Sumber gambar: http://www.pulsk.com

Oleh: Umdatul Fadhilah*

Seperti biasa, siang ini sepulang sekolah aku menemani ayah pergi ke hutan lebat di seberang desa tempatku berteduh, untuk menebang pohon besar lalu dijual oleh ayah yang hasilnya sebagai keperluan kami sekeluarga sehari-hari. Aku sangat bersemangat membantu ayah, dan berharap suatu hari nanti ingin seperti ayah. Karena pekerjaan ini tidak terlalu rumit, dan uangnya pun banyak, sekali menjual batang pohon. Kebetulan pohon yang ada di sini mayoritas pohon jati, jadi bila dijual harganya lumayan besar, bagi keluargaku.

“Ayah, suatu hari aku ingin sepertimu!” pintaku, pinta seorang anak kelas enam sekolah dasar yang satu bulan lagi akan menempuh ujian nasional.

“Tidak nak, jangan jadi seperti Ayah, kau harus lebih tinggi lagi dari Ayah. Buat apa Ayah menyekolahkanmu bila nantinya kau menjadi seperti Ayah,” ucap Ayah sambil mengeluarkan gergaji bersiap untuk menebang salah satu pohon jati yang sudah siap ditebang.

“Tapi Ayah, kau menghasilkan banyak uang dengan ini,”  ujarku seraya memelas.

Majalah Tebuireng

“Lihatlah ke sana nak, lihat pohon-pohon besar itu, semakin hari jumlahnya semakin sedikit. Bila kau mengikuti jejakku, akankah pohon itu akan menjamin kebutuhanmu kelak nanti kau dewasa, seiring berjalannya waktu?” ucap Ayah sembari mengelus kepalaku.

“Kalau begitu mengapa Ayah menebang pohon setiap hari, jika Ayah tahu akan risiko yang akan di dapat ?” tanyaku sangat penasaran.

“Nak, hanya ini satu-satunya pekerjaan Ayah. Lagi pula kau tahu sendiri kan, aku ini hanya lulusan sekolah dasar dan mana ada perusahaan yang mau menerimaku, oleh karena itu kau harus sekolah lebih tinggi dariku, karena kau adalah satu-satunya harapanku untuk penghidupan yang lebih baik lagi,” pinta Ayah kepadaku.

“Tapi Ayah… aku sudah bahagia, sudah nyaman dengan kehidupanku yang sekarang. Bersekolah, membantumu, setelah itu bermain bersama teman di lapangan desa kemudian sore hari aku belajar dan malamnya tidur ditemani Ibu yang selalu menceritakan sejarah Indonesia sebelum merdeka kepadaku, seperti dulu Ibu diceritakan oleh nenek yang masa remajanya masih dalam penjajahan Jepang. Bukankah kehidupanku kini sudah jauh lebih baik dari zaman dulu saat masih dijajah? Bukankah kita sudah merdeka? Lalu untuk apa aku bersekolah lebih tinggi darimu, jika sekarang ini sudah nyaman dengan kehidupanku yang sekarang bersamu Ayah dan Ibu, tinggal bertiga di gubuk sederhana bagaikan istana bagiku.” Pintaku panjang, berusaha meyakinkan Ayah, bahwa aku ingin sepertinya.

“Nak, apakah kau tidak ingin mempunyai sebuah kendaraan beroda empat yang di dalamnya terdapat pendingin otomatis?” tanya ayah padaku.

“Mobil maksud Ayah? Tentu saja aku ingin Ayah,” jawabku bersemangat.

“Yasudah mari kita pulang, cuaca mendung dan sepertinya sebentar lagi akan hujan. Nanti sampai rumah langsung mandi dan belajar jangan lupa. Ingat sekolah yang tinggi!” pinta Ayah sambil menepuk bahuku.

Setelah selesai menebang pohon, kami bergegas pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan pulang kami tidak terlalu banyak bercakap seperti tadi di hutan, Ayah berjalan sangat cepat menggandengku karena takut kehujanan, lebih tepatnya takut aku sakit dan tidak masuk sekolah.

Grujug…. Jedar-Jeder. Hujan turun, tepat kami sampai di depan pintu rumah. Ayah bergegas menyuruhku masuk. Hujan yang turun begitu lebat diiringi petir yang menyilaukan mata bila di lihat dari jendela rumah. Dan aku bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Setelah selesai, seperti biasa aku belajar. Keesokan harinya, aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Aku berangkat jalan kaki menyeberang sungai dengan getek yang sudah berlumut namun masih bisa digunakan. Hari ini jam pertama mata pelajaran IPS bab Sejarah sebelum Indonesia merdeka, mata pelajaran favoritku, maka dari itu aku berangkat lebih pagi agar bisa istirahat dulu di kelas karena panjangnya perjalanan dari rumah ke sekolah. Aku sangat bersemangat, ucapan Ayah kemarin membuatku berpikir, dan ingin menjadi seorang Sejarawan. Aku yakin dengan menjadi itu suatu hari aku akan mempunyai sebuah kendaraan beroda empat yang di dalamnya terdapat pendingin otomatis seperti apa yang Ayah katakan. Aku pun selalu mendengarkan dengan serius bila guru Ilmu Pengetahuan Sosial sedang menerangkan.

“Jadi anak-anak, pohon itu sangat penting bagi kehidupan manusia. Coba kalian bayangkan, bila di bumi tempat kita tinggal sudah tidak ada pohon satupun. Lebih jelasnya bayangkan bila tidak ada pohon di sekitar lapangan desamu. Tentu kalian akan kesulitan bukan untuk mencari tempat berteduh bila hujan ataupun panas. Dan kulit kalian semakin hari akan gosong bukan. Apa itu tidak menyeramkan?” ucap bu guru sembari memperagakan apa yang diterangkannya tadi.

“Tapi bu, itu pekerjaan Ayahku sehari-hari. Lalu aku harus bagaimana?” tanyaku di sela-sela jeda yang di berikan bu guru.

“Pertanyaan yang sangat bagus Radit, Ibu tahu solusinya, kau kan kreatif, kau jago menggambar bukan? Megapa kau tidak memanfaatkannya?” ucap ibu guru tersenyum manis kepadaku.

Teeettttt,… bel pulang berbunyi, semua murid bergegas pulang, berlarian keluar kelas dan hanya diriku yang masih duduk sendiri di dalam kelas. “Radit, mengapa kamu masih duduk? Kau tidak ingin pulang?” tanya ibu guru yang tadi mengajar.

“Aku bingung, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk Ayahku dengan bakatku seperti apa yang dikatakanmu bu,” pintaku pada bu guru.

Lalu ibu Jasmin guru IPS-ku memberikan buku kepadaku yang berjudul Kreatif Dengan Kerajinan Kayu.

“Pelajari ini setelah ujian nasional. Ibu yakin kamu bisa, karena biasanya orang yang pandai menggambar itu pandai berimajinasi dan tentu saja ia kreatif bukan?” ucap Ibu Jasmin sambil megelus kepalaku.

”Ya sekarang aku tahu bu! Terima kasih bu, Sekarang aku mau pulang.” Kami pun  segera meninggalkan ruang kelas. Sampai di rumah seperti biasa aku membantu Ayah. Begitulah setiap hari, hingga UN tiba. Ayah menyuruhku selama UN jangan membantunya dulu.

***

Hari Ujian Nasional telah selesai, perjuangan untuk masa yang lebih indah sudah di depan mata. Sembari menunggu pengunguman hasil Ujian Nasional. Aku mempelajari buku yang diberikan Ibu Jasmin, aku mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Bab per bab aku kuasai.

“Radit, mengapa kau baca buku yang bukan buku pelajaran? walupun Ujian Nasional sudah selesai kau harus belajar untuk mengikuti tes masuk di SMP favorit di kota sana. Ibu ingin sekali kau bersekolah di sana, Aku yakin di sana terdapat pengajar yang handal, walaupun kau selalu peringkat satu di kelas belum tentu, kau bisa masuk ke sekolah itu. Kebanyakan yang sekolah di sana itu anak  para pejabat. Kalau kau bisa masuk ke sekolah itu, perjalananmu selanjutnya akan lebih mudah karena akreditasi sekolah itu sangat bagus.” Pinta Ibu, sambil menyetrika baju Ayah.

“Akan aku usahakan bu, doakan saja. Nanti Ibu juga tahu apa alasanku membaca buku ini,” jawabku meyakinkan Ibu.

“Ingat! Jangan membaca buku yang tidak ada gunanya Radit!” Celoteh Ayah dari kamarnya.

“Ibu selalu mendoakanmu nak,” ucap Ibu, lalu menghampiriku dan memelukku dengan kasihnya yang begitu dalam. Hingga aku tak tahu dengan cara apa aku harus membalas kebaikannya. Aku pun membalas pelukan Ibu dan mengiyakan perkataan Ayah. Walupun sebenarnya di dalam hati aku berpikir, bukankah mereka menulis buku untuk membagikan ilmu pengetahuannya? Seperti di dalam buku yang bu Jasmin berikan kepadaku. Terdapat seorang penjahit yang karena mempelari teknik, dan cara agar menjadi desainer hebat. Dengan seribu kata atau buku yang ia baca, bisa membuatnya menjadi desainer hebat seperti sekarang ini. Tentu saja itu tidak mudah. Tidak segampang rangkaian kata yang ada di dalam buku itu. Butuh proses, perjuangan dan tentunya waktu. Aku pun membayangkan diriku yang habis di tegur ibu, Aku berpikir itu salah satu kendala yang aku hadapi, ujian masuk sekolah baru pun termasuk kendala. Jadi hal-hal kecil yang ada di sekitar kita ternyata bisa menjadi kendala dalam melakukan suatu hal untuk mencapai sebuah kesuksesan. Aku pun mulai berpikir. Dan memutuskan membagi waktu dengan mengorbankan waktu bermainku, untuk mempelajari buku dari Bu Jasmin, dan sore hari menjelang malam untuk belajar  supaya bisa masuk sekolah  favorit yang  Ibu maksud.

Satu bulan berlalu. Hari ini adalah hari pengunguman kelulusan ujian nasional yang di sekolahku. Seperti pada umumnya, aku pun takut. Walupun kata Ibu guru aku di jamin lulus karena prestasiku selama enam tahun ini, tapi aku tetap takut. Namaku dipanggil, Ayah yang kala itu mengambil surat kelulusan hanya diam sembari membuka surat kelulusanku sambil memandangi nilai ujianku. Aku yang belum melihat hasilnya tentu  saja sangat penasaran. Tapi Ayah tetap diam dan segera mengajakku pulang. Ibu guru mengatakan agar aku tetap bersemangat. Aku jadi semakin penasaran. Sesampai rumah Ayah tetap diam lalu memanggil Ibu. Dan memperlihatkan surat kelulusanku pada Ibu.

“Radit, jangan-jangan gara-gara buku itu peringkatmu turun,” ucap Ibu sambil menunjuk ke arahku.

“Apa Ayah bilang, jangan membaca buku yang tidak ada manfaatnya!” tambah Ayah. “Lalu kalau sudah begini apa kau bisa masuk di SMP favorit itu?!” tegas Ibu.

Kemudian Ibu dan Ayah meninggalkanku sendiri di ruang tengah. Aku pun hanya diam dan berlari menuju kamar. Aku sangat sedih mendengar ucapan mereka. Setelah ku lihat hasilnya, menurutku ini tidak terlalu jelek. Rata-ratanya pun 9,5. Hanya karena masalah peringkat. Memang dari kelas satu hingga kelas enam semester satu aku selalu peringkat pertama. Mungkin mereka kecewa karena diakhir sekolah peringkatku turun satu langkah.  Tetapi semua itu tidak menurunkan semangatku untuk menjadi kreatif demi melestarikan paru-paru dunia. Aku yakin dengan aku mempelajari buku yang Ibu Jasmin berikan akan mengubah segalanya bila aku bersungguh-sungguh.

Ujian masuk sekolah menengah pertama satu minggu lagi. Hatiku yang masih sedih pun tetap belajar, untuk membuktikan kepada kedua orangtuaku, bahwa aku pasti bisa masuk ke sekolah itu.

