Oleh: Adawiyah*

Tasawuf-tarekat muncul ke permukaan sebagai akses dari luasnya pola hidup tasawufi di kalangan umat Islam, namun masih berlangsung bebas. Sehingga tarekat merupakan upaya pengorganisasian komunitas sufi dengan rumusan yang jelas dan khas penempuhan jalur sufi. Di kalangan ilmuwan Barat, tarekat juga sering disebut sebagai ordo, atau sekte dari tasawuf.

Gerakan tasawuf dalam bentuk tarekat itu sendiri muncul, bukan semata-mata sebagai upaya pengorganisasian diri. Namun di samping untuk menunjukkan jati diri kaum sufi, juga dimaksudkan untuk merespons perkembangan zaman beserta segala keadaan masyarakatnya.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaruan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki. Di Indonesia, kaum tarekat pernah melancarkan perlawanan kepada penjajah Belanda seperti peristiwa perang Padri di Sumatera di bawah komando Imam Bonjol, serta perang Jawa (1825-1830) yang di pimpin oleh seorang mursyid tarekat, pangeran Diponegoro, Ahmad Mansur Suryanegara. Sedang dalam gerakan kultural, para ulama sufi pernah mengharamkan pakaian model penjajah, seperti celana panjang, dasi, dan baju Eropa. Yang menyerupai tradisi berpakaian ala Eropa dinilai sebagai kafir. Jadi tradisi sufi pun juga kadang muncul karena pengaruh kondisi yang ada. Semangat kultural secara simbolis itu, tentunya untuk memancing semangat membedakan diri dengan musuh, sehingga juga memunculkan semangat perlawanan terhadap penjajah.

Tampak sekali bahwa tasawuf mengajarkan koreksi dan penolakan pada status quo, atau suatu kondisi qua-vadisme. Inilah yang dimaksud oleh Sayyed Hossein Nasr, bahwa pengetahuan suci dan kebenaran akan membawa etos pembebasan dan keselamatan dari segala bentuk kungkungan dan penjara. Ini tidak lain karena yang suci tu tidak lain adalah tak terbatas dan abadi, sementara semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat diredukasi menjadi keadaan yang kosong sama sekali dari kebenaran dengan sendirinya.

Majalah Tebuireng

Keadaan sosiologis, psikologi dan kultur di era modern seperti dewasa ini terjadi, seakan-akan menunjukkan kembali arah turning point pada kebangkitan lagi tarekat, dimana sejak awal penyebab munculnya tasawuf-tarekat antara lain:

1. Karena memang di dalam diri manusia terselip bakat yang cenderung pada kehidupan kerohanian menjadi kegemarannya, atau menjadi hobinya.

2. Karena rekasi zaman dan tempat misalnya sesudah adanya suatu revolusi setempat atau penguasa bertindak sewenang-wenang, sehingga banyak orang bersikap apatis, masa bodoh, kemudian menerjunkan diri memasuki tarekat sebagai pionir perjuangan dan kejuangannya.

3. Karena jemunya orang dengan penghidupan yang enak di dunia, ingin menyendiri dan hidup sederhana seperti terjadi pada permulaan abad ke-4 H dahulu.

4. Karena kegersangan spiritual akibat penetrasi keduniaan yang berlebih, dan berakumulasi dengan kondisi –kondisi sosiologis, politis, ekonomis, yang membuat manusia mengalami kesenjangan “kebahagiaan”.

Keempat hal tersebut kini sedang menjadi satu keadaan yang bersamaan dialami bangsa Indonesia sejak sekitar tahun 1990-an lalu. Ini menyebabkan kajian-kajian tasawuf kian marak di kota-kota besar, walaupun dalam hal ketarekatan, mereka kebanyakan mengambil jalur “bebas”. Demikian pula pengajian-pengajian tasawuf kian banyak diminati orang, sebagai usaha mengobati kerinduan jiwanya pada asal spiritual pribadinya yang paling fitri, kedamaian dan kebahagiaan jiwa sepenuhnya yang sejati karena “pertemuan” nya dengan Allah SWT beserta dengan keridaan-Nya.


Sumber: Sufi Modern karya KH Muhammad Sholikhin


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari