Oleh: Nurdiansyah Fikri Alfani*

Sebuah statement yang seharusnya tidak terucap dari lisan seorang Emha Ainun Nadjib atau biasa disapa Cak Nun, ketika berceramah di salah satu acara beliau tidak sengaja (keceplosan) mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh fansnya kaget, bagaimana tidak Cak Nun dalam orasinya mengatakan kalau Presiden Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo itu seperti Fir’aun lalu ada juga orang yang disebutnya sebagai Qorun yaitu Antoni Salim dan Haman di negeri ini yaitu Luhut Binsar Panjaitan.

Pada akhirnya setelah perkataannya viral di media sosial Cak Nun memberikan klarifikasi di salah satu channel YouTube bahwa ketika beliau berceramah pada waktu itu mengaku “kesambet”, dan beliau meminta maaf semua yang menjadi tidak enak karena omongannya.

Dari apa yang dikatakan Cak Nun tadi ternyata Imam Ahmad dalam kitabnya Musnad Ahmad pernah meriwayatkan hadis tentang siapa yang disebut Fira’un di umat nabi Muhammad SAW, hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Ubaidah bahwasanya ayahnya pernah bertarung dengan Abu Jahal, pada pertarungan tersebut Abu Jahal mengalami luka sehingga kakinya terputus, kemudian ayah dari Abu Ubaidah terus menyerang Abu Jahal sampai terbunuh.

Setelah itu beliau datang menemui Nabi untuk mengadukan hal tesebut, singkat cerita Nabi memerintahkan para sahabat agar menyeret dan memasukkan jasad Abu Jahal ke sumur, kemudian beliau bersabda

Majalah Tebuireng

وأُتْبعَ أهلُ القَليب لعنةً”، وقال: “كان هذا فَرعون هذه الأُمة

“Laknat mengiringi penghuni sumur ini”, kemudian nabi bersabda lagi “ini (abu Jahal) adalah Fir’aun umatku” [1] (isnad hadis dhoif menurut Syaikh Syuaib al-Arnaut)

Memang sejatinya tidaklah pantas jika mengkritik pemerintah dengan kata-kata yang tidak baik dan punya kesan kasar, bagaimanapun kita tetap menghargai adanya pemerintah/pemimpin karena tanpa adanya pemimpin masyarakat dalam sebuah komunitas akan kehilangan arah dalam menentukan langkah progresif mereka, sejalan dangan ini Ibnu Taimiyah pernah mengutip sebuah perkataan dalam kitabnya mengenai pentingnya seorang pemimpin

وَقَدْ قِيلَ: سِتُّونَ سَنَةً بِإِمَامِ ظَالِمٍ خَيْرٌ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلَا إمَامٍ

Dan dikatakan: Enam puluh tahun dengan seorang imam yang dholim lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam.[2]

Dari peristiwa tadi bisa diambil pelajaran kalau kita harus menjaga lisan kita, karena apapun yang telah kita omongkan akan sulit untuk ditarik kembali apalagi itu menyangkut harga diri seseorang, kemudian jika kita mengkritik pemerintah seharusnya menggunakan bahasa yang santun dan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak hanya mengandalkan emosi belaka, dan bagaimanapun seorang pemimpin harus kita taati dan hormati, bahkan nabi Muhammad SAW pernah bersabda kalau seandainya kita dipimpin oleh hamba sahaya dari golongan Habasy maka kita diharuskan mendengarkan dan taat kepadanya selama dia masih sejalan dengan ajaran al-Qur’an.[3]


[1] مسند الإمام أحمد بن حنبل, 4/50 رقم 3824

[2] ابن تيمية ,مجموع الفتاوى ,14/268

[3] Ibnu Majah, no 2852


*Santri Tebuireng