Sumber gambar: http://news.detik.com/berita/3297721/tentang-salat-jenazah-di-setiap-usai-salat-fardhu-di-tanah-suci

Oleh: Faiqoh Hami Diyah*

Siapa yang tidak ingin bertamu ke Baitullah? tanah yang disucikan dan kiblat seluruh umat Muslim di dunia yang selama ini hanya dapat kita lihat melalui sajadah, foto, tv, atau mungkin media lainnya. Tentu, beribadah di tanah suci adalah impian setiap umat Muslim. Ketenangan saat beribadah tanpa terganggu dengan urusan–urusan lain, mengadu dan berserah diri kepada Allah dengan khidmat, terlebih lagi pahala beribadah yang dilipat gandakan dibanding tempat lain, hal ini menjadi alasan kuatnya keinginan untuk pergi beribadah ke tanah suci.

Lantaran padatnya jamaah yang begitu bersemangat dan berlomba-lomba dalam beribadah selama di tanah suci Makkah maupun Madinah, menimbulkan banyaknya jamaah yang jatuh sakit hingga jamaah yang meninggal dunia. Maka dari itu, shalat jenazah menjadi hal yang biasa dilakukan hampir di setiap usai shalat fardhu baik di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi. Muadzin biasanya menyerukan kepada jamaah untuk sholat jenazah begitu shalat fardhu selesai dilaksanakan.

Seruan muadzin ini terkadang berbeda, karena menyesuaikan dengan jenazah yang akan dishalatkan, jika dikatakan Ashshalaatu `alal mayyiti maka artinya seruan untuk shalat jenazah bagi mayat laki-laki, jika dikatakan Ashshalaatu `alal mayyitati maka artinya seruan untuk shalat jenazah bagi mayat perempuan, jika dikatakan Ashshalaatu `alat thifli maka artinya seruan untuk shalat jenazah bagi mayat anak-anak, sedangkan jika dikatakan Ashshalaatu `alal amwat maka artinya seruan untuk shalat jenazah bagi mayat yang berjumlah banyak.

Berawal dari pengalaman pribadi saat akan  melaksanakan shalat jenazah usai shalat Ashar di Masjidil Haram. Saat itu muadzin telah melakukan panggilan untuk shalat jenazah, tetapi saat telah berdiri untuk melakukan shalat, masih terlihat beberapa jamaah yang tidak berdiri untuk melaksanakan shalat jenazah. Saat ditanya, mereka mengatakan bahwasannya tidak boleh melaksanakan shalat usai shalat Ashar dan shalat Subuh. Dari sini bisa ditangkap bahwa ternyata masih banyak orang-orang awam yang belum mengetahui ketentuan-ketentuan mengenai shalat di waktu terlarang.

Majalah Tebuireng

Dalam hal ini, para ulama mengatakan ada beberapa waktu terlarang untuk mengerjakan shalat, waktu-waktu tersebut antara lain:

  1. Dari setelah shalat Subuh sampai matahari terbit.

Yaitu saat matahari terlihat sedang proses terbit di ufuk timur.

  1. Dari matahari terbit sampai matahari agak meninggi.

Dimulai dari setelah shalat Subuh, tidak ada shalat sunnah yang dilakukan sampai waktu yang diperbolehkan untuk shalat. Yaitu setelah matahari terbit dan agak meninggi setinggi satu tombak. Jika dikira-kira dengan waktu yaitu sekitar 15 menit setelah matahari terbit.

  1. Ketika matahari tepat diatas kepala (waktu istiwa`).

Yaitu saat matahari tepat diatas kepala, tidak condong ke arah timur ataupun ke arah barat hingga matahari tergelincir ke arah barat.

  1. Dari setelah shalat Ashar hingga matahari mulai tenggelam.

Yaitu setelah shalat ashar sampai ketika matahari menguning.

  1. Dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna

Yaitu saat matahari menguning hingga matahari tenggelam sempurna, yakni memasuki waktu maghrib.[1]

Adanya penetapan larangan untuk mengerjakan shalat pada waktu-waktu tersebut adalah berdasarkan dalil-dalil hadits sebagai berikut:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ, وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ.(رواه البخري و المسلم)

“Tidak ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ  نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْـلُعَ الشَّمْسُ.(رواه مسلم)

“Dari Abu Hurairah R.A, sesungguhnya Nabi SAW melarang shalat setelah Ashar sampai matahari tenggelam, dan setelah shalat Subuh sampai terbit matahari.” (H.R. Muslim)

عَنْ عُقْبَةَ ابْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللّهِ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ  أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ. وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ. وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ.(رواه مسلم)

“Dari `Uqbah bin Amir berkata: ada tiga waktu yang Rasulullah SAW melarang kami untuk melakukan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami di tiga waktu tersebut, yaitu ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit sampai matahari tergelincir dan ketika matahari akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.” (H.R. Muslim)

Para ulama berselisih pendapat mengenai larangan shalat pada waktu–waktu tersebut. Dalam hal ini, kalangan ulama madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah menyatakan bahwa larangan shalat sebagaimana yang sudah disebutkan di atas berlaku untuk semua shalat sunah terkecuali shalat sunah qadla. Mereka berpegangan pada dalil hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sebagai berikut:

وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، صَلَّى النَّبِيُّ ص. م. بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَقَالَ: شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ

“Kuraib berkata, dari Ummu Salamah ra: ‘Nabi SAW mengerjakan shalat setelah Ashar sebanyak dua raka`at. Kemudian beliau bersabda: ‘Orang–orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua raka`at setelah Dzuhur.’”

Berbeda halnya dengan kalangan ulama madzhab Syafi`iyyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa larangan di atas hanya berlaku untuk shalat sunah yang tidak mempunyai sebab. Jika memiliki sebab seperti shalat jenazah, shalat gerhana, shalat sunah selesai wudhu, shalat tahiyyatul masjid bagi orang yang baru memasuki masjid, dan semisalnya maka diperbolehkan. Adapun pendapat ini adalah berdasarkan dalil–dalil hadits sebagai berikut:

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا إِلاَّ ذلِكَ. (متفق عليه)

“Barang siapa lupa terhadap suatu shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ingat. Tidak ada kaffarat baginya kecuali (shalat) itu.” (Muttafaqun `Alaih)

مَا مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِل بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ (رواه مسلم)

“Tidaklah seseorang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu shalat dua rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan wajib baginya (mendapatkan) syurga.” (H.R Muslim)

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ. (متفق عليه)

“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk hingga shalat dua raka`at.” (Muttafaqun `Alaih)

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum shalat jenazah yang dilakukan di waktu terlarang adalah boleh dan bukan termasuk shalat yang dilarang karena dzawat asbab (memiliki sebab). Namun jika matahari sudah menguning, maka alangkah baiknya ditunda hingga matahari tenggelam. Kecuali jika ada sesuatu yang mendesak. Hal ini dilakukan untuk keluar dari khilaf.

Adapun larangan shalat sebagaimana yang sudah diterangkan, tidak berlaku saat kita sedang berada di Masjidil Haram. Hal ini didasarkan pada dalil hadits sebagai berikut:

عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، أَنَّ النَّبِيَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ! لاَ تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ. (رواه الترمذي)

“Dari Jubair bin Muth`im, bahwasannya Nabi SAW bersabda: ‘Wahai Bani Abdi Manaf! Jangan kalian melarang siapapun untuk thawaf di Baitullah ini, dan melaksanakan shalat di waktu kapanpun yang dia kehendaki siang maupun malam.”  (H.R. Turmudzi, 868) [2].

Imam Turmudzi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat setelah shalat Ashar dan setelah shalat Subuh di Makkah. Sebagian ulama mengatakan tidak mengapa shalat dan Thawaf setelah Ashar dan setelah Subuh. Dan ini adalah pendapat Syafi`i, Ahmad, dan Ishaq. Mereka berpegangan dengan dalil hadits di atas.

Imam Turmudzi melanjutkan, dan sebagian ulama mengatakan, jika seseorang Thawaf setelah Ashar, maka tidak melakukan shalat sampai matahari terbenam (waktu maghrib). Begitupun seseorang yang Thawaf setelah Subuh, maka tidak melakukan shalat sampai matahari terbit. Mereka berpegangan dengan dalil hadits Umar, bahwasannya beliau Thawaf setelah shalat Subuh dan tidak langsung melakukan shalat hingga beliau keluar dari Makkah kemudian singgah di Dzi Thuwa dan shalat setelah matahari terbit. Ini adalah perkataan Sufyan Ats-Tsauri dan Malik bin Anas. (Al-Jaami`u As-Shahih Sunan At-Turmudzi, 7 (42): 868)

Imam Syafi`i mengatakan dalam Al – Majmu` Syarh Muhadzab, 4: 179:

قال أصحابنا: لا تكره الصلاة بمكة في هذه الأوقات، سواء في ذلك صلاة الطواف وغيرها، هذا هو الصحيح المشهور عندهم

“Ulama madzhab kami mengatakan: tidak makruh shalat di Makkah di waktu–waktu ini (waktu terlarang shalat), baik shalat sunah Thawaf ataupun yang lainnya. Ini adalah pendapat yang benar dan masyhur dalam madzhab Syafi`iyyah.”

Dengan begitu hukum ini hanya berlaku khusus untuk Masjidil Haram dan tidak berlaku bagi masjid lainnya, termasuk Masjid Nabawi. Kemungkinan tidak adanya pelarangan waktu di Masjidil Haram ini dikarenakan nilai shalat di tempat ini berbeda dengan di tempat lain, terlebih lagi Makkah adalah tempat yang disucikan, dan juga untuk menambah kemuliaan dan keutamaan kota Makkah.

Lantas bagaimana dengan shalat sunah di Raudhoh pada waktu terlarang? Karena selama ini banyak para jamaah setelah melakukan shalat Subuh atau Ashar langsung antri di Raudhoh dan melakukan shalat sunah di sana, apakah boleh? Hukum shalat di Raudhoh pada waktu terlarang tetap tidak diperbolehkan, dan tidak ditemukan hadits Rasulullah yang membolehkan dalam hal ini sebagaimana pembolehan di Masjidil Haram (hadits Rasulullah dari Jabir bin Muth`im). Pun pada hakikatnya Raudhoh adalah Masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasulullah SAW, dan Masjid Nabawi sama halnya dengan masjid yang lain, yang membedakan hanya saja masalah keutamaan. Akan tetapi, keutamaan Raudhoh tidak dijadikan sebagai sebab diperbolehkannnya shalat di waktu terlarang. Berbeda halnya dengan shalat jenazah yang seringkali dilakukan setiap usai shalat fardhu (termasuk usai subuh dan ashar), maka ini diperbolehkan karena dzawat asbab (memiliki sebab).

Jika pada saat masuk Masjid Nabawi belum melakukan shalat dan langsung ke Raudhoh yang mana pada saat itu memasuki waktu terlarang shalat, maka di perbolehkan untuk shalat sunah tahiyyatul masjid karena shalat ini adalah shalat yang dzawat asbab (memiliki sebab). Tetapi jika saat masuk masjid sudah melaksanakan shalat kemudian ke Raudhoh, maka bisa melakukan ibadah selain shalat, seperti berdzikir, berdoa, dan yang lainnya.

Dari penjelasan di atas, diharapkan para jamaah haji atau umroh tidak lagi bingung mengenai shalat jenazah yang seringkali dilakukan baik di Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi. Justru hendaknya para jamaah mengikuti shalat jenazah tersebut mengingat banyaknya keutamaan. Selain kenikmatan bagi mayat, menyalatkan jenazah juga akan mendapatkan pahala. Di antara keutamaan menyalatkan jenazah disebutkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ص. م. : مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا، فَلَهُ قِيْرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ، فَلَهُ قِيْرَاطَانِ. قِيْلَ: وَمَا القِيْرَاطَانِ؟. قَالَ: مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيْمَيْنِ. (رواه المسلم)

“Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa menyaksikan jenazah sampai menshalatkannya, maka baginya satu qirath. Dan barang siapa yang menyaksikan jenazah hingga dimakamkan, maka baginya dua qirath’. Rasulullah ditanya: apa itu dua qirath?. Beliau menjawab: ‘Seperti dua gunung yang besar’. ” (H.R. Muslim, 17: 948) [3]

Wallahu A`lam bisshowab.


* Mahasiswi Jurusan PAI Angkatan 2015, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.


Referensi:

[1] Taudhi` Al-Ahkam Min Bulugh Al-Maram, hlm. 498

[2] Al-Jaami` As-Shahih Sunan At-Turmudzi, 7: 868

[3] Mukhtashor Shohih Al-Imam Muslim, 17: 948