Ustadz Hanif Fathoni, menceritakan pengalaman sekaligus pengetahuannya terkait sekolah pertama yang didirikan Syaikh Abdul Qadir Jilani dan bagaimana kurikulum serta pendidikan yang diterapkan.

Oleh: Ustadz Hanif Fathoni*

Setelah mengikuti kegiatan pelatihan GSM (Gerakan Sekolah Menyenangkan) yang diadakan di Pesantren Tebuireng pada tanggal 20-22 Desember 2018 lalu, membuat saya teringat kembali cerita tentang sekolah yang pernah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jilani.  Cerita ini disampaikan oleh Syaikh Fadhil Jilani (cucu ke-25 dari Syaikh Abdul Qadir Jilani) dalam acara Manaqib Kubro di Pesantren Raudhatul Ulum Kencong Pare Kediri, 18 Desember 2018 lalu.

Ketika Syaikh Abdul Qadir diberi amanah sebuah sekolah atau madrasah qadiriyah, beliau membuat tiga aturan. Pertama, sekolah ini untuk semua orang muslim maupun non muslim. Kedua, sekolah ini gratis dan tidak dipungut biaya. Ketiga, semua orang non muslim bebas menjalankan agamanya dan tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam. Aturan ini menandakan bahwa sekolah yang didirikan oleh beliau adalah sekolah yang benar-benar mengedepankan toleransi dan sikap sebagai maincore pendidikannya. 

Awalnya, banyak orang yang mencibir sekolah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir,  dan mencemoohnya karena memang pada zaman tersebut sekolah ini termasuk antimainstream. Pertama kali hanya ada tiga orang saja.  Namun berkat kegigihan beliau tetap meneruskan perjuangannya hingga seiring bertambahnya waktu bertambah menjadi 70.000 an orang. Sekolah tersebut menjadi sekolah maupun perguruan tinggi terbesar pada zaman itu dengan berbagai macam materi pelajaran agama dan umum yang diampu oleh seorang Grand Syaikh (profesor).

Diantara kurikulum yang diterapkan oleh Syaikh Abdul Qadir Jilani adalah kurikulum gabungan pelajaran agama dan pelajaran sains teknologi. Untuk pelajaran agama dilaksanakan pada waktu pagi hari hingga waktu dzuhur, serta diikuti oleh para siswa muslim. Pelajaran agama yang diberikan berkisar tentang ilmu tauhid,  fiqih, tafsir,  hadits maupun akhlak tasawuf. Sedangkan bagi para siswa non muslim,  mereka mendapat pelajaran sains dan teknologi ba’da dzuhur hingga sore hari. Pelajaran yang diberikan adalah astronomi,  ilmu ukur,  arsitektur, dan sebagainya. 

Majalah Tebuireng

Yang menarik dari sekolah ini adalah antara siswa muslim maupun non muslim hidup rukun berdampingan, tanpa ada yang saling mencaci maupun bertikai.  Diantara riwayat cerita yang terjadi,  suatu ketika ada salah seorang siswa non muslim yang menghadap kepada Sang Guru untuk bisa memeluk agama Islam,  kemudian oleh Sang Guru pun ditanya hal berikut ini,  “Adakah diantara murid-murid muslim disini yang membayarmu untuk masuk agama Islam?” Mereka menjawab dengan serentak, “tidak ada wahai guru.” lalu guru bertanya kembali, “Adakah diantara murid-murid muslim disini yang memaksamu atau mengancammu untuk masuk Islam?” dengan serentak sang murid menjawab, “Tidak ada wahai guru,”. Baru setelah jelas tidak ada sama sekali paksaan dan hal-hal yang berkaitan dengannya, Syaikh Abdul Qadir Jilani berkenan untuk mensyahadatkan mereka.  

Dari peristiwa tersebut tampak jelas bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh Syaikh Abdul Qadir adalah sistem pendidikan  berbasis hati dan toleransi tinggi, sehingga hasil yang diharapkan adalah keikhlasan tingkat tinggi dalam menjalankan agama maupun kehidupan ini. Diantara ajaran beliau adalah untuk selalu menjaga prasangka baik kepada siapa pun yang ada.  Disamping itu selalu menjaga etika dan akhlak yang baik dimana pun berada sesuai dengan tatanan dan adat istiadatnya.

Seandainya sekolah zaman sekarang memiliki basis spirit pendidikan semacam ini,  semestinya etika dan karakter bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Disamping itu tentunya murid dengan ruang gembira ke sekolah tanpa paksaan maupun keterpaksaan.

Hal yang patut direnungkan dari apa yang diterapkan oleh Syaikh Abdul Qadir Jilani sebagaimana tercantum dalam adagium bahasa Arab yg cukup dikenal di kalangan pesantren:

الطريقة أهم من المادة؛  والمدرس أهم من الطريقة؛  وروح المدرس أهم من المدرس نفسه.

Metode itu lebih penting daripada materi. Eksistensi guru lebih penting daripada metode. Jiwa spiritualitas sang guru lebih penting dari guru itu sendiri. 

Dapat dipahami bahwa apabila guru memiliki metode mendidik yang baik, maka materi pelajaran akan lebih mudah diterima oleh peserta didik. Metode maupun teknik mendidik yang baik akan muncul ketika sang guru pun berwawasan yang luas dan berkarakter kuat. Semua karakter yang baik tersebut muncul apabila jiwa guru itu baik, atau dengan kata lain guru itu memiliki keikhlasan mendidik yang tinggi.  

Guru tidak akan bisa menjadi baik apabila jiwanya tidak baik, terlalu sering mendapat tekanan sehingga murid pun ikut tertekan. Yang diperlukan adalah proses yang panjang untuk bisa membentuk jiwa guru yang baik dan tidak cukup dengan pelatihan maupun tutorial yang cuma diadakan beberapa hari. Dengan demikian yang diperlukan adalah proses pendidikan bukan hanya pendidikan proses, sehingga pendidikan akan lebih berasa dan berarti.

*Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas.