sumber foto: https://www.ngopibareng.id/imagecache/l-20180611022423menuntut-ilmu-agama.jpg

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Para leluhur kita jauh sebelum zaman sekarang telah meletakkan pondasi mengenai dasar-dasar persaudaraan, persamaan dan keadilan diantara sesama manusia.

Para nenek moyang dan leluhur kita itu adalah bersaudara dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka ‘memusuhi’ orang yang durhaka kepada Allah, walaupun itu adalah saudara bahkan bapak dan keluarganya sendiri. ‘Memusuhi’ disini dalam artian “musuh” perspektif lebih luas, musuh Allah yang harus disadarkan, dan diajak meraih hidayah Allah dengan cara diajak, didekati secara persuasif sehingga menjadi seperti yang yang dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad Saw. Musuh pun akhirnya takluk dan bertekuk lutut melihat prilaku dan akhlak Baginda Nabi. Ud’u ila sabili rabbika bi al-hikmati wa al-mau’dhoti al-hasanahi.

Hakikat semua manusia itu bersaudara. Karena sama-sama dari keturunan yang sama, yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Sesuai Firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Majalah Tebuireng

Ayat diatas ini sangat tegas mengatakan bahwa hakikat manusia itu punya kecenderungan yang sama yaitu ber-ta’arruf, saling kenal satu sama lain, sehingga menjadi sebuah komunitas suku, bangsa, dan menjadi sebuah negara. Itulah hakikat kemanusiaan. Fitrah dan sunnatullah yang tak terbantahkan. Semuanya sama, punya kecenderungan yang sama pula.

Kalau menyangkut konteks ajaran keadilan dan akhlak, para leluhur dan para ulama salaf telah meletakkan pondasi. Mereka mempunyai sifat pemberani dan keluhuran cita-cita. Tidak terjebak dengan perbedaan bahasa, mazhab, bahkan kenegaraan sekalipun.

Tidak ada doktrin-doktrin kebencian dan permusuhan, apalagi hanya karena perbedaan pemikiran dan mazhab, juga manhaj. Sehingga apapun suku dan bangsa, dari manapun asal mereka, entah dari Arab, Persia, Romawi, Hindia, Turki, Eropa bahkan Indonesia sekalipun, semua sama dan saling mencintai satu sama lain karena Allah “fillah“. Semua sepakat satu kata, hanya menegakkan kalimatullah hiya al-‘ulya, wa kalimatu as-syaithan hiya al sufla.

Sehingga, mereka itu berkhidmah kepada Islam itu secara murni dan ikhlas, bukan karena interest pribadi, kelompok-golongan atau maksud tertentu. Bukan pula hanya karena haus pujian dan nafsu duniawi.

Itulah yang dilakukan oleh mereka seperti Salman al-Farisi, Suhaib ar-Rumi, Bilal al-Habsyi dan lainnya. Mereka ini benar-benar memberikan manfaat yang besar didalam Islam, membantu dan menolong agamanya dengan segala daya upaya dan kekuatan. Mendahulukan kemaslahatan Islam diatas kepentingan pribadi, golongan, umat, bahkan negaranya. Mereka itu lebih melihat karena seruan taqwallah wa li tha’atillah diatas kepentingan-kepentingan manusia. Inilah yang dikatakan sebagai berkhidmat kepada Islam.


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


Disadur dari kitab Irsyadul Mukminin, karya Allahyarham Gus Ishom Tebuireng yang Legendaris.