sumber gambar: youtube

Oleh: Dimas Setyawan*

Salah Kaprah Penafsiran Surah QS. Al-Maidah ([5]: 44, 50) Tentang Takfir (Mengkafirkan) Orang yang Tunduk Kepada Konstitusi Negara

اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبّٰنِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًاۗ وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengannya para nabi, yang berserah diri (kepada Allah), memberi putusan atas perkara orang Yahudi. Demikian pula para rabi dan ulama-ulama mereka (juga memberi putusan) sebab mereka diperintahkan (oleh Allah untuk) menjaga kitab Allah dan mereka merupakan saksi-saksi terhadapnya. Oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)

Kajian Tafsir:

  1. Tafsir Al-Aisar: konteks ayat ini membicarakan tentang keadaan Bani Israil, yaitu ketika Allah menceritakan tentang apa-apa yang telah dikaruniakan kepada Bani Israil. Kemudian pada ayat yang berbunyi; “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Perkataan yang tidak mengandung pertentangan adalah seorang muslim yang itu tidak bisa langsung dikatakan kafir hanya karena dia tidak berhukum dengan hukum Allah, mereka hanya digolongkan sebagai orang-orang fasik dari umat Islam. Adapun kekufuran dari mereka ialah ketika mereka mengikari pentujuk Al-Qur’an dan kecocokannya (untuk diterapkan di mana saja dan kapan saja) dengan sikap mereka berpaling dari Al-Qur’an, meremehkannya dan menanggap hukum yang lain lebih dari utama darinya.[1]
  2. Tafsir al-Ahkam: Menurut zahir ayat ini, dengan memerhatikan man (barang siapa) pada kalimat yang mengandung arti untuk umum, tidak tertentu untuk satu golongan saja kecuali ada pengecualiannya, maka nyatalah, bahwa ayat ini bukanlah hanya ditunjukan kepada ahli kitab saja, tetapi juga kepada orang Islam yang telah menerima Al-Qur’an yang diturunkan kepada mereka. Hanya saja yang menjadi soal, apakah hakim-hakim Islam yang tidak menghukum menurut Al-Qur’an menjadi kafir? Seperti makna ayat itu?. Apalagi dia menjadi hakim di negara yang tidak berlaku di sana hukum-hukum Islam.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa hakim yang tidak menghukum dengan hukum Islam karena menganggap hukum Islam itu tidak sempurna atau menanggapnya rendah dan berkurangan, maka barukag dia menjadi kafir. Adapula yang menafsirkan “kafir” dalam ayat ini bukan kafir dalam arti berpindah agama, tapi kafir nikmat.[2]

  1. Tafsir Al-Azhar: Ahbar, kita artikan orang alim. Maka pendeta-pendeta dan orang-orang alim Bani Israil pun meneruskan memegang amanat yang diamanatkan Rasul rasul, bila mana Rasul-rasul dan Nabi-nabi itu tidak ada lagi, supaya mereka pun meneruskan pimpinan terhadap Bani Israil menurut Hukum Taurat, jangan dirubah-rubah. “Dan adalah mereka itu menjadi saksi atasnya. ” Yaitu bahwa orang tua-tua Bani Israil yang hidup di zaman Rasulullah s.a.w. menjadi saksi atas kebenaran hal itu, tidak dapat mereka memungkirinya, karena memang demikianlah halnya. “Maka janganlah kamu takuti manusia, tetapi takutilah Aku.” Nasihat kepada orang-orang Yahudi itu supaya mereka jangan takut kepada ancaman manusia dari kaum mereka sendiri, lalu berusaha menyembunyikan kebenaran Taurat. Tetapi takutlah kepada Allah, yang telah menurunkan Taurat itu untuk petunjuk dan cahaya bagi kamu. “Dan janganlah kau iual ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit.” Karena mengharapkan keuntungan hartabenda, lalu kamu gelapkan kebenaran, kamu perjual belikan Hukum Tuhan, kamu sembunyikan hukum yang sebenarnya. Meskipun berjuta-juta uang yang kamu terima untuk itu, namun dia masih sedikit harganya jika dibandingkan dengan kebenaran yang kamu khianati. ‘Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka adalah mereka itu orang-orang yang kafir.”[3]

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَࣖ

Artinya: Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al-Maidah [5]: 50)

