Oleh Drs. KH. A. Junaidi Hidayat, S.H.*

 الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَأَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Ma’asyiral muslimin jama’ah Jum’ah rahimakumullah!

Melalui khutbah Jum’at ini mari kita kembali mengevaluasi diri kita, menghitung-hitung kembali apa yang sudah kita lakukan, mana yang menjadi infestasi kebaikan, mana yang menjadi amal yang sia-sia, mana yang perlu kita sempurnakan sehingga dengan kesadaran melakukan kalkulasi diri, menghitung-hitung diri kita sehingga mempunyai kesadaran senantiasa lebih menyempurnakan amal ibadah yang kita lakukan, baik yang secara langsung berkaitan dengan Allah subnahu wata’ala  dalam berbagai bentuk yang sudah diatur yang bersifat mahdhoh, bersifat ta’abuddiyah maupun amal-amal ibadah yang berkaitan dengan kehidupan kita bemasyarakat, bernegara, yang biasanya disebut dalam istilah agama ibadah ghoiru mahdhoh yang lahiriahnya bersifat mubahah tetapi karena didorong dengan motifasi niatan yang baik maka hal-hal yang bersifat sosial, yang bersifat muamalah akan menjadi ibadah. hal Itu kita usahakan untuk senantiasa kita sempurnakan, kita evaluasi sehingga haqqotuqotihi itu intinya kesadaran mengevaluasi terhadap diri kita, apa yang sedang kita lakukan, yang pantas kita lakukan yang harus kita sempurnakan. Dan mana yang harus kita tinggalkan.

Ma’asyiral muslimin !

Majalah Tebuireng

Bahwa kini harus kita lakukan kesadaran mengevaluasi diri karena hidup kita ini senantiasa berada di dalam pertarungan yang tidak pernah berhenti, ada interaksi didalam diri kita, ini kekuatan-kekuatan bayyinah, kekuatan-kekuatan yang bersifat destruktive, kekuatan-kekuatan yang bersifat negative, kekuatan-kekuatan kebinatangan dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat malaikah, ilahiyyah atau kekuatan yang berupa kebaikan, positif yang dari dalam diri kita.

Kalau mahluk yang lain barangkali tidak perlu ada khutbah Jum’at, jenjang pendidikan, ngaji, aturan, undang-undang, malaikat tidak perlu undang-undang karena dia ditugasi dengan tugas yang hanya itu, yang dia lakukan kecuali beribadah kepada Allah. Allah tidak memberi nafsu kepada malaikat, tidak ada ambisi dalam diri malaikat, tidak ada kepentingan, tidak ada syahwat sehingga malaikat tidak perlu aturan hukum, tidak perlu pendidikan.

Begitupula kepada binatang. Binatang tidak memerlukan itu, karena Allah menciptakannya seperti itu sehingga tidak ada pertanggungjawaban, tidak ada mas’uliyyah, tidak ada pertanggung jawaban yang akan diminta oleh Allah, dari malaikat dan dari binatang itu.

Manusia pun kalau tidak berakal lagi karena gila atau dalam kondisi yang tertekan diluar kemampuan dia, maka dia pun sesungguhnya tidak lagi berada dalam wilayah taklif, yang seperti itu karena tidak lagi mampu mempunyai kekuatan akal dan kekuatan kesadaran diri, maka hadis Rasulullah memberi gambaran :

رَكَّبَ اللهُ النَّاسَ بِالْعَقْلِ وَالشَّهْوَةِ

Dalam diri manusia ini ada dua dimensi yang terus melakukan interaksi dan pertarungan yang tidak pernah berhenti apa itu? “Warokkaba  allahu an-nasa bil’aqli wa as-syahwati”, ada dua kekuatan yang disusun oleh Allah dalam diri manusia ini yakni al-syahwah  wa al-‘aql ada kekuatan nafsu, ambisi, keinginan, ambisi untuk menjadi yang terkaya, terhebat, berkuasa, ambisi untuk menang, ambisi untuk pendapat penghargaan. Semua itu kalau tidak di-manage dengan baik, maka berlaku sabda Rasullullah:

فَأَيُّهُمَا غَلَبَتْ الشَّهْوَاةُ الْعَقْلَ فَهُوَ شَرٌّمِنَ الْبَهَائِمِ

Apabila syahwat, ambisi manusia mengalahkan akalnya, maka manusia itu bisa lebih buruk dari binatang. Kalau melakukan kejahatan tidak didukung dengan kekuatan intelektual, ilmu, oleh teknologi dia melakukan kejahatan berdasarkan naluri kekuatan fisik yang telah diberikan oleh Allah sebatas itu. Tapi kalau manusia melakukan kejahatan, didukung satu kekuatan ilmiah, keintelektualan yang tinggi, oleh kemampuan akalnya maka kejahatan itu akan sangat berbahaya dan jauh lebih membahayakan dari pada kejahatan yang dilakukan oleh binatang sekalipun “fahuwa syarrun minal bayyimah” bahkan bisa lebih buruk dari binatang.

Tapi sebaliknya :

وَأَيُّهُمَا غَلَبَتْ الْعَقْلُ الشَّهْوَاةَ فَهُوَ شَرٌّمِنَ الْبَهَائِمِ

Apabila akalnya mampu me-manage syahwatnya, mampu mengatur dengan baik keinginan-keinginan dan potensi di dalam dirinya maka manusia bisa lebih baik dari pada malaikat, kenapa? Karena dia diberi oleh Allah kekuatan ganda yang bertarung tetapi dia mampu mengalahkan itu di dalam dirinya dan memenangkan kekuatan ilahiyyah, kekuatan malaikah. Dia minum tapi minumnya dengan cara benar, dia makan tidak seperti bahiimahnya makan, tetapi makan dengan cara yang benar, nafsu berpolitik ia lampiaskan dengan cara yang benar, mendapatkan kekuatan dengan cara yang benar.

Maka ketika dia mampu me-manage potensi nafsunya dengan kekuatan akal sesungguhnya bahwa dia khoirun minal malaaikah, karena malaikat tidak punya dimensi pertarungan dalam dirinya, sehingga kalau dia baik memang begitulah dia diciptakan laa ya’suna maa amarohum wa yaf’aluuna maa yu’marun, itu adalah sebuah titah dan memang Allah menciptakan malaikat dengan tanpa penyimpangan sedikitpun terhadap apa yang diperintahkan dan ditugaskan oleh Allah. Loh manungso kok iso apik  dan mampu me-manage dirinya dengan baik maka Allah akan memberikan penegasan melalui hadisnya Rosulullah di atas fahuwa khoirun minal malaaikah.

Persoalannya adalah kata kuncinya, bagaimana agar kita mampu memanage nafsu kita, akal kita dengan baik? Kata kuncinya adalah agama dan ilmu, ilmu pemahaman pengetahuan. Diantaranya melalui sekolah. Cuma sayangnya di Indonesia ini, kita mendistorsi belajar dengan sekolah, orang Indonesia hanya mau belajar kalau sekolah itupun kalau sekolahnya ada belajar, karena di Indonesia ini banyak sekolah tetapi tidak ada belajar. Sekolah itu hanya sebagai institusi yang cenderung mereduksi adanya aktifitas pembelajaran, yang lalu pembelajaran pun dipersempit dengan membaca sebuah teks, membaca sebuah buku, menghabiskan sebuah kurikulum tanpa tahu apa yang terjadi di lingkungan kita.

Itu pendidikan yang sama sekali tidak berkarakter. Menciptakan orang juara olimpiade mungkin, tetapi dia tidak akan pernah mempunyai karakter dalam hidup karena dia diciptakan menghafal rumus. Mencipatakan tehnograt mungkin tetapi dia tidak pernah tau bagaimana berintraksi dengan masyarakat, intensitas seorang murid ketemu dengan orang tua, yang lalu orang tua memberikan kasih sayang, memberikan bahasa yang sopan dan santun.

Bagaimana ia bisa berinteraksi dan memahami lingkungannya? Karena waktunya sudah terkungkung habis dan membatasi diri bahwa iqro’ itu adalah madrasah, membaca itu adalah sekolah, belajar itu adalah sekolah, belajar itu adalah teks. ini adalah sebuah distorsi sebuah penyimpangan yang luar biasa, sebuah penggerusan yang luar biasa terhadap makna proses belajar itu sendiri.

Maka mengapa kita melihat, pemimpin kita tidak mempunyai karakter, kita melihat banyak orang tidak punya kepedulian, dia tidak tahu lagi bagaimana cara menghormati  orang lain, dia tidak lagi peduli dengan itu yang namanya dosa padahal ia paham tentang  agama, kenapa? Karena ia hanya memahami secara teoritik tetapi tidak pernah melakukan tanasub tidak melakukan kontektualisasi diri, penghubungan, tidak pernah weroh, tidak pernah diajarkan bagaimana sesungguhnya kehidupan di masyarakat secara lebih luas, iqro’nya hanya terbatas pada  maqro’ teks tidak pernah iqro’ pada  al-kauniah, terhadap seluruh dinamika kehidupan masyarakat ini.

Maka sesungguhnya yang harus kita lakukan adalah hidup itu adalah belajar tidak dibatasi oleh sebuah sekolah, hidup adalah membaca dan mengkaji, bukan lalu membaca itu adalah sekolah apalagi direduksi membaca itu kalau ujian, UAN. Sesuatu kecelakaan besar ketika kita memahami kehidupan ini dengan menyederhanakan persoalan  yang begitu besar

Di dalam Islam bahwa ilmu adalah sesuatu yang universal, ilmu itu yang mulia, ilmu itu harus bermanfaat, manfaat ialah jika ilmu itu mempunyai konteks bisa menyelesaikan masalah hidup kita ini. Bukan sekolah yang lalu menimbulkan masalah karena hanya sekedar berfikir dalam sifat bahimiyyah, sekolah untuk nyambut gawe (bekerja). Sekolah pekerjaan itu adalah sekolah yang direduksi hanya sampai pada sifat-sifat yang bersifat bahimiyyah, tanpa disertai dengan karakter untuk membangun dimensi-dimensi kemalaikatan, dimensi ilahiyyah yang ada dalam diri manusia ini.

Oleh karena itulah mari kita melakukan satu revolusi terhadap diri kita bahwa sesungguhnya hidup itu adalah ilmu, hidup itu adalah iqro’ , hidup itu adalah membaca. Jangan lalu kemudian kita reduksikan bahwa belajar itu adalah sekolah, apalagi belajar itu adalah UAN.

اِنَّ اَحْسَنَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ الْمَلِكِ الْمَنَّنِ وَمِنْ قَوْلِيْ يَهْتَدِى الْمُهْتَدُوْنَ ,مَنْ عَمِلَ الْصَّالِحَاتِ فَلِنَفْسِهِ, فَمَنْ اَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ , بَرَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأنِ الْعَظِيْمِ ,وَنَفَعَنِيْ وَاِيَّاكُمْ وَبِمَا فِيْهِ مِنَ الْاَيَةِ الْقُرْانِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ,وَتَقَبَّلْ مِنِّي وَاِيَّاكُمْ اِنَّهُ سَمِيْعٌ الْعَالِم وَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَ الْغُفُوْرُ الْرَّحِيْمُ.

* Pengasuh Pondok Pesantren al-Aqobah Jombang

* Pengasuh SMP-SMA “Miskat Al-Anwar” Diwek Jombang.