Direktur Humasy Pesantren Riyadhul Jannah, Agus H. Yusuf Mishbah, Kepala dan pembina Lembaga Diklat Kader Tebuireng, Ustadz Akhmad Halim dan Ustadz Arif Khuzaini.

tebuireng.online—Dalam rangka silaturahmi dan studi komparatif, Lembaga Diklat Kader Pesantren Tebuireng mengunjungi Pesantren Riayadlul Jannah Pacet Mojokerto, Kamis (27/10/2016). Kunjungan tersebut bagian dari agenda Diklat Kader angkatan kedua untuk mempelajari keunggulan pesantren yang didirikan oleh KH. Mahfudz Syaubari, M.A., itu dalam bidang enterpreneurship atau wirausaha.

Kedatangan rombongan yang dipimpin langsung oleh Kepala Lembaga Diklat Kader Pesantren Tebuireng, Ustadz Akhmad Halim itu, disambut oleh putra pengasuh yang merupakan Direktur Humasy Pesantren Riyadlul Jannah, Agus H. Yusuf Mishbah di ruang tamu pesantren. Dalam sambutan sekaligus pemaparan materi kewirausahaan, Gus Yusuf, panggilan akrab beliau, menerangkan tentang perintah agama untuk berwirausaha.

Selain manusia adalah makhluk sosial dan spiritual, menurut beliau, manusia juga merupakan makhluk material yang membutuhkan banyak materi untuk pemenuhan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, dan papan. Terkait wirausaha santri, Gus Yusuf mengeluarkan stetemen menarik bahwa santri itu harus mengaji sekaligus bekerja. “Santri iku yo ngaji yo kerjo, ojo ngaji tok, seng wes kerjo yo kudu ngaji, ojo kerjo tok (santri itu ya mengaji ya bekerja, jangan hanya mengaji. Begitu juga yang kerja, juga harus mengaji, jangan hanya kerja saja). Tapi ngaji tetap nomer satu,” tukas beliau dalam Bahasa campuran Jawa-Indonesia.

Di Pesantren Riyadlul Jannah, santri usia SMP dan SMA tidak dibebankan untuk bekerja, kecuali hanya pada taraf sewajarnya. Mereka difokuskan untuk mengaji, sekolah, dan berdzikir. Sedangkan untuk mahaputra dan mahaputri yang merupakan sebutan bagi para mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Riyadlul Jannah, ditempatkan pada posisi strategis di 16 perusahaan, sesuai dengan minat dan bakat masing-masing.

Santri yang sekolah dikenakan biaya bulanan sebesar 300-350 ribu rupiah saja, sedangkan mahaputra-mahaputri tidak dipungut biaya, bahkan ketika bekerja di perusahaan milik pesantren akan mendapatkan gaji antara 700 ribu hingga 9 juta rupiah. Pesantren ini memiliki 16 perusahaan yang bergerak di bidang yang berbeda-beda, di antaranya perternakan, perikanan, pertanian, kuliner, agen perjalanan, wedding organizing, dan lain-lain.

Majalah Tebuireng

Beliau juga membocorkan rahasia kesuksesan Pesantren Riyadlul Jannah dalam bidang wirausaha. Ada empat hal pokok yang dilakukan, yaitu 4D; daya, data, dana, dan doa. Banyak orang mengikuti prinsip masyarakat barat dengan menempatkan dana dalam urutan langkah yang paling awal, sehingga merasa tidak mampu berwirausaha hanya karena tidak punya modal. Hal itu menjadikan minat masyarakat Indonesia untuk menjadi pengusaha sangat minim.

Beliau menceritakan perjuangan sang ayah, KH. Mahfudz Syaubari dalam membangun kerajaan kecilnya. Kiai Mahfudz memulai usaha dengan mengoptimalkan daya dengan menjadi marketer perusahaan mebel. Dengan itu beliau dapat mengetahui data kekuatan pasar dan harga, sehingga ketika telah mempunyai dana yang cukup sebagai modal, dapat mengembangkan usaha sendiri. Dalam tigaproses itu selalu dibarengen dengan penghambaan diri pada Allah dalam doa dan dzikir.

Ketika ditanya tentang doa Nabi Muhammad yang meminta kepada Allah untuk menjadi manusia yang miskin,  Gus Yusuf menerangkan bahwa doa tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah orang kaya. “Mana ada orang miskin yang berdoa meminta semakin dimiskinkan? Justru karena nabi kaya akhirnya berdoa begitu,” tukas beliau.

Selain itu beliau juga menyatakan tidak sependapat dengan beberapa ulama yang mengatakan bahwa kiai dan ulama tidak boleh bekerja di luar tugasnya, berdasarkan dalil al Isro’ ayat 84 bahwa setiap segala sesuatu beramal menurut pembawaannya masing-masing. Menurut beliau, ayat tersebut tidak bisa digunakan untuk mengkotak-kotakkan Islam, seakan Islam tidak mencakup semua bidang garapan alam semesta.

Kiai dan ulama, terang Gus Yusuf, bukan berarti tidak boleh bekerja, melainkan bekerja tapi tidak sampai menurunkan muruahnya. Bagi beliau Islam harus dikaji secara seimbang, tidak boleh sepotong. Bekerja keras dan berwirausaha, lanjut beliau, juga dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat dan ulama.  “Kalau kiai, ustadz, dan santri tidak mau bekerja, terus mereka ikut (baca: meneladani) siapa?,” celetuk beliau disambut tawa peserta.

Terakhir, beliau berpesan kepada para perserta diklat, agar nantinya dapat menjadi pengusaha, walau kecil-kecilan, karena bagi beliau, menjadi pengusaha kecil lebih baik daripada menjadi karyawan, pegawai, atau buruh. “Semut di Kepala lebih baik dari pada gajah di ekor,” tambah beliau. Hal itu sebagi bentuk tahapan setelah mengaji, yaitu mengkaji kehidupan. “Motto Riyadlul Jannah itu, kerja keras pola hidup sederhana, semangat tahan uji, jiwa besar rendah hati, serius berakhlak mulia, mandiri suka berbagi, dan bermanfaat tahu diri”, pungkas beliau sebelum menutup diskusi dengan jamuan makan di balkon lantai 3. (Abror)