Oleh: Siti Rofi’ah*

Kekerasan seksual anak menjadi tren isu dalam beberapa bulan terakhir. Hampir setiap hari media menginformasikan tentang peristiwa kekerasan seksual yang menimpa anak-anak, khususnya anak perempuan. Menurut World Health Organization (WHO), Sexual violence is defined as: any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work. Dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendefinisikan “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan melanggar martabat kemanusiaan seseorang berdasarkan diskriminasi gender yang menyasar pada tubuh dan seksualitas seseorang, yang berakibat atau dapat berakibat kerugian atau penderitaan fisik, psikis, ekonomi, seksual, politik dan/atau sosial korban.” Secara tidak langsung ini menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan.

Indonesia disebut-sebut sebagai negara dengan darurat kekerasan seksual. Setiap hari, 35 perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual, artinya setiap dua jam tiga perempuan menjadi korban. Beberapa pihak mencoba memberikan saran sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual baik untuk individu, kelompok sampai Negara. Salah satunya adalah dengan meminta pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, memasukkan materi kesehatan reproduksi dalam kurikulum sekolah. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan dengan membentuk gugus pencegahan kekerasan.

Lalu bagaimana andil pesantren dalam upaya pencegahan kekerasan? Sementara di satu sisi, pesantren turut angka pada kasus kekerasan seksual anak dengan pelaku, yang notabene adalah ustadz. Berdasarkan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), sebanyak 85 perempuan dan anak menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren di Jawa Tengah mulai 2009 hingga 2012.

Berbicara tentang soal seks, seksualitas dan kesehatan reproduksi masih dianggap tabu oleh beberapa masyarakat pesantren meskipun beberapa pesantren juga sudah memasukkan materi kesehatan reproduksi di pesantren meskipun masih seputar bagaimana menjaga kesehatan reproduksinya bukan sebagai upaya pencegahan kekerasan seksual. Ada fakta yang kontradiktif dalam persoalan pesantren, kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual.

Majalah Tebuireng

Maka dalam hal ini, pesantren secara komprehensif harus segera mengambil sikap terkait upaya pencegahan kekerasan seksual anak, mengingat jumlah pesantren yang cukup besar di Indonesia mencapai 27.230 menurut data Kementerian Agama tahun 2012 dan dipastikan semakin bertambah sampai pertengahan 2016 ini.

  *) Penulis adalah dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Hasyim Asy’ari dan aktif di Woman Crisis Center Jombang