera’ serta Tuannya orang-orang Saracen ’orang-orang Islam.’

Atas restu paus, Charles d’Anjou kemudian memerangi dan membunuh Manfred pada tahun 1266. Setelah itu, beberapa misionaris fanatik seperti Raymond Lull diutus untuk mengkristenkan kaum muslimin yang tersisa di Lucera. Kaum muslimin menolak hal itu. Banyak dari mereka yang beremigrasi ke Afrika Utara sementara beberapa lainnya tetap bertahan. Akhirnya, atas perintah paus, sisa-sisa kaum muslimin yang tetap bertahan di Lucera ini dihancurkan dan dibantai pada tahun 1300.

Tidak dapat dipungkiri kemajuan intelektual di Sisilia seakan menjadi magnet bagi sarjana-sarjana Eropa untuk menuntut ilmu. Bangsa Eropa yang pada masa itu sedang mengalami masa kegelapan, seakan mendapatkan pencerahan dengan munculnya ilmu-ilmu yang dibawa sarjana-sarjana muslim. Salah satu sarjana Barat yang terpukau dengan kemajuan keilmuwan muslim adalah Michael Scot. Dia membuat ringkasan karya-karya Aristoteles tentang biologi dan zoologi dalam bahasa latin yang ia terjemahkan dari bahasa Arab, disertai komentar dari Ibnu Sina. Berawal dari Scot ini lah, makin banyak sarjana-sarjana Barat yang mencoba menerjemahkan literatur-literatur berbahasa Arab ke Bahasa Latin. Masa ini menjadi awal sebelum dimulainya masa Renaisans Eropa, yang kerap luput dari perhatian sejarawan.

Pada abad ke-14 hingga ke-15, Turki Usmani (Kekaisaran Ottoman) beberapa kali mencoba menguasai Sisillia dan Italia Selatan, bahkan sempat menduduki beberapa wilayah. Setelah pendudukan Ragusa (Dubrovnik) dan Hungaria tahun 1526 dan kekalahan pasukan Turki di Vienna tahun 1529, pasukan Turki menyerang kembali Italia selatan. Tahun 1512/1526 Ottoman menduduki Reggio dan tahun 1537 bagian Calabria dan pada tahun 1538 mengalahkan Pasukan Venesia. Tahun 1539 Nice dikepung oleh Bangsa Barbar (Afrika Utara). Namun segala percobaan penguasaan Turki di Sisilia gagal, seperti percobaan pendudukan Pantelleria tahun 1553 dan pengepungan Malta tahun 1565.

Muslim di Sisilia dan Italia Sekarang

Kehadiran umat Islam dimulai kembali di era 1950-1960-an. Italia (termasuk Sisilia) menjadi tujuan utama imigran Muslim ke Eropa. Jumlah mereka terus bertambah hingga mencapai 34 persen dari seluruh imigran di sana yang sekitar 2,4 juta jiwa (data tahun 2005). Islam pun menjadi agama terbesar kedua setelah Katolik Roma.

Tahun 2017, jumlah imigran Muslim yang sudah memperoleh kewarganegaraan sekitar 30-50 ribu jiwa. Sementara itu, warga Italia yang beralih menjadi Muslim jumlahnya sekitar 10 ribu orang.

Seperti halnya kehidupan umat Muslim minoritas, di Italia pun mereka mengalami berbagai prasangka. Selain karena warga Italia mulai resah dengan meningkatnya imigran yang datang, mereka juga khawatir terhadap munculnya kelompok-kelompok ekstrem agama.


Disarikan dari:

Sisilia: Sisa Kejayaan Islam di Negeri Italia (Benua Eropa)

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/12/08/ohvb15313-dari-sisilia-pengaruh-islam-menyebar-hingga-ke-eropa