Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

مَنْ اَحَبَّ شَيْئًا فَهُوَ عَبْدُهُ

Barangsiapa yang sangat mencintai sesuatu, maka ia akan menjadi budak atau hamba baginya“.

Syahwat itu bisa menyebabkan kekuasaan atau kerajaan menjadikan hamba bagi seseorang. Artinya, semakin seseorang itu mengedepankan keinginan atau syahwat di dalam dirinya, semakin pula dirinya itu menjadi budak bagi syahwatnya.

Majalah Tebuireng

Pernah kita melihat misalnya, ada orang yang kesana-kemari tidak pernah merasa puas akan apa yang didapat oleh dirinya. Entah itu rizki, harta, tahta, kekuasaan, wanita, atau apapun namanya. Semakin ia mengejar nya maka semakin pula ia merasa kurang, kurang, dan kurang. Itulah yang saya maksud, bahwa ia telah diperbudak oleh syahwat yang ada dalam dirinya sendiri.

Bedanya dengan sabar? Kalau sabar itu justru sebaliknya. Dengan kesabaran seseorang itu, bisa menyebabkan seorang hamba itu bisa menjadi raja, atau mendapatkan kekuasaan. Dengan kesabaran, seseorang itu akan mendapatkan apa yang ia harapkan atau inginkan. 

Ingat cerita nabiyullah Yusuf ibn Ya’qub ibn Ishaq ibn Ibrahim ‘alaihi al-Salaam dengan Zulaikha. Zulaikha itu berada dalan puncak cintanya kepada Yusuf. Dengan kesabaran yang Zulaikha miliki dalam dirinya, ia rela menunggu Yusuf dengan segala resikonya. Begitu pun Yusuf, kekasih Allah ini rela bersabar dengan cara memuliakan Zulaikha yang menjadi “bekas” juragannya di dalam istana atau kerajaan. Bahkan Yusuf, rela bersakit-sakit ria dengan totalitas kesabarannya, dengan sekian lika-liku proses yang panjang. Akhirnya kedua hamba Allah ini menjadi pasangan jodoh yang kekal abadi nan indah.

Wa laqod hammat bihi wa hamma biha. Zulaikha cinta Yusuf, dan sebaliknya, Yusuf cinta Zulaikha. Itulah buah dari kesabaran cinta keduanya, sehingga mencapai tujuannya. Indah dan abadi. Itulah perbedaan dengan dyahwat. Syahwat itu karena cara mendapatkannya tidak dengan berdasar cinta di dalam dirinya, maka yang terjadi justru sebaliknya, tidak kekal dan bahkan musnah bersama syahwatnya. 

Ingatlah legenda cerita Qarun, yang kemaruk dan rakus harta, akhirnya musnah bersama hartanya. Cerita Fir’aun yang juga musnah bersama kekuasaannya. 

Segala sesuatu itu kalau ingin indah dan abadi, dasarkanlah kepada kesabaran, bukan dengan syahwat. Karena syahwat itu dapat menyebabkan kehancuran, kerusakan, kehilangan, dan seterusnya. Wallahu A’lam.

*Khadim Pesantren AL-AULA Kombangan Bangkalan Madura