Satu minggu kemudian. Ayah yang sedikit kecewa dengan peringkatku tetap mengantarku tes dengan sepeda ontelnya. Jaraknya cukup jauh. Butuh waktu satu jam lebih untuk sampai di tempat tes. Dan aku mengambil hikmah dari peristiwa ini. Sekecewa-kecewanya orangtua kepada anaknya, ia tetap tidak tega melihat anaknya kesusahan. Aku pun tersenyum terharu dari belakang. Sesampainya di tempat tes aku bersiap-siap masuk kelas karena lima menit lagi dimulai.

Oh tidak, ditengah-tengah mengerjakan soal pensilku  kendor dan hampir patah. Aku sangat ketakutan. Apalagi ini menggunakan sistem komputer, yang mana bila kurang dalam menghitamkan jawaban, maka tidak akan terbaca oleh komputer. Aku pun berusaha menenangkan diri agar tidak gugup. Setelah ujian selesai aku bergegas menghampiri Ayah. Tetapi aku tidak mengatakan bahwa tadi ada sedikit kendala. Aku takut  Ayah khawatir. Kami pun pulang menuju rumah. Satu minggu berlalu. Aku yang sedang mengotak atik-atik kayu yang kemarin baru saja Ayah tebang, tiba-tiba dikagetkan oleh suara Ayah yang baru pulang mengambil hasil tes masuk SMP. Aku segera menutup telinga, takut-takut dimarahi lagi.

Dugaanku salah. Ayah menggendongku dan memelukku erat-erat. Ibu pun menangis bahagia. Tidak menyangka aku lolos masuk ke sekolah itu dan yang lebih mengejutkan lagi adalah nilai tes-ku berada diperingkat pertama dari  seribu siswa yang mendaftar di sekolah itu. Dan aku mendapatkan beasiswa di sekolah itu karena nilai raportku yang cukup bagus ditambah rata-rata nilai ujian nasional.

***

“Apa yang kau lakukan dengan kayu-kayu Ayah Radit?!” tanya Ayah dengan nada sedikit marah.

“Tenang dulu Ayah, aku bisa jelaskan semuanya.” Aku pun menjelaskan semuanya pada Ayah. Ayah begitu pengertian.

Aku pun mengutarakan semuanya kepada Ayah. Jika setiap hari pohon jati yang besar itu di tebang lalu dijual, tentu suatu hari nanti akan habis. Tapi jika menebang pohon itu sebulan atau dua bulan bahkan satu tahun sekali itu bisa menjaga kelestarian paru-paru dunia. Aku pun memulai membuat kerajinan kapal laut dengan kayu jati bersama Ayah. Kerajinan ini, jika sudah jadi, bila dijual harganya sangat mahal. Apalagi kayunya kayu jati. Tetapi tiba-tiba aku berpikir.

“Ayah, aku lupa. Aku tidak tahu, kepada siapa kita akan menjual kerajinan ini,” tanyaku khawatir.

“Kau ini bagaimana sih. Jual saja kepada teman-teman barumu, yang orangtuanya beruang. Bukankah sekolahmu mayoritas anak-anaknya dari konglomerat semua?” jawab Ayah sambil mengecet  miniatur kapal laut yang hampir jadi.

Detik demi detik dilalui, hari demi hari di lewati, minggu demi minggu, bulan demi bulan terlewati, hingga satu tahun kemudian. Aku dan Ayah sukses menjual miniatur yang kami buat. Tentunya tidak semulus tangan artis iklan hanbodylotion. Ayah sekarang bisa membeli sepeda motor, dan aku dibelikan sepeda gunung yang dulu sangat aku impikan. Aku pun menjelaskan bahwa aku mempunyai ide tersebut, dari buku yang di berikan bu Jasmin satu tahun lalu. Yang waktu aku membacanya kedua orangtuaku bisa dibilang memarahiku. Dan sekarang Ayah dan Ibu mengerti. Jadi dari buku yang berisi seribu kata dan teori menjadi kreatif, begitu bermanfaat bila kita berkenan membacanya, dan menerapkannya untuk si batang gondrong atau  pohon besar berdaun lebat.  

*Penulis adalah Mahasiswa Unhasy, sedang nyantri di Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.