MENGIKUTI SYEKH ZAMAKHSYARI?(7)

“Di, awakmu dek endi saiki. Wis piro anakmu”, tanya Yai Ka’ lewat ponsel. Saya jawab panjang lebar, termasuk meminta maaf, karena dua anak saya belum ada yang mondok. Yang sulung itba’ Avecena atau Ibnu Sina, saat itu kuliah di kedokteran, yang bungsu masih di SD berazam ngapalin al-Qur’an. “Yo yo, gak opo opo”, respon beliau atas jawaban saya. Terung terang, dalam hati saya bertanya tanya, bagaimana perasaan Yai Ka’ bertanya soal keluarga, istri dan anak.

Sementara beliau–saya yakin semua muridnya tak ada yang pernah mengusik perkara yang satu ini–terus “sendirian”. Boleh jadi, serupa, semua santri merasa syu’ al-adab bila berani berannya masuk ke wilayah privat, apalagi jika itu kiai yang demikian dita’dzimi. Saya tidak tahu atau belum dapat info yang belakangan, karena kini memasuki era santri terkena virus kritisisme dan liberalisme berpikir.

 Akibatnya, menggerus nilai dan sikap yang selama ini dianggap sakral, keadaban, akhlaq al-karimah, ketawadluan. Dengan argumen mencari sandaran fiqh yang dipegangi beliau, jangan jangan ada yang kebablasen memberanikan diri bertanya ihwal hukumnya melajang ? Karena dari sudut syarat rukun syar’i semuanya melekat dalam diri beliau, apalagi secara geneologis potensial bakal menghadirkan dzurriyah yang dahsyat. Lalu, reasoningnya apa ? Jawaban yang enak, itulah sir-nya Yai Ka’.

Kendati, dalam sejarah Islam, ditemui sejumlah nama nama besar dari kalangan ulama ternama di berbagai disiplin ilmu yang melajang sepanjang hayat. Sebutlah di antaranya, al-Marwazi al-Baghdadi, Zamakhsyari al-Mu’tazili, Ibnu Jarir al-Thabari, Rabi’ah al-Adawiyah dst (KH Husein Muhammad tengah serius menulis serial ulama yang melajang). Ngapunten Yai Ka’, lancang dan su’ al-adab, menyentuh “sir” jenengan.

Majalah Tebuireng