Workshop pembuatan video bertajuk “Islam dan Hubungan Agama-agama” diikuti 10 Pesantren (15-19/09/2016)

Sudah bukan lagi waktunya santri ketinggalan zaman. Di era globalisasi yang serba digital ini, santri juga diharapkan melek informasi teknologi.

Itulah kiranya yang melatarbelakangi Pusat Studi Pesantren (PSP) untuk mengadakan workshop pembuatan video untuk santri. Setelah sebelumnya berhasil menggelar workshop bertema literasi beberapa bulan lalu di Hotel Yusro, Jombang, kini PSP telah usah menggelar workshop kedua bertajuk “Islam dan Hubungan Agama-agama.” Workshop ini diselenggarakan di Hotel Grand City, Batu, Malang.

Peserta workshop diperkenalkan Islam hingga munculnya paham radikalisme secara runtut oleh Nyai Anisah Mahfud. Nyai Anisah juga memaparkan mengenai isu antaragama di Indonesia. Ia merupakan sosok yang pernah ikut andil di ranah politik pada masa pemerintahan Gus Dur. “Kepentingan siapa yang disuarakan. Kalau di Indonesia ini ya orang itu menyuarakan siapa yang memberi sangu, pesan sponsor. Makanya kalau kita punya LSM atau apa, sponsornya kita cari yang sama dengan misi kita, bukan kita menjadi pesanan, tukang jadinya,” ungkap pengasuh Pondok Pesantren Al-Ishlahiyah Singosari itu menceritakan pengalamannya.

“Dua hal yang dicari oleh manusia, yang terlihat itu berupa kemakmuran dan kerukunan,” ucap KH. M. Dian Nafi membuka materi “Memperkuat Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”, Jumat (16/09/2016). Dari awal ia meninjau gejala kemunduran bangsa-bangsa dan nilai Islam sebagai pembanding. Islam mengajarkan etos kerja bagus, tidak ada kekerasan, pedoman moral tidak kabur, dan hormat pada guru. Kriteria di atas tidak ada pada bangsa-bangsa yang mundur. Tinjauan tafsir surah al Anbiya’ ayat 107 soal lafad rahmatan dari kitab adwa’ul bayan, al bahrul madin, at-tahrir wa tanwir, dan ad-darul mantsur li suyuthi juga membuka wawasan makna rahmat.

Workshop di hari ketiga, Sabtu (17/9) membahas persoalan pesan perdamaian dari pesantren. “Pada dasarnya kita mampu bikin sesuatu, tetapi kita nggak punya karya. Kenapa? Ya mungkin karena kita nggak benar-benar anggap itu penting. Jadi, dua hal yang  menggerakkan orang untuk bikin sesuatu. Kita menyukai dan anggap penting hal itu,” ucap Savic Ali sebagai narasumber workshop hari itu.

Majalah Tebuireng

Direktur NU Online tersebut juga menjelaskan pentingnya dunia digital, terutama audio visual demi efisiensi waktu, tenaga, dan harapan konsumen konten lebih luas untuk transfer ilmu di zaman sekarang. “Kelompok di luar NU lebih mampu memanfaatkan dunia digital ketimbang kita. Padahal orang NU jumlahnya lebih banyak. Membuat media Islam yang kuat, demi dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah itu menjadi fardu kifayah buat generasi muda,” tambah beliau, yang juga jadi playmaker di NUtizen dan Islami.co ini.

Selain kemampuan teknis, dunia digital juga membutuhkan kerjasama tim. Seperti istilah di dunia komputer, untuk menangkal ‘trojan’ kebencian, cara dakwah NU lewat media digital itu seperti memasang firewall atau security system karena pandangan Islam NU itu murni untuk ibadah bukan mempermasalahkan siapa yang benar dan salah.

Pada dua hari terakhir (18-19/09), peserta dibekali kemampuan pembuatan video. Tomy Widiyanto Taslim terlihat tengah menemani para peserta making video mulai dari praktek lapangan, syuting, editing, dan finishing video. Ia juga menambah wawasan soal seluk beluk pembuatan video, macam-macam video, dan proses kerja tim making video. Peserta diupayakan membuat video dengan mengemas tema Islam dan hubungan antaragama, jadi para peserta dihimbau agar dapat menyebarkan energi toleransi dalam kehidupan lebih luas lagi.

Sore harinya, workshop ditutup dan peserta kembali ke pesantren masing-masing. Workshop digelar berlandaskan Islam Nahdlatul Ulama selama tiga hari (15-19 /09/2016). Acara ini diampu oleh sejumlah narasumber aktivis Islam ramah ala NU dan diikuti 20 peserta dari 10 pesantren di Jawa Timur. (Sutan/Fara)