Oleh: Nurdiansyah fikri alfani*

Setelah sebelumnya kita membahas mengenai dilalah/maksud dari sebuah perintah/amr pada Al-Qur’an atau hadis, selanjutnya kita akan sedikit menyinggung antonim dari kata perintah, yaitu kata larangan atau dalam bahasa Arab disebut an-Nahyu/nahi ( النهي ). Nahi juga memiliki sebuah kaidah pokok seperti amr yaitu:

الأصل في النهي للتخريم إلا مادل الدليل على خلافه

Artinya: “Asal hukum dalam larangan itu haram kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang hukum yang berlawanan.

Majalah Tebuireng

Larangan/nahi sendiri sebenarnya juga sebuah perintah. Amr adalah perintah untuk mengerjakan sesuatu, sedangkan nahi adalah perintah untuk menjauhi/tidak melakukan sesuatu. Sama seperti amr (tidak semua perintah bersifat wajib), begitu pula nahi tidak semua larangan bersifat harus ditinggalkan karena haram dan apabila dilanggar akan berdosa. Dalam kitab yang sama yaitu Al-Wajiz karya Muhammad Musthofa az-Zuhaili membagi dilalah nahi dalam al-Quran dan hadis menjadi 9, berikut penjelasannya:

Larangan Bermakna Makruh ( الكراهة )

Contoh dalam hadis Nabi Muhammad

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ

Artinya:  dari Abdullah bin Abu Qatadah dari bapaknya dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanan saat kencing. (HR Muslim)

Pemahaman dari larangan memegang alat vital/kemaluan ketika kencing dalam hadis ini hanyalah bersifat makruh tidak sampai haram.

Larangan Bermakna Permohonan Doa kepada Allah ( الدعاء )

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةًۚ  اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

Artinya: “(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali ‘Imran[3]:8)

Larangan Bermakna Panduan/Arahan ( الإرشاد )

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَسْـَٔلُوْا عَنْ اَشْيَاۤءَ اِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْۚ…..الأية

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu (justru) menyusahkan kamu. (QS. Al-Ma’idah[5]:101)

Ayat di atas memiliki pemahaman sebuah arahan atau bisa diartikan sebuah saran agar kita tidak bertanya mengenai sesuatu yang apabila kita diterangkan tentang sesuatu tersebut malah membuat kita semakin bingung.

Larangan Bermakna Penghinaan/Merendahkan ( التحقير )

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِه اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ەۙ لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ ۗ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى

Artinya: “Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Taha[20]:131)

Larangan dalam ayat ini bermaksud untuk merendahkan perhiasan dunia, juga bisa diartikan kalau perhiasan dunia itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Larangan Bermakna Penjelasan Mengenai Hukuman (  بيان العاقبة )

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُۙ

Artinya: “Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,” (QS. Ibrahim[14]:42)

Dalam tafsir al-Qurtubi dijelaskan:

قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ) وَهَذَا تَسْلِيَةٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ أَنْ أَعْجَبَهُ مِنْ أَفْعَالِ الْمُشْرِكِينَ وَمُخَالَفَتِهِمْ دِينَ إِبْرَاهِيمَ، أَيِ اصْبِرْ كَمَا صَبَرَ إِبْرَاهِيمُ، وَأَعْلِمِ الْمُشْرِكِينَ أَنَّ تَأْخِيرَ الْعَذَابِ لَيْسَ لِلرِّضَا بِأَفْعَالِهِمْ، بَلْ سُنَّةُ اللَّهِ إِمْهَالُ الْعُصَاةِ مُدَّةً .

Ayat ini bermaksud untuk menghibur Nabi Muhammad SAW dikarenakan perbuatan orang-orang musyrik yang sangat berbeda dengan apa yang diajarkan oleh nabi Ibrahim as, dan bermakna ” sabarlah seperti sabarnya Ibrahim ” dan beritakan kepada orang-orang musyrik kalau akan ada adzab Allah di akhir dikarenakan ketidakridhoan Allah terhadap perbuatan mereka, penyebab diakhirkannya adzab adalah penangguhan terhadap orang-orang maksiat untuk sementara waktu saja.[1]

Larangan Bermakna Memberikan Rasa Putus Asa ( التأييس )

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَۗ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ

Artinya: “Wahai orang-orang kafir! Janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Tahrim[66]:7)

Dalam tafsir jalalain diterangkan mengenai maksud dari ayat ini yaitu:

{يَا أَيّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْم} يُقَال لَهُمْ ذَلِكَ عِنْد دُخُولهمْ النَّار أَيْ لِأَنَّهُ لَا يَنْفَعكُمْ {إنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} أَيْ جَزَاءَهُ

(Hai orang-orang kafir, janganlah kalian mengemukakan alasan pada hari ini) ucapan ini mereka katakan waktu dimasukkan ke dalam neraka, dikatakan demikian (firman allah pada ayat ini) karena alasan orang kafir itu tiada gunanya. (Sesungguhnya kalian hanya diberi balasan menurut apa yang kalian kerjakan) sebagai balasannya.)[2]

Larangan Bermakna Sebuah Ancaman ( التهديد )

Contoh seperti perkataan pemimpin kepada anak buahnya “Jangan turuti perintahku!”, larangan di sini dimaksudkan untuk mengancamnya.

Larangan Bermakna Permohonan kepada Orang yang Derajatnya Setara ( الإلتماس )

Contoh seperti perkataan seseorang kepada sahabatnya “Jangan lakukan itu!”

Larangan Bermakna Kasih Sayang ( الشفقة )

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda لَا تَتَّخِذُوا الدَّوَابَّ كَرَاسِيّ , hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad dan ad-Darimi, pemahaman hadis di atas adalah kita dilarang oleh Rasulullah SAW menjadikan hewan tunggangan sebagai kursi, maksudnya adalah ditunggangi dalam posisi berhenti, karena itu sama dengan menyiksa hewan tersebut.

Secara tidak langsung dalam kitab al-Wajiz kita diberi penjelasan mengenai pentingnya ilmu usul fiqh, dari pembagian 9 maksud larangan di atas seolah-olah kita diberi peringatan oleh para pakar ushul fiqh agar tidak sembrono menyimpulkan sebuah hukum dari al-Quran maupun hadis. Dikarenakan memang tidaklah mesti dari setiap teks yang ada dalam keduanya bisa dimaknai secara tekstual karena perlu adanya analisis yang mendalam dari segala sisi dan macam-macam perangkat ilmu lainnya untuk menggali hukum dari keduanya.


[1] Al-Qurtubi, Syamsuddin, Tafsir al-Qurtubi, 9/376

[2] Al-Mahali, Jalal al-Din, Tafsir al-Jalalain, 752


*Santri Tebuireng