ilustrasi haji (dok. istimewa)

Oleh: Wafiq Kamilatul Lailiyah

Bulan Dzulqa’dah yang identik dengan keberangkatan jamaah haji selalu riuh dengan berbagai kegiatan yang menjadi tradisi  masyarakat di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Kegiatan rutin yang merupakan rangkaian manasik yang dilaksanakan oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji, selamatan sebelum haji oleh para jamaah dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya hingga pada akhirnya pelepasan jamaah haji dengan diantarkan oleh keluarga dan para tetangga yang dikoordinir oleh pemerintah Kabupaten/ Kota.

Terkait dengan selamatan sebelum haji, tentu ini menjadi hal yang seringkali dikaitkan dengan bid’ah karena merupakan hal baru yang belum ada pada zaman nabi dan bukan ajaran Islam. Namun apakah asumsi itu benar?, lantas tidak bolehkah kita melakukannnya sebab itu dianggap hal yang sia-sia sebab tidak sesuai dengan Sunnah Nabi?

Sebelum membahas tentang selamatan sebelum haji, mari kita bahas apa yang sebenarnya dimaksud dengan bid’ah? Apakah semua bid’ah  tidak boleh kita lakukan?

Bid’ah secara bahasa berarti semua hal yang baru. Sedangkan menurut syara’ bid’ah adalah melakukan sesuatu yang baru dalam agama, seakan-akan sesuai itu berasal dari agama, padahal bukan dari agama. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW

Majalah Tebuireng

من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد

رواه الشيخان وابو داود وابن ماجه عن عائشة رضي الله عنها

“Barangsiapa yang melakukan hal-hal yang baru dalam agama kita sesuatu yang bukan agama, maka hal itu ditolak.” (HR. Bukhari Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Aisyah Radhiallahu Anha)

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa suatu hal baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Al-Hadits, ataupun atsarus sahabah disebut dengan  bid’ah  dhalalah, sedangkan hal baru yang merupakan perbuatan baik yang tidak bertentangan sama sekali dengan dalil-dalil tersebut dikategorikan sebagai bid’ah mahmudah.

Izzuddin bin Abdis Salam berkata: “Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Beliau dan ulama-ulama yang lain  seperti Imam Nawawi dan Ibnu Atsir membagi bid’ah menjadi 5 bagian:

  1. Wajibah, seperti menolak pendapat golongan yang menyimpang, mempelajari ilmu nahwu, dan penulisan ilmu-ilmu syariat
  2. Mandubah, seperti mendirikan pondok dan madrasah, adzan di atas mimbar, dan melakukan perbuatan baik yang belum pernah ada sebelumnya pada masa Nabi Muhammad SAW
  3. Makruhah, seperti menghiasi masjid dan mewarnai mushaf dengan aneka warna
  4. Mubahah, seperti menggunakan ayakan tepung, membuat makanan dan minuman dengan leluasa, bersalaman setelah shalat, dan lain-lain
  5. Muharramah, suatu hal baru yang bertentangan dengan sunnah rasul dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’i secara umum, serta tidak mengandung kemaslahatan syar’i. Seperti madzhab al-Qadariyyah, al-Jabariyyah, dan al-Mujassimah.[1]

Selamatan haji sering disebut dengan istilah walimatus safar. Istilah ini memang jarang ditemukan dalam literatur fikih. Tapi sebenarnya ada istilah yang hampir mirip, yaitu naqi’ah. Hanya saja, istilah naqi’ah secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan musafir, terutama yang balik dari perjalanan jauh semisal haji. Masyarakat menyambutnya dengan mengadakan walimah atau acara makan-makan. Naqi’ah ini bisa diadakan oleh musafir itu sendiri atau masyarakat yang menyambutnya.

An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berpendapat:

يستحب النقيعة وهي طعام يعمل لقدوم المسافر ويطلق على ما يعمله المسافر القادم وعلى ما يعمله غيره له

Artinya, “Disunahkan melangsungkan naqi’ah, yaitu makanan yang dihidangkan karena kedatangan musafir, baik disiapkan oleh musafir itu sendiri, atau orang lain untuk menyambut kedatangan musafir.”

Pendapat ini didukung oleh hadis riwayat Jabir bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah selepas pulang dari perjalanan, Beliau menyembelih unta atau sapi (HR Al-Bukhari). Dalil ini memperkuat kesunahan mengadakan selamatan setelah pulang dari perjalanan jauh. Selamatan sebagai bentuk rasa syukur atas diselamatkannya musafir dari bahaya perjalanan.

Demikian pula dengan selamatan sebelum haji. Hukumnya dapat disamakan dengan naqi’ah. Terlebih lagi, substansi acaranya tidak melenceng sedikit pun dari syariat Islam. Di dalamnya terdapat unsur silaturahmi, sedekah, do’a, baca Al-Qur’an, dan lain-lain. Kendati istilah walimah safar jarang ditemukan dalam literatur hadits maupun fikih, bukan berarti mengadakannya dianggap haram atau bid’ah tercela.[2]

Al-ibraru bil musamma, la bil ismi, yang diperhatikan ialah substansi yang dinamai, bukan soal nama itu sendiri. Berdasarkan prinsip ini, yang menjadi acuan dalam menghukumi sebuah perbuatan ialah isi dan substansinya. Selama isi dan substansinya tidak bertentangan dengan syariat Islam, ia diperbolehkan sekalipun istilah atau penamaannya tidak ditemukan di masa Rasulullah.

Terlebih lagi, menurut Madzhab Syafi’i, istilah walimah tidak hanya ditentukan untuk pesta pernikahan. Istilah walimah mencakup semua perayaan yang diselenggarakan lantaran mendapat rezeki yang tidak terduga atau kebahagian tertentu. Maka dari itu, kesunahan mengadakan walimah tidak dibatasi hanya untuk nikah, tapi juga disunahkan pada saat bangun rumah, khitan, pulang dari perjalanan, dan lain-lain. Pendapat ini sebagaimana dikutip Al-Jaziri dalam Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah:

الشافعية قالوا: يسن صنع الطعام والدعوة إليه عند كل حادث سرور، سواء كان للعرس أوللختان أوللقدوم من السفر إلى غير ذلك مما ذكر

Artinya, “Madzhab Syafi’i mengatakan disunahkan menghidangkan makanan dan mengundang orang untuk memakannya pada setiap kejadian yang membahagiakan, baik saat pernikahan, nikah, kedatangan orang dari perjalanan, dan lain-lain.”

Tentu haji adalah hal membahagiakan yang patut disyukuri oleh umat Islam, apalagi yang dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengantre. Sehingga pelaksanaan selamatan sebelum keberangkatan adalah ungkapan syukur jamaah yang hendak melaksanakan haji atas nikmat dan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya dan wujud ikhtiar dan tawakal melalui doa agar selama ibadah di tanah suci diberikan kelancaran serta keselamatan dan kesehatan hingga kembali ke tanah air. Oleh sebab itu, ia tergolong tradisi yang masuk kategori bid’ah namun bukan dholalah (menyesatkan) dan sayyiah (tercela), melainkan bagian dari bid’ah mahmudah (terpuji) dan juga mandubah (dianjurkan).



[1] KH. Moch. Djamaluddin Ahmad, Ahlu As-Sunnah, Ahlu Al-Bid’ah, dan Haflah Maulidiyyah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin, 2013).

[2] Hengki Ferdiansyah, Hukum Selamatan sebelum Haji, (NU Online Jateng, 2016).