KIAI FULAN MENCUMBUI ILMU

Saya pernah sowan mbah kiai Sahal Mahfudz di dalemnya di Pati. Ruang tamu-nya sangat sederhana dan tak nampak pernik pernik aksesoris, kecuali deretan kitan yang tertata rapih dalam lemari ukuran besar. Di tengah asyik berbincang beliau pamit masuk ke ruang dalam dan ternyata meminta kepada santrinya agar disediakan “suguhan”.

Celah itulah saya punya kesempatan dan “kenakalan santri” saya kambuh, saya beranjak dari tempat duduk mantengi dan pandangan menyapu kitab kitab kiai Sahal. Ketika asyik melototi kitab kitab itulah beliau masuk masuk. “Ada yang menarik, mas ?”, tanyanya yang sempat dibuat terkaget. “Nggih yai. Kok kitab yang terpajang rata rata dan lebih banyak non Syafi’iyah ?”, saya beranikan bertanya. Jawaban beliau membuat saya malu dan menakar betapa sedikitnya investasi keilmuan saya, “Pemikiran Syafi’iyah secara umum saya hapal dan ada di kepala semua. Makanya tak perlu kitabnya dipajang, biar ditaruk di tempat lain dan tak menyesaki lemari ruang tamu ini”.

Contoh pergumulan keilmuan kiai Sahal yang tuntas, wajar jika sebegitu alim dan dihormati. Pendekar ush al fiqh, qawaidh al-fiqh dan fiqh.Demikian banyak karya beliau baik dalam yang berbahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Hingga kini rasa kehilangan beliau tak tergantikan. Beralih ke Yai Ka’, sang pendekar keilmuan yang fasih memainkan jurus jurus ilmu alat, aqidah dan akhlak. Kendati fokus dan perhatian keilmuannya berbeda, namun keduanya pencumbu ilmu yang luar biasa, habis habisan dan tidak setengah setengah.

Perbedaan yang mencolok, bila pribadi dan profil kiai sahal dikenal luas, yai Ka’ nyaris tak ke ekspose. Saya pantengi satu persatu media yang mengkhabarkan meninggalnya beliau, tak satupun yang menyertakan identitas yang lengkap. Acapkali, yang sangat menonjol adalah penyebutan yai Ka’ secara beulang-ulang sebagai kiai kharismatik. Tak muncul penjelasan atau tak dilambari keterangan beliau putra siapa, apa hubungan dengan pesantren Tebuireng dan asal usul-nya secara lengkap dari mana.

Majalah Tebuireng

Tak ubahnya, yai Ka’ tak memiliki identitas lain selain kiai plus menyebut yang kharismatik. Inilah ekspresi keikhlasan dan ketawadduan dua puluh empat karat, sehingga identitas dan embel embelnya lebur tertutup oleh makna kehadiran dan kemanfaatan yai Ka” bagi orang lain. Bukankah ada pula kitab kitab yang ditulis oleh ulama terdahulu yang tak diketahui siapa namanya, identitasnya sengaja tak disebutkan atau mengenakan nama samaran. Tradisi “si fulan” atau tak menyebut nama yang sesungguhnya, menyebut “al haqir” dan “al-faqir” saat berkorepondensi dan berelasi di ulama terdahulu menunjukkan begitu mendalamnya rasa keikhlasan dan ketawadduan itu.

Ananiyah dan egoisme berelasi dengan sesama cair dan berganti takaran seberapa besar makna pragma bagi lingkungannya. Nah, yai Ka’ itu kiai fulan yang begitu mendalam bercumbu dengan ilmu.

(Catatan:  H. Cholidy Ibhar santri Tebuireng angkatan 1970-1980. Kini menjadi Dosen di IAINU dan Direktur Local Govermen Reseach dan Consulting, tinggal di Kebumen Jawa Tengah)