Majalah Tebuireng

Kajian Tafsir

  1. Tafsir Al-Azhar : Buya Hamka dalam menjabarkan pengertian ‘hukum’ di sini adalah hukum Jahiliyah, yang saat ini disebut dengan ‘Hukum Rimba’, yaitu memenangkan yang salah dan mengalahkan yang benar. Bukan berdasarkan atas keadilan, tetapi kekuatan. Selain itu Buya Hamka juga memberikan pertayaan yang disebut tanya batahan (istifham-inkari). Artinya bahwa isi ayat mengandung keheranan mereka mengakui diri beragama Islam, mengikuti Nabi Muhammad, padahal Hukum Jahiliyah? Apakah artinya jadi orang Islam, kalau sembahyang menurut Allah tetapi hukumnya bergantung kepada Jahiliyah?[4]
  2. Tafsir Al-Aisar: ayat ini menjelaskan tentang penolakan Allah terhadap kaum Yahudi untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum jahiliyah, karena hukum itu tidak bersumber dari hukum ilahi, tetapi bersumber dari hawa nafsu dan syahwat semata dan sama sekali bertentangan dengan kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, terutama dari aspek keadilan dan kebijaksanaan. Hal itulah yang disebutkan oleh Allah pada lafadz:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ

 (Afa Hukma) dalam keadaan mansub (dibaca nashab, atau difathah huruf akhirnya dari kata hukma) memiliki arti, apakah mereka lebih memilih hukum Jahiliyah, sedangkan kaum Jahiliyah itu sendiri telah mengubah hukum yang mulia itu menjadi jelek, dan kaum Yahudi iyu hanya menenggakan hukum kepada orang-orang miskin dan lemah serta meninggalkannya pada orang-orang kuat dan kaya?

Pada ayat ini juga Allah menjelaskan kepada orang-orang mukmin yang selalu berkomitmen pada keadilan dan kebijaksanaan Allah, bahwa tidak ada satu jenis hukum pun yang mampu menandingi keadilan dan kebijkasanaan hukum Allah.[5]

  1. TafsirAl-Munir Marah Labib: Ibnu Amir membacanya dengan memakai Ta yakni Tabaguna memakai Ta Khitab. As-sulami membacanya dengan me-rafa’-kan Hukmu karena dianggap sebagai mubtada. Qatadah membacanya Abihukmi dengan memakai Ba sebagai penggati dari Fa. Dan ada pula yang membacanya dengan mem-fathah-kan Fa dan Kaf-nya, yang berarti apakah mereka mencari hakim seperti hakim-hakim pada masa Jahiliyah. Artinya, adakalanya yang dimaksud adalah agama jahiliyah yang selalu memperurutkan kemauan hawa nafsu yang berakhir dengan berbasa-basi dalam humum, dan adakalnya yang dimaskud adalah ahli Jahiliyah.
  2. Tafsir Al-Munir: Ayat ini merupakan cemohaan terhadap kaum Yahudi karena mereka adalah orang-orang Ahlul Kitab dan ahli ilmu, tetapi mereka justru menghendaki hukum dan aturan jahiliyyah yang hanya berdasarkan hawa nafsu dan kebodohan semata tanpa bersumber dari suatu kitab dan tanpa memiliki dasar wahyu Allah.

Diriwayatkan dari Hasan bahwa ayat ini bersifat umum menyangkut setiap orang yang menghendaki selain hukum Allah. Hukum ada dua. Pertama, hukum yang berdasarkan ilmu, ini adalah hukum Allah. Kedua, hukum yang berdasarkan kebodohan, ini adalah hukum setan.[6]

Penjelasan

Penafasiran ayat di atas, tentang seseorang yang tidak mengambil hukum Allah dalam memutuskan suatu perkara apapun itu, tidak lain mereka akan dianggap sebagai mengambil hukum jahiliyah. Sehingga ketika seseorang muslim justru mematuhi hukum atau konsitusi  negara yang bersebarangan dengan nilai-nilai Islam yang telah diwayuhkan oleh Allah, maka hal tersebut adalah hal yang salah.

Pemahaman itulah yang dipahami oleh golongan ektremis yang dengan teguh inging mendirikan negara Islam berbentuk Khilafah. Bagi mereka guna kembali menegakan kembali hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah di dalam kehidupan ini. Allah telah mewajibkan kaum Muslim agar terikat dengan hukum Syara’, menegakkan hukum-hukum yang telah diturunkan-Nya, serta menerapkan Islam secara menyeluruh dalam semua urusan kehidupan. Oleh karena itu, UUD dan undang-undang yang lain harus berupa hukum syara’ yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Mereka juga (golongan Khilafah) beranggapan bahwa hukum-hukum Islam mustahil bisa dijalankan dengan sempurna kecuali dengan adanya Daulah Islamiyah (Negara Islam), dan seorang Khalifah yang akan menerapkan Islam kepada manusia. Sementara, kaum muslimin sejak dihapuskannya Negara Khilafah pada perang dunia pertama, mereka hidup tanpa Negara Islam, dan tanpa hukum Islam. Oleh karena itu, menurut mereka mengembalikan Khilafah, dan penengakan kembali hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dalam realistas kehidupan merupakan suatu keharusan, tidak ada pilihan, dan apalagi keringanan. Sehingga, mengabaikan kewajiban ini termasuk kemaksiatan yang terbesar, dan pelakunya akan disiska oleh Allah dengan siksaan yang paling keras.[7]

Pendapat dan doktrin mereka akan sangat selaras dengan suatu kondisi konsitusi negara  yang mereka anggap tidak dapat melindungi dan menjaga Maqasid Syariat, maka bagi mereka diperbolehkan menentang konsitusi negara tersebut, sebagaimana dalil di bawah ini;

من مقاصد الشريعة التي جاء الإسلام بها حفظ الضروريات الخمس، وهي حفظ الدين، وحفظ النفس العقل، وحفظ العرض، وحفظ المال

Sejatinya konsep negara Khilafah di Negara Indonesia tidaklah baik bila diterapkan. Karena pada hakikatnya negara Indonesia bukanlah negara Darul Islam. Tetapi negara Darusalam yang memiliki asas Pancasila sebagai konsitusi tertinggi dalam tata negara. Sedangkan yang diusung oleh para pendukung negara Khilafah, meningikan Republik Indonesia sebagai negara Islam yang bersistem Khilafah. Menurut Nadirsyah Hosen, tidak wajib untuk mendirikan Khilafah. Justru yang wajib adalah memiliki pemimpin yang dahulu disebut dengan khalifah, yang kini bebas saja bisa disebut kepala suku, presiden, perdana menteri dan lainnya. Sehingga banyak juga pemilintiran seakan-akan para ulama mewajibkan mendirikan khilafah. Padahal arti khilafah dalam teks klasik tidak otomatis bermakna sistem pemerintahan Islam yang dipercayai oleh para pejuang pro-khilafah.[8]

Bila para pejuang pro-khilafah beranggapan bahwa khilafah adalah sistem terbaik dan sempurna sedangkan sistem lainnya (demokrasi, kapitalis, sosialis, dll) adalah buatan manusia dan buruk, maka marilah kita juga melihat bahwa yang disebur sistem khilafah itu sebenarnya sistem yang juga tidak sempurna, karena ia merupakan produk sejarah, ketika beraneka ragam pemikiran dan praktik telah berlangsung. Sayangnya, karena dianggap sudah “sempurna”, maka sistem khilafah itu seolah-olah tidak bisa diferomasi. Padahal, banyak sekali yang justru harus direformasi.

Contohnya, dalam sistem khilafah pemimin itu tidak dibatasi periode jabatan (tenure). Asalkan dia tidak melanggar syariah, dia bisa berkuasa seumur hidup. Dalam sistem demokrasi, hal ini tidak bisa diterima. Meskipun seorang pemimpin tidak punya cacat moral, tapi kekuasaanya dibatasi sampai periode tertentu.

Contohnya lainnya, sistem khilafah selalu mengulang-ulang konsep (al-bay’ah) dan syura. Tapi sayangnya, berhenti saja samapi di situ saja. Dalam tradisi Barat, electoral systems itu diperdebatkan dan terus “disempurnakan” dalam berbagai bentuknya. Dari mulai sistem proporsional, distrik, sampai gabungan keduannya.

Begitu juga dengan sistem parlemen. Dari mulai unicameral sampai bicameral system dibahas habis-habisan, dan diperdebatkan terus berlangsung untuk menentukan sistem mana yang lebih bisa mempresentasikan suara rakyat dan lebih bisa menjamin tegaknya mekanisme check and balances.[9]

Sedangkan dalam sistem khilfah, kita tidak bisa mengevaluasi, dan mengubah sesuatu yang dianggap tidak dapat mewakili suara dan kebutuhan masyarakat. Karena bagi mereka tidak lain dan tidak bukan, sistem khilfah yang dipimpin oleh seorang khlifah atau seorang sultan sudahlah sangat sempurna, serta telah mewakili dari perwujudan nilai-nilai agama


[1] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Aisar” (Jakarta, Darus Sunnah Press) jilid. 2, hal. 669

[2] Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai “Tafsir Al-Ahkam” (Jakarta, Kencana Prenada Media Group) hal. 379-380.

[3] Prof. Dr. Hamka “Tafsir Al-azhar” (Singapura, Pustaka Nasional PTE LTD) Jilid.3, hal. 1745

[4] Prof. Dr. Hamka “Tafsir Al-azhar” (Singapura, Pustaka Nasional PTE LTD) jilid.3, hal. 1759

[5] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Aisar” (Jakarta, Darus Sunnah Press) jilid. 2, hal. 675

[6] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili “Tafsir Al-Munir” (Depok, Gema Insani) hal. 548

[7] Muhammad Muhsin Rodhi “Tsaqofah & Metode Hizbut Tahrir Dalam Mendirikan Khilafah Islamiyah” (Depok Yayasan Sosial & Da’wah Rosyidahtul Ummah) hal. 35-36

[8] Nadirsyah Hosen “Islam Yes, Khilafah No” (Yogyakarta, Suka Press) hal. 34

[9] Ibid, 37



*Alumnus Mahad Aly, saat ini menempuh jenjang Magister di UIN Sunan Ampel Surabaya.