Judul            : Menjaga Martabat Islam (Kumpulan Tulisan Pidato dan Artikel Media)

Penulis         : Kiai Tebuireng

Penerbit       : Pustaka Tebuireng

Cetakan       : Pertama, 2015

Tebal            : xix + 203 halaman

Majalah Tebuireng

ISBN             : 978-602-8805-34-6

Resensor      : Zaini Hidayati

Sepintas, dari judul yang dipilih, “Menjaga Martabat Islam?” Kumpulan tulisan pidato dan artikel media yang ditulis oleh kiai-kiai Tebuireng ini merupakan media yang mampu membangkitkan semangat juang serta memperkuat umat Islam dalam menghadapi berbagai masalah di masyarakat, bangsa dan agama.

Buku “Menjaga Martabat Islam” merupakan kumpulan tulisan para kiai Tebuireng yang diambil dari berbagai sumber yang selama ini hanya tersimpan dalam arsip. Kumpulan tulisan pidato yang pertama adalah buah karya Hadratussyaikh KH. Hasyim (hal 1-55). Berasal dari salah satu tulisan ulama masyhur inilah judul buku ini diambil, “Menjaga Martabat Islam.” Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) merupakan pendiri Pesantren Tebuireng dan tokoh panutan umat Islam Indonesia. Beliau memiliki catatan emas dalam hidupnya. Berkat jasa-jasanya negeri ini mampu melahirkan banyak ulama besar dan tokoh penting. Perjuangannya melalui Pesantren Tebuireng juga mampu membangun peradaban masyarakat sekitar, dari masyarakat tak bermoral hingga menjadi masyarakat yang agamis.

Ditengah kesibukannya mengajar para santri dan berjuang melawan penjajah pada masa itu. KH. Hasyim Asy’ari juga produktif dalam hal menulis. Banyak tulisan beliau yang dijadikan rujukan utama oleh masyarakat pesantren dan warga Nahdliyin (sebutan khas bagi jamaah NU). Tulisannya kebanyakan berupa tanggapan atas persoalan yang ada di masyarakat. Melalui fatwa-fatwanya mampu menjadikan masyarakat pesantren tampil terdepan dalam berjuang di medan perang. KH. Hasyim Asy’ari selain tokoh besar yang menjadi panutan umat hingga menginspirasi melalui karya-karyanya. Mbah Hasyim juga mewariskan NU yang terus berkembang hingga saat ini, saat organisasi lain telah surut bahkan bubar. Sementara organisasi yang dibentuk KH. Hasyim Asy’ari ini semakin besar dan jaya.

Dari NU itu pula muncul tokoh besar dan berpengaruh. Di antara tokoh NU tersebut ada yang masih merupakan nasab atau keturunan langsung dari KH. Hasyim Asy’ari. Jadi tak heran apabila karya-karya ulama kharismatik pendiri NU ini banyak yang dijadikan rujukan umat di masa lampau dan juga masa sekarang yang sangat butuh tuntunan melalui fatwa-fatwanya yang menyejukkan jiwa.

Tokoh kedua yang kumpulan tulisannya dimuat dalam buku ini adalah KH. Abdul Wahid Hasyim (Kiai Wahid) yang merupakan putra dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Ayahhanda dari presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (hal 67-119). Kiai Wahid tidak jauh berbeda dengan sang ayah. Dia banyak melahirkan karya-karya dalam bentuk tulisan di sejumlah media. Pendidikannya dihabiskan untuk belajar di pesantren dan menjadi kutu buku sejati yang kelak menjadikannya sebagai pribadi yang berpengetahuan luas dan mampu bersanding dengan tokoh-tokoh besar bangsa ini. Pada masa mudanya seringkali diberi kepercayaan untuk tampil di depan publik. Bahkan, menggantikan tugas-tugas Mbah Hasyim. Baik urusan pesantren atau pun urusan NU. Melalui tulisan-tulisanya yang sangat produktif, Kiai Wahid mampu memberikan pencerahan kepada banyak orang.

Selanjutnya, tokoh ketiga yang kumpulan tulisanya dimuat dalam buku ini adalah cucu dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yaitu KH. Salahudin Wahid atau dikenal dengan Gus Sholah (hal 131-199). Adik dari Gus Dur ini yang sekarang menjabat pengasuh Pesantren Tebuireng merupakan tokoh yang mampu memberikan banyak perubahan terhadap pesantren warisan kakeknya. Tokoh yang sangat layak dijadikan teladan ini telah banyak menghiasi media massa melalui tulisanya serta melahirkan beberapa buku.

Berbagai persoalan yang tercantum dalam buku ini mulai dari kumpulan tulisan dari KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahid Hasyim, hingga KH. Salahudin Wahid sama-sama membahas tentang integrasi antara nilai-nilai agama dalam berjuang untuk bangsa. Yang membedakan hanya pada titik tekanya saja. Hal ini karena situasi dan kondisi yang dialami antara tiga tokoh tersebut sangatlah berbeda. Masalah yang dihadapi umat pun berbeda. KH. Hasyim Asy’ari misalnya, beliau hidup pada masa penjajahan. Di mana masyarakat sedang carut marut memikirkan kemerdekaan bangsa. Dalam tulisan beliau pun berisikan tentang bagaimana menjunjung tinggi martabat Islam dengan semangat juang yang tinggi, untuk selalu berakhlakul karimah, saling menghargai dan mengormati, tidak bermalas-malasn dalam hal apapun terutama dalam bekerja karena saat itu masyarakat dalam keadaan tertekan menghadapai penjajahan. Serta menanamkan kemandirian dalam jiwa masyarakatnya guna mempertahankan cita-cita Islam dan kemerdekaan bersikap.

Sementara tulisan-tulisan KH. A. Wahid Hasyim lebih menekankan pada aspek berpolitik umat Islam dalam mengatasi masa pancaroba dan transisi dari pemerintaan Kolonial ke Pemerintahan Republik yang penuh gejolak. Dalam hal ini KH. A. Wahid Hasyim mengarahkan umatnya untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan umat demi meraih kesejahteraan bersama. Tidak jauh beda dengan KH. Salahudin Wahid  yang tulisan-tulisanya mengedepankan aspek spiritualitas untuk menghadapi gejolak zaman modern yang pragmatis dan serba matrealis ini. Bila tidak bertumpu pada aspek norma-norma yang ada, seperti norma agama dan norma sosial justru bangsa ini akan hancur dan lenyap tergerus arus globalisasi.

Dengan membaca buku ini ada banyak nilai-nilai keluhuran Islam yang sangat berguna bagi masyarakat beragama dan bernegara. Selain menjunjung tinggi nilai keagamaan kita diajak untuk lebih semangat dalam membangun bangsa dengan saling mempererat kesatuan dan persatuan antar umat. Sehingga tujuan negara untuk menjadikan bangsa ini bangsa yang sejahtera dapat terwujud.