(Sumber ilustrasi: dream.co.id)

Oleh: Yuniar Indra*

Perempuan diidentikkan sebagai makhluk yang mengedepankan emosi dalam menghadapi masalah. Mereka memiliki kecenderungan mengekspresikan kebahagiaan, kesedihan, dan kekesalannya dengan cara yang berkontak dengan fisik. Misal, ketika seorang wanita gembira karena bertemu kawan lamannya, ia akan memeluknya. Atau saat ia sedang sedih, ia mengungkapkannya dengan mengeluarkan air mata. Juga ketika merasa kecewa rata-rata seorang perempuan akan menjadi cuek dan pendiam.

Selain itu perempuan juga memiliki kecenderungan mengatasi masalah melalui strategi koping yang berdasar emosi. Misalnya, dengan ruminasi kognitif atau mencari dukungan emosional. Karena kecenderungan-kecenderungan itu, akhirnya mereka lebih mementingkan perasaan daripada logikanya. Akibatnya, wanita menjadi merasa rendah diri sebab pandangan yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang lebih lemah daripada laki-laki.

Salah satu dampak paling fatal bagi wanita adalah ketika mereka mengekspresikan emosi mereka melalui rasa malu yang tinggi. Rasa malu yang dimaksud bukan identik kepada hal-hal positif, yang berakibat pada hilangnya kesopanan dan kehormatan. Seperti malu tidak menutup aurat. Tapi lebih ke arah hal negatif, diantaranya rasa malu untuk bertanya atau mengungkapkan pendapat. Apalagi mereka malu untuk mempersoalkan atau mempertanyakan masalah agama yang berhubungan dengan kewanitaan.

Alasan yang paling sering dilontarkan oleh kaum hawa saat malu bertanya dan berpendapat, karena stigma buruk wanita tidak tahu malu, wanita murahan. Atau juga disebabkan kritikan tidak membangun, mulai dari caci maki hingga body shaming. Ditambah rasa minder berlebihan dan pembatasan atau framing diri dalam pikiran negatif. Selain itu juga disebabkan rendahnya rasa percaya diri pada wanita.

Majalah Tebuireng

Padahal, tidak malu bertanya khususnya bagi wanita merupakan bentuk positif dalam pendidikan Islam. Hal tersebut didasari oleh peristiwa di zaman nabi Muhammad saat ditanya oleh seorang wanita bernama Ummi Sulaim;

عن أم سلمة رضي الله عنها، قالت: جاءت أم سليم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت: يا رسول الله، إن الله لا يستحي من الحق، فهل على المرأة غسل إذا احتلمت؟ فقال: «نعم، إذا رأت الماء»[1]

Dari Ummi Salamah Ummi al-Mu’minin ia berkata: “sesungguhnya Ummi Sulaim istri Abi Talhah mendatangi Rasulallah, lantas bertanya, “wahai Rasulallah, sungguh Allah bukanlah zat yang malu mengenai kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi ketika ia bermimpi keluar mani?”. Rasul pun menjawab: “ya, jika ia melihat maninya”.

Nama aslinya adalah Ummi Sulaim al-Ghumaisha’ binti Milhan al-Ansari, wanita Ansar (orang Madinah pada masa Nabi) yang memiliki keberanian untuk bertanya seputar yang mungkin dianggap sangat intim. Memang kebanyakan perempuan-perempuan Ansar memiliki rasa percaya diri tinggi. Sampai-sampai Aisyah memuji mereka dengan mengatakan,

 النساء نساء الأنصار لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين

(wanita sebenar-benar wanita adalah wanita Ansar, rasa malu mereka tidak mencegah untuk memperdalam agama)[2].

Maka sudah sepatutnya bagi perempuan Muslim tidak malu untuk berpendapat dan bertanya. Karena hal tersebut sudah disinggung oleh Aisyah istri nabi, bahwa wanita yang baik adalah wanita Ansar, sebab rasa malu tidak mencegah mereka untuk memperdalam ilmu agamanya. Jadi, tak ada alasan dan batasan bagi wanita untuk mengungkapkan pendapat dan pertanyaanya.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.

[1] البخاري، صحيح البخاري، ٢٩/٨

[2] الحديث والمحدثون, ص. 55 .شركة الطابعة العربية السعودية, 1984 ,الرَيض