Sumber: afriantipratiwi.com

Oleh: Ikmaluddin Fikri*

Hari itu, dia menunjukkan dirinya, memberitahu dunia tentang keberadaannya. Bukan ide yang ditawarkan, bukan pula karya. Dia menawarkan ‘diri’, badan, dan hal-hal yang melingkupinya. Bukan di dunia nyata, hanya di dunia maya yang benar-benar maya. Tidak berbekas dalam hatinya kecuali rasa puas yang sementara, dan menyukai ketika orang-orang mengetahui keberadaannya. Sekedar ‘suka’ dan tentu ada campuran nafsu di dalamnya. Orang-orang mengetahui bukan untuk menghargai tapi hanya menikmati, tidak lebih.

Baginya, identitas diri hanya berlaku pada “aku” bukan apa yang ada “dalam diriku”, lebih jauh lagi bukan yang di dalam hati atau pikiran. Tidak ‘salah’ berbuat demikian, tidak salah pula orang-orang di sekitarnya. Siapa yang salah? Entahlah.

Berhenti menyalahkan dan lihat pada realita bagaimana perilaku ini tidak hanya dilakukan oleh “dia”. Ada “dia”, dan “dia” yang lain yang juga melakukannya. Jangan pula menyalahkan “dia” yang lain. Ada banyak yang lebih dikenal darinya, yang melakukan dan dipaksa untuk melakukan. Dari sini keuntungan didapatkannya, keuntungan baginya dan orang-orang yang memaksanya. Mereka tidak akan berhenti selama keuntungan selalu bersamanya. Begitu pula orang-orang yang memaksanya, dia mendapatkan keuntungan itu, bahkan lebih banyak. Ada pihak “pemaksa” yang lain, tapi bagi mereka hanya puas dan candu yang didapatkan, bisa dikatakan dia merugi.

Fenomena “ingin terkenal” bukanlah hal yang tidak biasa, secara alamiah manusia memiliki kecenderungan ingin dikenal, dipuji, dan dipuja. Fenomena ini semakin menemukan kemudahan setelah ada internet. Media sosial mengamini dan memfasilitasi keinginan ingin dikenal ini. Hanya saja cara untuk dikenal itulah yang menjadi masalah. Jika saja cara yang digunakan seseorang untuk dikenal adalah karya, maka tidak apa-apa demikian. Jika yang digunakan malah hal yang tidak elok, maka disinilah terjadi masalah.

Majalah Tebuireng

Jauh sebelum internet ada, terdapat media yang menjadi salah satu sumber hiburan masyarakat Indonesia. Televisi. Sejak dikenalkan pada publik pada tanggal 17 Agustus 1962, yang sekaligus menjadi awal berdirinya TVRI. Televisi mendapatkan hati masyarakat sebagai sumber hiburan bagi mereka. Selain itu juga terdapat informasi dan tayangan mendidik bagi mereka.

Sayangnya, tidak hanya sebagai media hiburan, televisi kadang menjadi tuntunan bagi masyarakat. Bagaimana perilaku dan nilai-nilai tertentu yang ada di televisi menjadi panutan bagi mereka. Hal ini tidak salah selama yang ditiru adalah sesuatu yang positif, tapi tentunya tidak demikian.

Salah satu yang mengubah masyarakat kita dari televisi adalah bagaimana mereka memandang kehidupan yang ideal. Kehidupan yang ideal bagi mereka adalah hidup di perkotaan, bekerja di perkantoran, bepergian dengan mobil, makan di restoran, menggunakan pakaian-pakaian ala mereka dan sebagainya.

Tidak hanya itu, bagaimana kita memandang keindahan juga bermasalah. Masyarakat kita selalu memandang ganteng atau cantik dari warna kulit, dimana putih atau kuning itu ganteng atau cantik, sehingga semakin gelap kulit seseorang maka semakin jeleklah dia.

Memang pola pikir ini tidak sepenuhnya berasal dari televisi. Sebelum itu, penjajah sudah mencekoki kita pola pikir ini. Orang kulit putih itu ganteng atau cantik dan bagus sedangkan pribumi yang coklat atau hitam itu jelek dan rendahan. Tapi bagaimana televisi kita mendukungnya dan terus menjejali hal inilah yang bermasalah.

Kembali pada era sekarang, media sosial menjadi kehidupan kedua bagi kita saat ini. Semua hal yang kita lakukan tertulis dan tersimpan disana, semua orang yang menjadi “teman” dan “pengikut” kita bisa melihat. Dengan harapan mendapat respon yang baik dari “teman” dan “pengikut” kita, kita memperlihatkan sisi “keindahan” kita dan melakukan apapun yang mereka inginkan.

Kehidupan ideal ala media yang kita lihat selama ini kita praktekan disana, dengan harapan ingin dilihat dan dikenal. Bagi mereka yang sudah ideal dan berparas tampan atau cantik, tentu mudah. Bagaimana dengan orang-orang yang kehidupannya sama sekali tidak ideal dan tidak menawan? Terjadilah pemaksaan untuk dilihat dan dikenal.

Pepatah Arab mengatakan, “Bul ‘ala zamzam fatu’raf” yang berarti kencingi sumur zamzam maka kau akan terkenal. Pepatah ini menjadi jalan pintas bagi mereka yang tidak ideal menurut pandangan mereka tetapi ingin dikenal. Bukan kehidupan asli dan laku yang layak yang ditawarkan tetapi sesuatu yang sakit.

Fenomena seorang yang kekurangan dalam hidupnya “terpaksa” ngondek dan melakukan hal gila. Seorang bermuka pas-pasan atau ‘jelek’ (menurutnya) harus menjelekkan dirinya lebih jelek lagi, itu menjadi hal biasa kita temui di media sosial kita. Ditambah lagi, kita mendukung perbuatan itu secara tidak langsung maupun secara langsung. Tinggal lihat seberapa banyak kita melihat dan membagikan fenomena ini, dari situlah kita tahu seberapa besar kontribusi kita dalam mendukung mereka.

Tidak bisa dipungkiri eksistensi akan jati diri itu suatu keharusan. Tapi jati diri macam apa yang akan ditawarkan adalah pilihan kita. Jika yang kita tawarkan adalah karya, maka kita akan dikenal dalam artian yang benar dan bertahan lama. Bahkan setelah kepergian kita, kita tetap ada.

Jika yang kita tawarkan adalah “mengencingi sumur zamzam” maka kita akan dikenal dalam artian yang salah dan tak bertahan lama.  Dari sini yang ditawarkan bukan lagi “aku” tetapi hasratku, kepalsuanku, dan kehinaanku. Mengapa ingin ‘ada’ jika dalam ‘ada’mu orang-orang menginginkan ketiadaanmu? Tidak inginkah kau ‘ada’ dan dalam ketiadaanmu orang-orang menginginkan ‘ada’mu? Atau lebih baik tidak ada, orang-orang tidak mengetahuimu, dan kau merasa cukup dirimulah yang mengetahui dirimu sendiri.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari