Oleh : Fitrianti Mariam Hakim*

Tarik menarik Hisab-Rukyah ternyata meminta ‘korban’. Paling tidak, di beberapa daerah, persoalan dua “ied telah menyulut api perbedaan. Sebenarnya bagaimana sih perspektif fikih itu?

Lengkingan suara takbir masih terngiang. Ia menyisakan seribu kenangan pahit. Kenangan tentang bangsa kita yang menghadapi lonjakan harga di tengah kemenangan sejati. Kemenangan yang mengantarkan kita ke pangkuan dewi kesucian. Kecusian Idul Fitri. Tentu banyak cerita tentang suka duka lebaran. Apalagi kali ini sempat diwarnai beberapa isu. Syukurlah semua telah berlalu. Dan kitapun telah lupa, apa arti Idul Fitri buat kita sendiri.

Yang akan kita bahas kali ini, adalah lebaran. Lebaran dua kali. Kalau di tarik-menarik rukyah-hisab barang kali tidak menarik lagi. mengapa? Karena sering terjadi. Dan seperti biasanya, penganut keduanya sama-sama merasa benar. Tapi cerita ini sungguh lain, ada seseorang yang masih berpuasa. Akan tetapi, karena lingkungannya sudah berhari raya, akhirnya ia ikut sholat ied juga. Nah, besoknya, ia sholat ‘ied kembali.

Nah, dari kisah tadi, timbul pertanyaan yang cukup menarik. Bolehkah sholat ied dua kali? Jika boleh, apa persyaratannya? Jika tidak boleh, lha wong sunnah saja kok dilarang?

Majalah Tebuireng

Pertama-tama, marilah kita lihat kerangka bangunan Ushul Fikihnya. Menurut logika ushul, ditinjau dari sisi waktu, pelaksanaan ibadah bisa jadi dilaksanakan secara ada’, qadla, atau i’adah. Disebut ada’, jika seluruh prosesi ibadah berada dalam waktu yang telah ditentukan. Jika sudah di luar waktu disebut qadla. Sedang yang disebut i’adah adalah pengulangan pelaksanaan ibadah yang telah dilakukan lantaran ada cacat atau uzur. Termasuk kategori cacat adalah ditinggalkannya syarat, rukun, atau ditinggalkannya syarat, rukun, atau ketinggalan berjamaah. Sedang persyaratan i’adah adalah harus masih dalam batas waktu, bukan di lar waktu seperti qadha’. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Jam’u Jawami’ juz 1 halaman 117.

Maka, dengan paradigma ini kita tahu, bahwa kasus pertama, jelas tidak masuk hitungan ibadah, baik ada’, qadha’, atau i’adah karena dilakukan sebelum waktunya, sebab waktu itu ia sedang berpuasa. Ini artinya ia meyakini bahwa saat itu tanggal 30 Ramadhan, bukan 1 Syawal.

Mengapa? Ini terjadi karena sholat ied harus dilakukan pada hari pertama bulan Syawal. Yakni hari pertama ia berbuka setelah sebulan berpuasa. Dalam hadis, Nabi bersabda:

فطركم يوم تفطرون، واضحاكم يوم تضحون وعرفتكم يوم تعرفون

“Hari raya Idul Fitri kalian adalah sewaktu kalian berbuka. Hari Idul Adha kalian adalah sewaktu kalian menyembelih hewan kurban. Dan hari arafah kalian adalah saat kalian wukuf di Arafah”. (H.R. Tirmidzi)

Benar, Hari Raya adalah saat kita berbuka. Tetapi kapan? Dan dengan standar apa 1 Syawal bisa ditentukan? Dalam sejarah fikih, paling tidak ada 3 cara untuk menentukannya. Pertama, istikmal (menyempurnakan Ramadhan 30 hari). cara ini dilakukan ketika cuaca diselimuti mendung dan tak memungkinkan rukyah. Kedua, dengan rukyah. Yakni dengan melihat langsung bulan. Ketiga, dengan hisab Qothi’i (menggunakan kalkulasi astronomis).

Jika sadar yang digunakan adalah istikmal, maka persoalannya menjadi ramping. Sebab tanggal 1 Syawal pasti bersamaan, kecuali jika awal puasanya tidak sama.

Apabila dasar yang dipakai adalah hisab qath’i, maka persoalannya juga agak sederhana. Sebab biasanya mereka sama dalam kalkulasi. Jika toh berbeda, maka paling banter beda satu hari. karenanya, bagi yang meyakini hari raya sekarang, berarti besok qadha’. Bagi yang meyakini besok, sekarang belum waktunya shalat ied.

Yang paling ruwet adalah jika yang dijadikan standar adalah rukyah. Ketika ini, ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah beda penglihatan. Karena perbedaan ini, hasilnya bisa menjadi fatal. Bahkan bisa lebih dari satu hari, seperti peristiwa kemarin. Ada yang berhari raya Rabu, Kamis, dan Jum’at. Semua mengatakan berdasarkan rukyah.

Kemungkinan kedua, lambat informasi. Misalnya pada malam Kamis, ada yang melihat bulan. Tetapi karena daerah A terlalu jauh, informasi baru bisa diterima sore hari. jika kasusnya demikian, kapan mereka shalat ied dan kapan mereka berbuka? Lalu, shalatnya qadla atau ada’?

Berbicara tentang keterlambatan informasi, sebenarnya pernah dialami oleh Nabi. Abu Umair bin Anas mengatakan :

غم علينا هلال شوال، فأصحنا صياما، فجاء ركب في أخر النهار فشهدوا انهم رأوا الهلال بالامس فأمر النبي الناس أن يفطروا من يومهم وان يخرجوا غدا لعيدهم

“Posisi bulan pada tanggal 1 Syawal tertutup mendung. Karenanya kita tetap berbuka puasa (dalam rangka istikmal, pnt). Lalu pada sore harinya, ada rombongan yang bersumpah bahwa tadi malam mereka melihat bulan. (melihat kenyataan ini) Rasul kemudian mengeluarkan diktum (pernyataan resmi) untuk menghentikan puasa dan esok harinya melaksanakan shalat ‘ied”. (Hasyiah As-Syarwani, juz 3 halaman 55.

Jadi, dalam kasus terakhir (keterlambatan informasi) seseorang harus berbuka saat itu juga. Sedang shalatnya di qadla besok harinya. Itupun juka informasi yang diterima setelah tergelincirnya matahari (zawwal). Jika informasi diterima sebelum itu, maka saat itu juga mereka harus berbuka dan bergegas untuk shalat secara ada’. (Tuhfah al-Muhtaj, juz 3 halaman 54-55)

Kembali ke persoalan inti, yakni melaksanakan ied dua kali, bagaimana statusnya? Dalam paradigma fikih, persoalan ini tidak ditentukan. Kasus ini tidak bisa dihukumi i’adah (mengulang). Karena sudah di luar waktu. Juga tidak bisa dihukumi qadla’ karena kemarin ia telah melaksanakan shalat ied secara sah. Untuk itulah, minimal pelaksanaan shalat kedua ini berstatus La Yambaghi (tidak semestinya), bisa makruh bisa haram.

Kesimpulan ini (terpaksa) diambil, karena dalam shalat, ibadah kita terikat dengan juklak syara’. Seseorang tidak boleh menciptakan model ibadah sendiri tanpa bimbingan agama, semua harus berpatokan dengan aturan syariat yang sudah ditentukan.

Muhammad Alawi al-Maliki mengatakan :

ان الله سبحانه وتعالى لا يعبد الا بما شرع ولذالك كانت العبادات كلها توقيفية لا تعلم الا من جهة الله تعالي

Allah ta’ala tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang telah diatur oleh Syara’. Karena itulah, seluruh praktek ibadah merupakan tauqifi  (juklak agama) yang tidak bisa diketahui kecuai dengan petunjuk-Nya sendiri. (Mafhumal-Tathawwur wa al-Tajdid halaman 21)

Imam Syafi’i dalam al Umm menyebut:

Namun demikian, tidak semua shalat ied dua kali salah. Malah ada yang dianjurkan. Yakni ketika terjadi syubhah ar-rukyah (kekaburan rukyah). Misalnya begini, ada seseorang yakin melihat bulan, sayangnya ia tidak mungkin bersaksi, karena validitas dan kredibilitasnya diragukan. Karenanya, secara pribadi ia wajib berbuka (lantaran secara pribadi ia yakin bahwa saat itu tanggal 1 Syawwal) dan untuk selanjutnya salat ‘ied sendirian. Esok, ketika masyarakat melaksanakan ‘ied berjamaah, ia boleh ikut kembali. (Al-Umm, juz 1 halaman 263)

Shalat ied dua kali, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur memang akan selalu terjadi di tahun mendatang. Ini karena penentuan 1 Syawwal tidak pernah ada kata sepakat. Ada yang pakai hisab ada yang pakai rukyah. Jika ini terus berlanjut maka shalat ‘ied dua kali akan terus ada sekalipun di atas telah dinyatakan “keliru”.

Barangkali, untuk mengatakan masalah ini kita perlu menyepakati 1 syawal dan 1 Ramadan. Ini bukan berarti menafikan rukyah. Hanya, rukyah itu dhanny (buktinya masing-masing orang berbeda), sedang hisab itu Qath’i. Logikanya, yang dhanny berbeda dengan yang Qath’i. Imam as-Subkhi mengatakan:

Apabila ada satu atau dua orang mengaku melihat bulan, tetapi hisab mengatakan tidak mungkin dilihat, maka kesaksiannya dianjurkan. Sebab hisab berkekuatan qath’i, sedangkan rukyah dhanny. Yang dhanny tidak mungkin mengalahkan qath’i. (Baca : I’anah at-Thalibin juz 2 halaman 216).

Tapi lebih dari itu, jika memang perbedaan sulit untuk dihindari, maka yang perlu diperhatikan adalah upaya saling menghormati dan menghindari provokasi yang berujung pada konflik. Sebab perbedaan ini furuiyyah jangan sampai bak ushuliyah dibela hingga mati-matian. Wallahu a’lam.


*Tim Redaksi Tebuireng Online