sumber ilustrasi: liputan6

Oleh: Nur Diansyah*

Puasa merupakan salah satu rukun Islam, semua umat Islam wajib melaksanakan ibadah ini, terkhusus pada bulan Ramadan. Ibadah puasa sangat dianjurkan karena dapat melatih diri untuk menahan hawa nafsu dengan cara tidak makan dan minum dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Jika diamati seolah-olah ibadah puasa ini sangat berat, karena harus menahan lapar dan haus. Akan tetapi kewajiban ini ada sebuah keringanan dari hukum syariat bagi yang tidak mampu melaksanakannya, seperti orang tua yang sudah benar-benar tidak mampu lagi untuk berpuasa, orang musafir, ibu menuyusui yang takut akan anaknya kekurangan gizi dari air ASInya.

Mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan karena memang ada udzur syar’i, tetapi mereka tetap dikenai kewajiban untuk membayar hutang puasa yang ditinggal di bulan Ramadan dan diganti dilain hari.

Akan tetapi apabila orang yang punya hutang puasa dan tidak sesegera mungkin membayar hutang puasanya hingga sampailah dia ke bulan Ramadan berikutnya, lantas apa yang harus ia perbuat dalam permasalahan hutang puasanya?

Majalah Tebuireng

Dalam aturan fikih, seseorang yang meninggalkan puasa dalam kondisi udzur syar’i wajib mengganti puasanya pada hari diluar bulan Ramadan. Akan tetapi apabila ia sampai bulan Ramadan berikutnya masih punya hutang puasa maka ia tetap diwajibkan membayar hutang puasanya setelah bulan Ramadan kedua selesai.

Kemudian ada perbedaan ulama mengenai kewajiban membayar fidyah bagi yang telat membayar hutang puasa sampai datang Ramadan berikutnya, sebagai ada yang mewajibkan mengganti puasanya dan wajib membayar fidyah sebanyak satu mud untuk setiap puasa yang ditinggal.

Ada juga yang berpendapat dua mud bahkan ada juga yang mengatakan tidak usah membayar fidyah cukup membayar hutang puasanya saja.

فَرْعٌ، فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي من أَخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ بِغَيْرِ عُذْرٍ حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرُ

* قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَوْمُ رَمَضَانَ الْحَاضِرِ ثُمَّ يَقْضِي الْأَوَّلَ وَيَلْزَمُهُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ فِدْيَةٌ وَهِيَ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَبِهَذَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَعَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ وَالْقَاسِمُ بْنُ محمد والزهرى والاوزاعي ومالك والثوري واحمد واسحق إلَّا أَنَّ الثَّوْرَيَّ قَالَ الْفِدْيَةُ مُدَّانِ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالْمُزَنِيُّ وَدَاوُد يَقْضِيهِ وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ

[النووي، المجموع شرح المهذب، ٣٦٦/٦]

Cabang, madzhab/pandangan para ulama mengenai orang yang mengakhirkan puasa Ramadan sampai masa Ramadan berikutnya tiba,

Telah disebutkan bahwa ia tetap diwajibkan puasa Ramadan pada saat itu dan membayar hutang puasanya setelah bulan Ramadan selesai. Kemudian membayar fidyah satu mud dari setiap puasa yang ditinggalkannya, ini menurut pendapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Atha’ bin Abi Robah, Qosim bin Muhammad, az-Zuhri, al-Auza’i, Malik, ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, kecuali pendapat dari ats-Tsauri, ia mengatakan kalau fidyahnya dua mud.

Kemudian menurut pendapat Al-Hasan al-Basri, Ibrahim an-Nakhai, Abu Hanifah, al-Muzani dan Daud mereka hanya punya kewajiban membayar hutang puasa saja tanpa membayar fidyah.

Dari beberapa keterangan di atas, kita bisa mengikuti atau mengambil langkah yang akan kita tempuh. Semoga kita dimampukan untuk menuntaskan puasa atau hutang puasa dengan baik dan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan. Waallahu a’lam…

*Mahasantri Mahad Aly Tebuireng.