Gus Sholah saat menyampaikan sambutan dalam acara Aktualisasi Resolusi Jihad.

tebuireng.online— Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid menyampaikan sambutan dalam acara Rapat Aktualisasi Resolusi Jihad (05/11/2016). Gus Sholah menyampaikan sejarah dan fakta tentang resolusi jihad.

Acara utama dimulai pukul 10.00 di aula Bachir Ahmad gedung KH. M. Yusuf Hasyim lantai 3. Panitia sudah menyediakan TV dan proyektor di depan gedung untuk peserta yang tidak bisa memasuki aula lantai 3. Tokoh-tokoh nasional, kiai-kiai dan para habib hadir dalam acara rapat akbar ini.

Dimulai dengan qiraah oleh ust. Saiful Munir, qori’ internasional dan disusul dengan sambutan Gus Sholah. Dalam sambutannya, Gus Sholah menyampaikan bahwa selama ini dalam mata pelajaran sejarah Indonesia, tidak dituliskan tentang Resolusi Jihad. Bahkan seorang guru besar sejarah menyatakan bahwa Resolusi Jihad itu legenda bukan fakta sejarah.

Oleh karena itu, Pesantren Tebuireng memberikan tugas kepada guru sejarah untuk menelusuri apakah Resolusi Jihad itu fakta atau legenda. Setelah dilakukannya penelusuran, ditemukan bukti yang otentik. Koran pada tanggal 26 Oktober 1945 memuat berita tentang peristiwa Resolusi Jihad. “Hasil penelitian itu kami tulis dalam buku Resolusi Jihad”, ungkap Gus Sholah.

Timbul pertanyaan lagi, yakni mengapa peristiwa itu tidak tertulis pada buku sejarah dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia? Gus Sholah berpikir bahwa tokoh NU saat itu tidak punya tradisi dalam menulis sejarah atau tidak ingin memunculkan perannya. Hal itu dikarenakan bisa mengurangi tingkat keikhlasan.

Majalah Tebuireng

Gus Sholah mencoba mengambil informasi dari buku karya Mark Zainul Milal Bizawie, “Laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad”. Informasi pertama menurut Martin Andreson, saat itu NU tampil sebagai kelompok radikal yang mungkin sulit dicocokkan dengan reputasi NU yang selama ini dikenal moderat dan kompromistis.

Kedua adalah yang disebut oleh Ben Anderson dengan istilah ‘prasangka-prasangka ilmiah’. Dalam kajian Indonesia tahun 60-70an telah menyingkirkan NU yang dipersepsikan sebagai kelompok tradisional dan konservatif. Pengabaian terhadap peran NU dan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan adalah bagian dan sisa-sisa dari masih bertahannya bias tersebut.

Ketiga, Hermawan Sulistiyo lebih melihat adanya upaya meminimalisasi peran penting NU dengan Resolusi Jihad. Yaitu karena dipengaruhi dengan lemahnya posisi politik NU dalam dokumentasi sejarah. Hal itu menyebabkan berkurangnya peluang mereka sebagai sumber dan pelaku sejarah. (Masnun)