Oleh: Nur Indah*

Berbicara tentang perempuan dan politik, tidak lekang dari image dan konstruksi sosial dalam relasi masyarakat yang berasumsi perempuan dianggap “penghuni” domestik. Memiliki lingkup gerak kecil pada panggung publik, tidak bisa menyumbangkan pemikiran rasional dalam hal kritik-mengkritik, dan banyak lagi asumsi kepada perempuan yang sangat pekik. Stereotipe dan keyakinan gender inilah yang akhirnya banyak menimbulkan ketimpangan gender di berbagai sektor dan salah satunya adalah sektor kepemimpinan dan politik, akibatnya masyarakat umum menarik kutub yang berbeda dan berasumsi bahwa dunia publik milik laki-laki dan dunia domestik milik perempuan.

Dalam sejarah Islam, Sayyidah Aisyah RA adalah istri Nabi yang pernah terlibat di ranah publik. Selain rawi hadist yang hebat, Aisyah mendampingi Nabi dalam sejumlah ekspedisi militer (maghazi), sepeninggal Nabi, Sayyidah Aisyah terlibat dalam pergolakan politik, yang mana pada saat itu puncaknya Sayyidah Aisyah terjun di Perang Onta. Tidak hanya Sayyidah Aisyah, isteri pertama Nabi, Sayyidah Khadijah RA, juga berkiprah di ranah publik sebagai pebisnis, dan masih banyak lagi tokoh perempuan yang ikut serta mengukir prestasi kepemimpinan dalam sejarah Islam.

Di sejumlah negara Islam pada saat ini, terdapat banyak kasus perempuan yang dibatasi kiprahnya di sektor domestik, jangankan menjadi pemimpin politik, haknya untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah saja dibatasi, sedangkan justifikasi yang digunakan adalah nash “keagamaan“ yang ditafsirkan “diskriminatif“. Kendatipun semangat Islam adalah egalitarianisme, butuh perjuangan bagi wanita untuk berdiri sederajat dengan laki-laki, adapun nash yang biasanya digunakan untuk menolak kepemimpinan di tangan perempuan adalah Q.S An-Nisa : 34 :

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ

Majalah Tebuireng

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),

Perlu diketahui bersama bahwa tidak semua ulama sepakat menjadikan ayat “qowwam” ini sebagai dalil untuk menghalangi kepemimpinan politik perempuan, apalagi hingga mengharamkanya, dan di antara ulama yang lainnya memberikan makna yang berbeda dan lebih didasarkan pada nilai fundamental Islam, misalnya pada ayat al-Quran surah al-Hujurat ayat 1 yang menjelaskan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Bagi sebagian mufasir ayat di atas jauh lebih prinsipil daripada penafsiran “qowwam” dalam kerangka hirarki dan subordinasi, sebagian mufasir ini memaknai lafadz “qowwam” adalah fungsi, tanggung jawab penjagaan dan pemeliharaan sehingga para mufasir tidak memaknai lafadz “qowwam” sebagai legistimasi untuk mendeskriminasikan perempuan tetapi kemitraan dalam kerangka pembagian tugas dan peran.

Dari keberagaman penafsiran mufassirin, menunjukkan bahwasanya perihal kepemimpinan politik perempuan adalah persoalan khilafiyah di kalangan ulama. Terlepas dari beberapa   tantangan, kendala, kekurangan, kelebihan, pro dan kontra tentang perempuan dalam politik,  kenyataan yang harus kita hadapi adalah kita harus mau dan mampu mendekonstruksi image sehingga lahir konstruksi image baru sosok perempuan di panggung publik.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari